Saturday, February 23, 2019

Perang Badar


Ya Allah Azza wa Jalla , penuhilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla , jika Engkau membinasakan pasukan Islam ini, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini. [HR. Muslim 3/1384 hadits no 1763]. Demikian Doa Nabi Muhammad ketika akan menghadapi perang Badar. Doa itu tidak bisa diterapkan dalam situasi sekarang, apalagi di Indonesia. Mengapa ? Pertama, ketika perang badar itu, musuh umat islam adalah kaum penyembah berhala yang jelas jelas menghalangi syiar agama islam. Kedua, Nabi tidak dalam posisi menyerang atau ingin menaklukan musuh.Tetapi dalam posisi melindungi diri dari serangan musuh. Nabi adalah rasul yang manusiawi sekali. Ketika Doa itu terucapkan, Al Quran belum turun secara purna. Butuh 10 tahun lebih setelah perisitawa Badar, barulah Al Quran turun secara sempurna.

Nah meri kita bahas secara sederhana mengapa dalil doa perang badar itu tidak tepat untuk dikaitkan dengan Pemilu. Pertama. Lawan Prabosan bukanlah orang penyembah berhala. Jokowi dan Ma’ruf Amin agamanya islam dan jelas keislamannya. Mereka berdua tidak pernah menghalangi syiar islam. Oh anda meragukan ke islamanya sehingga mengatakan mereka termasuk golongan yang bukan islam. Padahal fakta semua tahu keislaman Jokowi dan Ma’ruf Amin. Masih juga ngotot bahwa mereka berdua didukung oleh partai penista agama ,sehingga masuk golong kafir. Sehingga hanya kelompok anda saja yang di ridhoi Allah. Makanya anda pantas berdoa seperti Nabi pada waktu perang Badar. Maka inilah sabda Nabi “ Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh" (HR Bukhari-Muslim).

Kedua, Jokowi dan Ma’ruf AMin termasuk partai pendukungnya tidak melakukan serangan yang mengancam nyawa Probosan berserta pendukungnya. Ini hanyalah Pemilu yang aturannya disepakati bersama oleh para calon. Wasitnya pun adalah independen yang tidak berpihak kepada siapapun. Jadi tidak ada istilah serangan terhadap kubu Probosan yang pantas ditakuti dan dikawatirkan seperti Perang Badar. Kalaupun Jokowi -Ma’ruf Amin menang tidak akan bisa melarang orang melaksanakan ritual agamanya termasuk menyembah Allah. Mengapa ? karena dasar negara kita adalah Pancasila yang mengakui secara UUD keberadaan agama. PBB dalam konvensi HAM juga menjamin setiap orang melaksanakan kebebasan keagamaanya.

Hikmah terbesar dari adanya perang Badar adalah bukan perang melawan orang kafir tetapi perang melawan hawa nafsu. Mengapa ? Sekembalinya dari perang Badar. Rasulullah SAW. Mengatakan kepada para sahabat “Kita kembali dari peperangan kecil dan akan menghadapi peperangan besar (Jihad Akbar)”. Diantara sahabat ada yang bertanya, “apakah ada lagi perang yang lebih besar dan dahsyat dari perang Badar?” Beliau menjawab. “Perang melawan hawa nafsu di dalam diri masing-masing”. Benar. Bahwa karena nafsu lah orang bisa memaksa Allah untuk mengabulkan doanya, dengan nada mengancam. Padahal inti ajaran Tauhid adalah ikhlas. Tanpa kepercayaan penuh kepada Allah, tidak mungkin orang bisa ikhlas. Mengapa ? karena Allah itu Maha Pengurus dan Maha mengetahui apa yang terbaik menurutNya. Bukan menurut kita sebagai manusia. Jadi apapun yang terjadi kita harus menerima dengan ikhlas.

Bahwa karena nafsu lah manusia menghalalkan segala cara untuk menang. Bukan hanya mengancam Allah lewat doa tetapi juga tidak merasa risih bila harus berbohong soal keadilan bagi rakyat miskin, padahal menguasai lahan dan harta melimpah tak terbilang tanpa ada kemauan berbagi. Justru masih pula minta sumbangan kepada rakyat. Karena nafsu lah akal dan pendidikan tak berguna untuk menentukan jalan menuju cahaya kebenaran. Karena nafsu lah saudara seiman berbeda politik dianggap musuh. Karena nafsulah perbedaan menjadi musuh dan sumber perang. Tidak ada yang lebih kafir kecuali nafsu kita sendiri. Musuh sebenarnya ada dalam diri kita sendiri. Perangilah nafsu dengan iman dan akal…itulah perang sepanjang hayat dikandung badan.



Sunday, February 17, 2019

Empati ?

Prabowo terlahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Seomitro adalah Ekonom dan juga politisi sejak era Soekarno. Kakeknya adalah banker, pendiri Bank BNI. Dia pernah hidup di luar negeri karena ayahnya menjadi pelarian politik di Era Soekarno. Entah gimana keluarganya bisa hidup mewah. Mungkin karena ayahnnya musuh politik Soekarno dan Soekarno adalah musuh Amerika. Mungkin kemewahan itu karena dia dianggap sebagai “ asset “ oleh Amerika Serikat. Usia remaja dia pacaran dengan Putri Soeharto penguasa Orde Baru, dan ayahnya jadi menteri di Era Soeharto. Kemudian dia menikah dengan putri Soeharto. Anda bisa bayangkan kemewahan hidupnya. Sedari kecil dia tidak tahu arti sebuah kemiskinan. Karena dia tidak pernah merasakannya.

Pernah satu waktu saya ke datangan anak muda. Ini benar benar anak muda. Usianya tidak lebih 30 tahun. Awalnya ketika teman saya mengatur ketemu dengan anak muda ini saya keberatan. Karena saya nilai dia tidak qualified untuk kerjasama. Ya karena faktor usia. Namun teman saya menegaskan bahwa anak muda ini cucu dari konglomerat Indonesia. Atas dasar itu saya coba untuk menjajaki dengan menyanggupi meeting dengannya di Hong Kong. Teman saya mengatur pertemuan di cafe di hotel bintang 5. Namun yang membuat saya terkejut dan merasa aneh berhadapan dengan anak muda ini adalah dia datang dalam pertemuan itu dengan celana pendek warna putih dan tshirt warna kuning. Benar benar konyol.Dia tidak menghargai saya. Padahal dia undang saya dalam business meeting ini.

Selama pertemuan itu saya tidak bicara banyak.Anak muda itu hanya bicara singkat apa yang telah dia lakukan dalam bisnis.Omzetnya setahun ratusan miliar. Punya storage di beberapa pelabuhan ikan di Indonesia timur dan tengah. Dia menawarkan kerjasama dengan skema pembiayaan yang resikonya di jamin seratus persen oleh dia. Saya tanya mengapa dia tidak ajukan ke bank.Bukankah keluarganya punya bank. Dengan tersenyum dia katakan bahwa dia tidak ingin keluarganya banyak terlibat. Pembicaraan itu singkat saja. Selanjutnya kami habiskan santai sambil dengar live music.

Ketika itu sedang di lantunkan lagu " in the Gheto ". Lagunya sangat menyentuh namun anak itu tidak nampak terpengaruh sama sekali. Ini mengundang rasa ingin tahu saya tentang sikap hidupnya. Apakah dia punya empati. Dengan santai dia katakan dia tidak paham apa itu empati. Mengapa ? karena dia tidak pernah merasaan kekurangan selama ini. Apakah dia bahagia dengan hidupnya ?Dengan santai dia jawab dia tidak tahu apa itu bahagia. Karena dia merasa semua ada ketika dia mau.

Lantas apa makna hidup bagi dia. Dia hanya tersenyum. Baginya hidup hanya seperti ini. Menikmati hoby yang mengundang adrenalin-nya. Kadang beresiko ,kadang membuang waktu percuma. Namun dia sendiri tidak tahu mengapa dia ketagihan dengan hidup seperti itu. Padahal itu tidak juga membuat dia bahagia. Saya tersenyum memandang sejurus kearahnya. DI hadapan saya ada manusia yang sangat menyedihkan. Baginya hidup tidak ada warna warni.Tidak ada graphik turun naik. Semua datar saja. Dia terperangkap dalam hidup yang tidak dia pahami. Menyedihkan..

Mengingat anak muda itu saya kembali kepada diri saya sendiri. Mengapa ? Karena sampai sekarang saya tidak tahu mengapa orang mengerang sakit gigi. Saya malah bingung mengapa gigi bisa sakit. Karena seumur hidup saya tidak pernah sakit gigi. Jadi empati saya terhadap orang sakit gigi memang tidak ada..Saya terlahir dari keluarga miskin makanya saya tahu arti berbagi dan paham betapa menyedihkan bagi simiskin bila tidak ada jalan minta tolong. Walau bantuan yang saya beri tidak berarti namun saya menemukan kebahagian dalam memberi dan bila susah datang sayapun terlatih sabar.

Jadi gimanapun retorika PS tentang membela orang miskin, itu hanya retorika yang bahannya dia dapat dari baca buku dan apa kata orang terdekat dia. Sementara dia sendiri tidak tahu makna kemiskinan seperti apa yang maknai oleh Jokowi yang pernah tinggal di pinggir kali, pernah merasakan rumah di gusur, hidup prihatin selama kuliah karena orang tua miskin. Hidup prihatin selama merintis usaha dari nol. Makanya Jokowi sangat tangguh menghadapi tantangan hidup. Beda dengan PS , yang mudah ngambek dan tempratemental kalau kemauannya tidak tercapai. Bahkan kabur keluar negeri karena kesel. Orang bijak karena dia punya empati. Orang punya empati bukan karena dia belajar dari buku tetapi karena dia mengalami kegetiran hidup untuk memahami arti sebuah empati.

Elitis?


Saya termasuk orang yang dekat dengan gerakan agama. Hampir semua petinggi aktifis islam dari partai sampai ormas saya kenal. Dulu era SBY saya aktif berdiskusi dengan mereka. Namun dari pergaulan itu saya sampai pada kesimpulan bahwa perjuangan mereka tidak untuk kepentingan islam tetapi untuk kepentingan elite saja. Dokrin yang harus diterima bahwa pimpinan tidak boleh disalahkan. Harus patuh kepada pemimpin. Tafsir para elite itu adalah sama dengan firman Tuhan. Engga boleh di debat. PKS, HTI , dan lainnya sama saja.  Sangking elitis nya, hubungan antara umat dengan tokoh organisasi dipuji seperti setengah dewa. Namun anehnya bila bicara dengan para elite nya, selalu berujung kepada bagaimana dapat duit.  Idea apapun yang mudah mendatangkan uang, mereka akan terima. Selalu dengan alasan untuk umat.

Saya percaya bahwa orang seperti saya ini banyak di Indonesia. Terutama generasi setingkat saya dan juga generasi setelah saya yang dewasa di era reformasi sangat paham situasi politik nasional. Bahwa yang membuat indonesia gagal menjadi negara besar dan selalu jalan terseok karena mental elitis ini. Semakin tinggi jabatan seseorang semakin sulit di jangkau oleh rakyat. Mereka hanya ada ketika menjelang pemilu saja. Pernah teman sebagai pengurus HKTI tingkat daerah yang menjemput PS di Bandara , bilang bahwa hanya untuk ke toilet saja PS harus minta di pesankan kamar hotel. Ada juga pemuka agama yang kalau berkunjung ke daerah harus di sediakan kamar hotel berbintang dan lengkap dengan tiket pulang pergi business class. Pejabat dari pusat juga sama. Kalau berkunjung keluar negeri lebih banyak wisata daripada kunjungan kerja.

Tahun 2014 saya memilih Jokowi. Mengapa ? ketika itu saya lihat semua partai yang hidup dari patron dan primodial bergabung kepada PS-Hatta. Teman saya orang partai pernah mengatakan bahwa Jokowi akan mudah di kalahkan. Alasannya dukungan ulama dan ormas besar ada pada kubu Prabowo-Hatta. PDIP akan sulit mengembangkan strategi di akar rumput berhadapan dengan barisan Partai yang di dukung ormas islam besar. Sangat sulit berhadapan dengan Golkar yang punya akar rumput tersebar di seluruh Indonesia. Apalagi Jokowi adalah pendatang baru dalam politik nasional. Bukan pula elite partai PDIP. Dia hanya kader partai di level kota. Saya bilang mungkin saja Jokowi kalah tetapi itu adalah pilihan saya. Tetapi ini berkaitan dengan sikap saya.  Bahwa saya muak dengan mental elitis. Muak dengan orang yang selalu merasa paling benar.

Akhirnya Jokowi menang. Unggul hanya berjarak kurang lebih 6% dari Prabowo-Hatta. Ini kemenangan fenomenal. Mengapa ? karena kemenangan demokrasi. Kekuatan yang didukung oleh partron dan primodial dapat dikalahkan oleh kuatan massa mengambang. Massa dari generasi seperti saya dan generasi setelah saya. Mereka yang tidak berharap apapun dengan janji politik Jokowi ketika kampanye. Karena mereka sadar bahwa Jokowi akan menjadi presiden dalam sebuah sistem yang tidak akan berubah. Mereka memilih Jokowi hanya inginkan perubahan mental kepemimpinan yang tidak lagi bersifat elitis. Pemimpin yang dekat ke rakyat. Responsip terhadap situasi.  Dan konsisten melawan KKN. Ya mereka yang memilih Jokowi hanya berharap perubahan mental kepemimpinan nasional.

Selama Jokowi berkuasa, dia telah membuktikan pemimpin sesuai dengan harapan pemilihnya. Keseharian Jokowi tetap rendah hati. Dekat kepada rakyat dan tidak sulit ditemui dan di sapa. Jokowi mendatangi rakyat dengan pakain sederhana. Dia tidak pernah marah bila kebijakan nya dipertanyakan. Tidak merasa rendah bila harus mengkoreksi kebijakannya. Bahkan ada kebijakan menteri yang tidak sesuai kehendak rakyat dia intervensi. Sangat responsip sekali.  Tetapi sikap responsip ini menjadi bulan bulanan para elite politik oposisi yang masih punya paradigma pemimpin tidak boleh salah dan tidak boleh keliru. Namun bagi pemilih Jokowi itu adalah credit point terhebat yang dimiliki Jokowi. Karena mereka tahu Jokowi tidak intevensi proses hukum. 

Saya yakin 53,15%  pemilih Jokowi di tahun 2014 tidak akan berpindah pilihan. Suara Jokowi akan bertambah dari kalangan milenial yang sudah merasakan dampak dari pembangunan yang kini sudah dirasakan oleh rakyat. Kekuatan sejati Jokowi ada pada cebonger yang tidak berharap harga sembako murah atau apalah. Mereka hanya inginkan perubahan yang lebih baik untuk indonesia lebih baik. Akan ada penambahan suara diatas 10 %. Makanya mencapai kemenangan 70% suara tidak sulit bagi Jokowi. Resiko politik sangat rendah menghadang kemenangan cebonger ini. Mengapa ?Partai pendukung Jokowi adalah partai yang berbasis ormas besar. Ormas besar juga mendukung Jokowi. TNI merasa puas dengan kepemimpinan Jokowi. Jadi tidak mungkin ada Tsunami politik yang bisa merekayasa kekalahan Jokowi. Dan lagi Elite politik maupun agama sama saja. Hanya ingin hidup senang. Engga mau mereka chaos. 

Tuesday, February 05, 2019

Jokowi musuh bersama mereka...

Dulu di era Soeharto ada rekening shadow namanya. Anda buka rekening di bank asing di Indonesia dimana anda juga punya rekening di bank asing tersebut di luar negeri. Uang anda dalam hitungan menit bisa pindah dari Indonesia ke luar negeri tanpa perlu underlying transaction.  Itu istilah lainnya namanya cross settlement. Menjelang kejatuhan Soeharto tahun 1996 banyak petugas bank asing yang berkantor di hotel bintang lima di kawasan Sudirman dan Thamrin. Mereka melayani pembukaan rekening orang kaya indonesia dan kemudian mengatur pemindahan dana ke luar negeri. Umumnya Singapore dan Swiss. Tahun 1996 itu sudah terjadi eksodus dana besar besaran ke luar negeri. Dua tahun setelah itu Soeharto jatuh. Kalau engga salah data dari Ford Foundation dana yang eksodus itu mencapai ratusan miliar dollar AS. Sementara Devisa negara ketika itu hanya USD 23 miliar. Anda bisa bayangkan betapa jahatnya mereka. 

Ketika pemerintah membentuk BPPN. Mendadak orang yang tadinya kere langsung jadi konglomerat. Punya holding company. Setiap hari beritanya muncul di media massa sebagai pihak pemenang lelang asset BPPN. Menurut Banker yang saya kenal, uang  untuk pengambil alihan itu berasal dari luar negeri yang pemiliknya orang indonesia sendiri. Namun disamarkan melalui kepemilikan perusahaan cangkang dengan menunjuk proxy sebagai CEO. Jadi kesimpulannya, mereka bawa kabur uang keluar negeri dan kembali lagi dengan mengabil alih asset dengan harga obral. Kalau engga salah dengan harga diskon 70% dari nilai buku. Perusahaan yang neracanya bau busuk, assetnya berupa tanah dan bangunan di preteli untuk dilelang secara terpisah. Tentu dengan harga obral.Siapa yang beli? ya mereka yang punya uang. Yang kaya raya dari hasil merampok lewat KKN selama era Soeharto. Jumlah mereka tidak banyak. Tetapi menguasai 99% modal nasional. 

Apakah presiden setelah Soeharto tidak berdaya? masalahnya bukan karena itu. Tetapi karena setelah Soeharto , presiden kita adalah orang lugu dan birokrasi masih yang lama semasa era Soeharto. Habibie , Gus Dur dan Megawati tidak paham permainan kotor yang sudah terbentuk dalam sistem oligargi bisnis kotor diantara politisi, birokrat dan pengusaha. Saya pernah melihat dengan mata kepada bagaiman seorang konglomerat yang buron di Singapore memberikan banker cheques senilai USD 5 juta kepada pejabat Indonesia. Apa tujuannya? agar proses lelang yang diatur oleh proxy nya dapat sukses.  Belum lagi banyak aparat hukum yang menjadikan mereka yang kaya raya itu sebagai ATM berjalan.  Sehingga tidak ada elite politik yang tidak tersentuh perputaran uang haram sekaligus merampok asset negara. Itu baru asset BPPN. 

Yang lebih gila lagi banyak lelang Asset itu jatuh ke broker yang terhubung dengan pemain hedge fund. Seperti pengambil alihan Kiani dan lain lain. Dia ambil alih asset itu dengan mendapatkan dana dari bank melalui jaminan pihak ketiga. Setelah diambil alih, asset itu di preteli dijual obral untuk dapatkan uang tunai. Ketika utang jatuh tempo, kredit default. Jaminan engga bisa dicairkan. Bank dalam negeri jadi korban. Belum lagi penjualan tukar guling asset negara terjadi massive tanpa adminsitrasi yang rapi. Engga jelas negara dapat apa. Saya menyimpukan proses reformasi paska Soeharto jatuh indonesia sedang dihabisi oleh para bedebah.

Belum lagi pembiayaan kredit ekspor untuk pembiayaan APBN. Yang semuanya diatur dengan harga mark up gila gilaan. Bahkan SDA yang ada di Ijon dengan kontrak longterm agreement dalam bentuk off take/ counter trade seperti LNG Tangguh. Ada juga  blok minyak Pertamina di Ijon dengan harga miring. Karena pemerintah kekurangan devisa maka trade financing pengadaan BBM di serahkan kepada tangan kartel eskpor dan impor dengan komisi gila gilaan. Ketika itu pemerintah tidak punya pilihan. Era SBY, saya pikir keadaan akan berubah setelah proses berdarah darah melaksanakan LOI IMF. Namun justru booming harga minyak menolong APBN tetapi itu tidak ada artinya. Karena sebelum SBY berkuasa , kartel BBM sudah terbentuk dan SBY meneruskan kartel itu dibawah PETRAL. 

Penggelapan pajak era SBY lebih canggih. Tidak lagi dengan cara transfer langsung uang ke luar negeri tetapi menggunakan modus transfer pricing. Untuk menghindari laba tinggi, harga ekspor diturunkan namun pembelinya  di luar negeri adalah perusahaan terafiliasi. Kalau impor dibuat tinggi harganya. Seller diluar negeri adalah perusahaan terafiliasi. Jadi laba rendah. Pajak rendah. Uangpun pidah keluar negeri. Harga komoditas CPO naik dipasar dunia. Banyak investasi sawit besar besar. Kembali  lagi yang invest adalah pemain lama melalui proxy nya di Indonesia.  Ada yang gila. Holding investasi di Singapore menjadi investment gateway bagi uang orang indonesia untuk masuk ke bisnis CPO dan tambang melalui perusahan proxy. Pengaturannya sangat rumit karena pemerintah singapore ada dibelakang sebagai umbrella.Dan lagi perusahaan proxy itu para komisarisnya pasti terhubung dengan elite politik. Belum lagi peluang konsesi ini diatur dengan begitu sistematis dan politis yang bukan hanya melibatkan elite politik tapi juga melibatkan ormas keagamaan. Makanya jangan kaget bila banyak tokoh agama yang mendadak kayaraya seperti selebritis. Karena itu stabilitas politik tercipta. Zero enemy terjadi. Tiada hari tampa pesta. Termasuk bancaki APBN. 

Jokowi berkuasa. Jokowi dan teamnya terutama dari PDIP yang 10 tahun jadi oposisi , tentu belajar banyak dari situasi yang berkembang. Juga belajar dari kesalahan masa lalu. Makanya Jokowi memburu harta yang ada diluar negeri itu melalui program Tax Amnesty. Dasarnya adalah UU pajak yang baru. Pelanggaran pajak adalah pidana. Yang mengajukan tax amnesty dengan total deklarasi harta sebesar Rp.4.855 triliun. Padahal data yang diketahui pemerintah sebesar Rp. 11.000 Triliun. Namun dari sejumlah itu dapat di kembangkan petugas pajak jadi 3 kali. Mengapa ? karena sistem audit akuntasi gampang menelusuri harta orang kalau sedikit saja tersingkap. Bukan hanya harta tetapi juga asal usul harta dapat dilacak. Yang disasar bukan hanya harta diluar negeri tetapi juga harta dalam negeri yang berlindung dibalik proxy. 

Sistem birokrasi di reformasi. Fungsi KPK di perkuat dalam sistem cegah tangkal (bukan hanya penindakan). Kesempatan konspirasi dan kolusi semakin sulit.  Apalagi ada Perpres kejahatan korporasi masuk tindak pindana korupsi. Bisnis rente SDA di hapus. Kartel perdagangan impor dan export produk pertanian dan BBM di hapus. Hasilnya ? ekonomi kita efisien. Orang kaya terjebak harus membayar pajak tanpa bisa kongkalikong. Pendapatan pajak meningkat walau tax ratio rendah. Tetapi karena itu Jokowi menciptakan banyak musuh. Hebatnya musuh Jokowi adalah oilgarki politik dan bisnis rente yang bersenggama dengan kekuatan informal yang targetnya menjadikan Jokowi musuh besama umat islam dan rakyat kecil. Suka tidak suka mereka punya uang dan dengan uang itu mereka menciptakan distrust terhadap pemerintah melaui hoax dan ujaran kebencian dan rasa takut akan masa depan. Kalau mereka berhasil menjatuhkan Jokowi dalam Pemilu maka mereka bisa melanjutkan pesta yang sempat jeda. Rakyat? manapula mereka pikirkan. Terbukti dari dulu mereka orientasinya memang hanya uang.






Sunday, February 03, 2019

Sikap mental



Saya provokasi cucu saya Aufar agar dia makan yang banyak. Saya katakan “ Aufar kalau makannya banyak, nanti cepat gede. Kalau gede bisa pintar. “ dia perhatikan saya dengan wajah tanya “ Babo, orang makan karena lapar. Orang pintar karena dia belajar.” Katanya polos. Cucu saya ini belajar di Sekolah Alam. Dia diajarkan berpikir praktis dan logika. Kalau bicara selalu menggunakan bahasa indonesia yang baik. Dan cara penyampaiannya terstruktur. Jelas alur berpikirnya. Beda dengan kakaknya yang sekolah di sekolah Agama ( boarding school ). Pernah saya dengar mereka berdebat. Kakaknya bilang, kalau kita meninggal kita akan masuk sorga. Tetapi Aufar menjawab “ orang kalau mati di kubur”. Kakaknya Nazwa diajarkan berpikir konsepsual di sekolah. Sementara Aufar diajarkan berpikir logika.

Orang yang cenderung berpikir dengan logika selalu melihat persoalan itu dengan rasional. Dia tidak mungkin berpikir hal yang sepele. Dia selalu memikirkan hal yang besar. Apa yang besar itu ? Orang kalau engga makan, ya lapar. Maka dia focus gimana cari makan. Agar bisa bertahan hidup. Baginya itu masalah besar. Sangking besarnya etos kerjanya jadi tinggi. Akhlak nya baik. Itu bukan karena provokasi tetapi alasan rasional. Agar dapat uang dan dukungan dari orang lain. Kalau ada orang menceritakan soal kehidupan besok, harapan tentang sorga, dan segala kemudahan kalau sistem pemerintahan berganti, dia tidak akan terpengaruh. Mengapa? masalah besok itu bukan masalah. Itu masalah sepele. Bahkan nothing kalau hari ini engga makan. Musuh banyak.

Dalam hal politik, juga sama. Orang memilih presiden bukan masalah janji politik. Itu bukan masalah besar. Itu masalah sepele. Karena engga ada kaitannya dengan hari ini. Yang besar itu adalah memilih seorang presiden berdasarkan kehidupan pribadi dari calon presiden pada hari ini. Ini masalah rasionalitas. Sama seperti anda beli mangga. Anda tidak akan tertarik membeli mangga kalau hanya ditulis “ mangga ini manis “. Kecuali anda punya kesempatan mencicipi mangga itu sebelum membeli. Orang china pernah dijajah AS , Inggris dan Jepang. Namun mereka tidak pernah mendendam masalalu. Mereka justru menemukan pijakan rasionalitas dari orang asing. Bahwa mereka harus belajar hari ini dengan orang asing dan harus lebih hebat, Kalau engga mereka akan kembali di jajah. Rasional sekali.

Setelah bergaul dengan banyak bangsa di luar negeri, salah satu sifat rakyat Indonesia yang saya amati adalah sifat demogogisch. Apa itu? adalah sifat berkilah atau ngeles. Sifat doyan mempertentangkan masalah sepele ( kecil ) dengan melupakan hal hal yang besar. Makanya jangan kaget , pas diberi kebebasan politik, maka partaipun bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Bukannya gimana membangun bisnis dan mengembangkan IPTEK. Sebentar sebentar demo bawa massa ribuan. Padahal agendanya masalah sepele. Soal “Ide”. Bukannya menggalang massa untuk gerakan Koperasi. Agama pun banyak sekali mahzabnya. Bahkan saling ribut merasa paling benar. Jadilah debat pepesan kosong. Apapun dibaperin. Padahal hanya ide dan opini tetapi ributnya sudah seperti mau perang.

Dalam kehidupan kita sehari-hari yang berhubungan dengan ide ekonomi, politik dan sosial, jangan dibuat rumit dengan beragam dialektika sehingga menjadi masalah besar. Itu masalah sepele. Tirulah cara ibu dirumah menyelesaikan masalah. Kalau bayi nangis langsung dia buka kancing baju, keluarkan teteknya. Bayi diam. Kalau uang dapur engga ada, dia teriak. Suami engga ngasih, dia kerja. Tirulah Jokowi. SBY membuat ide MP3I, dan Jokowi membangunnya. Ide MP3EI itu masalah sepele, yang besar itu kerja membangun. Engga ada duit APBN, dia kerahkan BUMN dan Swasta. Simple. Masalah besar diselesaikan dengan cara sederhana. Berpkir itu masalah kecil tetapi bekerja itu masalah besar. Tuhan menilai orang dari kerjanya, bukan dari pikirannya. 

Cerdas berlogika dan bersikap.

Mengapa kegiatan ekonomi itu terbelah.Ada yang formal dan ada yang informal. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang melimpah sumber day...