Allah memberitahukan kita dalam ayat berikut ini bahwa jiwa manusia dikuasai oleh sifat kikir. "... manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh) maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (an-Nisaa` [4]: 128)
Jadi, sama halnya dengan sifat jahat lainnya, kita semua menurut tabiatnya selalu bergelut dengan perasaan-perasaan kecemburuan dan kekikiran yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Orang akan berjuang menyucikan dirinya dari perasaan tersebut. Namun sebaliknya, ia tidak akan pernah mampu mengamalkan nilai ajaran moral yang ada di dalam Al-Qur`an dengan sepenuhnya dan tidak akan pernah mampu sepenuhnya meraih ridha Allah. Demikian pula halnya pada ayat Al-Qur`an lainnya, yang menyatakan bahwa manusia berselisih antara satu sama lainnya dan tersesat dari jalan yang lurus hanya kerena rasa iri. Mereka merasa bertentangan satu sama lainnya, meskipun mereka telah menerima Kitab yang membimbing mereka ke jalan yang lurus.
"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (al-Baqarah [2]: 213).
Perumpamaan yang digambarkan dalam Al-Qur`an ini memiliki pengaruh yang besar dalam membantu manusia untuk memahami betapa besarnya bahaya yang disebabkan oleh iri hati. Walaupun sadar dan melihat dari jalan yang benar, seseorang dapat saja mengambil keputusan yang salah, hanya karena iri hati. Iri hati dan kikir mencegah seseorang untuk berpikir rasional dan mengevaluasi setiap peristiwa dengan benar. Ketika dihadapkan pada situasi tertentu, seseorang yang tengah mengatasi rasa tersebut, mungkin tidak bisa bersikap sesuai dengan nilai-nilai ajaran Al-Qur`an. Ia tidak dapat berbicara tentang apa yang diperkenankan Allah atau berlaku ikhlas dan tulus. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak akan bisa diatur oleh pikiran dan hati nuraninya, tetapi diatur oleh hawa nafsunya, mendengarkan bujukan dan rayuan setan. Hawa nafsu mengarahkan dirinya kepada tingkah laku setan.
Agar tersucikan dari kekotoran ini, seseorang seharusnya lebih dulu dan lebih utama untuk dapat memahami bahwa iri hati dan kikir itu bertentangan dengan agama. Ia harus menyadari bahwa perasaan ini muncul dari nilai-nilai duniawi. Manusia menjadi iri hati atas harta dan kebaikan akhlaq orang lain, yang kemudian menjadikannya bersaing melawannya. Padahal, seorang mukmin sejati adalah mereka yang mampu menahan diri dari keterikatan pada harta benda duniawi yang terlalu berlebihan. Pada intinya, mereka hanya menginginkan akhirat.
Seorang mukmin sejati mengetahui pasti bahwa kenikmatan duniawi itu adalah titipan dari Allah dan akan diambil kembali oleh-Nya ketika saatnya tiba. Walaupun ia dapat memperoleh kesenangan tersebut dengan cara yang diridhai Allah, ia tidak bernafsu mencurahkan seluruh tenaga untuk mendapatkannya dan tidak menjadi orang yang terlalu berambisi. Ia bersyukur kepada Allah atas segala yang telah dianugerahkan kepada dirinya dan dia mengetahui cara menjadi bagian dari apa yang telah ia miliki.
Sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut, apabila Allah menganugerahkan lebih banyak berkah-Nya atas orang lain, ia tahu bahwa ini memiliki maksud. "Kepunyaan-Nyalah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (asy-Syuura [42]: 12).
Setiap orang sedang diuji melalui karunia dari Allah berupa kecukupan dan kebaikan untuknya. Dengan demikian, dapat terlihat perbedaan antara mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh syukur dan kerendahan hati dan mereka yang tidak memiliki rasa terima kasih dengan meninggalkan ajaran moral Al-Qur`an. Karena itu, seseorang tampaknya tidak mungkin menjadi kikir atau iri hati atas keberkahan dunia yang dimiliki orang lain jika ia memahami bahwa kehidupan duniawi hanyalah tempat sementara yang semata-mata diciptakan Allah untuk menguji manusia. Misalnya, iri hati terhadap orang lain hanya karena kekayaan, ketampanan, atau dikaruniai kekuasaan. Sifat ini bertentangan dengan akhlaq yang terkandung dalam Al-Qur`an.
Seseorang yang hidup dalam tingkatan akhlaq Al-Qur`an yang tinggi akan mengetahui dengan jelas bahwa Allah akan menganugerahkan keberkahan atas dirinya di akhirat kelak. Jadi, ia hidup dengan ketenangan pikiran dari kesadaran atas kebenaran yang dibawa Al-Qur`an. Akan tetapi, mereka yang gagal memahami takdir, kenyataan alamiah dari kehidupan dunia ini, kenyataan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan memerintahkan mereka agar beriman kepada-Nya, terbawa oleh sifat iri hati dan kikir. Mukmin mana pun yang sadar akan kebenaran itu, menahan dirinya untuk melakukan perbuatan yang salah.
Walaupun ini adalah sifat yang mencerminkan kemuliaan akhlaq Al-Qur`an, orang yang beriman akan berhati-hati dalam menjauhkan diri dari rasa iri hati. Sebagai gantinya, ia ingin bisa mencontoh kebaikan akhlaq dari saudara muslimnya. Harapannya untuk selalu "terpelihara" tidak membawanya kepada kekikiran. Dalam kaitannya dengan ayat Al-Qur`an yang menyatakan "Berlomba-lombalah satu sama lainnya menuju kebaikan", ia berjuang dengan ikhlas untuk menjadi salah satu di antara hamba-hamba yang dicintai oleh Allah, serta melaksanakan kebaikan yang terkandung dalam Al-Qur`an dengan sikap yang sangat ideal.
Sekalipun demikian, perlombaan ini tidak dilandaskan atas perasaan iri hati atau persaingan. Perlombaan ini ditujukan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah daripada mendekatkan diri kepada manusia. Sama halnya seperti seseorang yang juga berdo'a demi mukmin yang lain agar menjadi salah satu di antara hamba-hamba yang paling dicintai oleh Allah, dan ia pun berdo'a untuk dirinya sendiri. Ia tidak hanya berdo'a dengan ikhlas, namun juga berjuang untuk mendapatkan apa yang dimintanya itu.
Orang-orang mukmin sadar akan hal itu, sebagaimana semua makhluk lainnya, mereka lemah. Mereka takut kepada Allah dan mengakui kelemahan-kelemahan diri ketika berhadapan dengan Tuhannya. Pada salah satu ayat Al-Qur`an dijelaskan tentang kebenaran ini,"Katakanlah, 'Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (al-A'raaf [7]: 188).
Seseorang yang lebih mengutamakan kepentingan akhirat daripada hal-hal yang bersifat duniawi, tidak pernah mengambil contoh akhlaq yang berdasarkan pendapat orang lain. Ia hanya berusaha mencapai ridha Allah. Jadi, ia tidak pernah mencoba agar menjadi lebih baik daripada orang lain (dalam hal keduniawian), mencari penghargaan atau untuk mengamankan posisi mereka, serta menginginkan pengaruh penting dalam pergaulan. Sebagaimana dipahami dari masalah yang telah disebutkan di atas pada bagian ini, jika seseorang mengetahui kecenderungan dan penurunan yang ada pada dirinya, ia seharusnya sadar bahwa ia sedang melakukan perbuatan moral yang pada akhirnya akan membahayakan keikhlasannya dan mencegahnya untuk mendapatkan ridha Allah.
Rasulullah juga telah mengungkapkan bahwa umat Islam seharusnya mampu saling melengkapi kekurangan yang mereka miliki dan menutupi kekeliruan yang pernah mereka lakukan, sebagaimana haditsnya, "Jika seseorang berusaha menutupi aib (dosa) saudaranya di dunia, Allah akan menutupi aib (dosa)nya di akhirat kelak." Namun jika yang terjadi sebaliknya, kesatuan dan persatuan di antara mereka akan sirna dan kekuatan mereka akan menjadi lemah. Ketika kekuatan umat muslim melemah, kekuatan orang yang kafir kepada Allah akan menjadi kuat. Tak ada seorang muslim pun bersedia bertanggung jawab terhadap hal tersebut, hanya karena ia memenuhi keinginan hawa nafsunya.
Sesungguhnya, umat Islam diharapkan mampu mengamalkan kebenaran yang terkandung di dalam Al-Qur`an dengan segala kemampuan terbaik yang mereka miliki. Ia harus menjadi contoh bagi umat muslim lainnya dan mendorong semangat agar mereka hidup sesuai dengan tuntunan Islam. Ini membuktikan bahwa seseorang yang belum berhasil mengatasi kecemburuan dan persaingan yang ada pada dirinya, ia tidak akan mampu memenuhi tanggung jawab ini dengan sebenar-benarnya. Karena itu, ia berbuat sesuatu yang melemahkan kekuatan orang-orang beriman dan menguatkan orang yang ingkar kepada Allah. Sebagai akibatnya, orang seperti ini tidak hanya menjadi contoh buruk bagi teman dan keluarganya, tetapi ia juga memikul kesalahan dan dosa besar.
Karena itu, ia seharusnya dengan segera berhenti melakukan kebiasaan seperti itu dan mencontoh akhlaq yang lebih mulia. Hanya dengan begitu, ia mampu mendapatkan keikhlasan dan mencapai tingkatan akhlaq yang diridhai Allah. Sebagaimana yang diungkapkan Badiuzzaman, apa yang pantas bagi seorang muslim adalah "membangun kesatuan yang murni dengan sesama muslim" sesuai dengan ayat yang menyatakan, "Tolong-menolonglah satu sama lainnya dalam kebaikan dan amal saleh," dan memelihara semangat keikhlasan agar tetap hidup.
No comments:
Post a Comment