Wednesday, December 09, 2015

Tahukah kamu, kasih..

Friendship will grow day by day 
Even when we're far away
I know we'll be okay
Friends forever we'll stay
Though the future's still unknown
I will never be alone
Though we change, though we've grown
In my heart is our home 

Time has passed, we've grown up 
Sharing hope, sharing love
Because faith helped us through
I know I can count on you 

In your eyes I can see 
How we fit perfectly
Best of friends, always be you and me

 ***
Tahukah kamu bahwa bulan hanya nampak indah ketika malam. Cahayanya membiaskan warna perak berkilau pada langit. Terutama ketika dia tampil utuh bulat. Sang pujangga memandang kebulan, syair dan prosa tercipta. Sang pencinta akan mengurai bait bait cinta. Walau orang telah pergi kebulan dan telah pula menginjak bulan ternyata taka da yang luar biasa namun bulan tetaplah lambang cinta, lambang perasaan terdalam untuk mengungkapkan sepatah kata tentang cinta. Tentang makna dari sebuan kerinduan yang tak bertepi. Pernahkah kamu melihat bulan bulat mengkilat cahaya keperakan?  Mungkin pernah, yak an. Itu hanya terjadi setahun sekali. Ketika itu pekat akan menyingkir dari semesta galaksi. Langit bersih seperti baru dicuci oleh hujan. Gelembung-gelembung harum alam merintik dari segenap pori-pori awan. Pada saat itu orang  Cina berkumpul di halaman rumah mencecap kue manis berisi biji lotus, kacang hijau, dan gula merah yang manis. Mereka bercengkerama memandang bulan purnama ditemani teh sepat sampai lewat malam.

Bagi orang china ketika bulan penuh adalah saatnya untuk bertemu dan melabuhkan hatinya. Mengapa ? ada hikayatnya, pada suatu waktu, ada seorang putri terkurung di bulan. Namanya Chang Erl. Kekasihnya, Hou Yi, si pemanah ulung yang berhasil memadamkan sembilan matahari dengan anak-anak panahnya. Mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun, bertemu pada saat bulan paling sempurna untuk rindu yang tidak pernah purna, tidak pernah punah. Orang-orang Cina menyebut saat itu sebagai zhong qiu ye wan. Konon, pada saat itu Chang Erl akan menjatuhkan kembang bulan untuk sepasang sejoli. Begitulah ceritanya. Tak lebih berbicara tentang kekuatan cinta, Power of love. 

Mungkin kasih,  yang agaknya diabaikan oleh mu ialah bahwa cinta itu akan selalu mengimbau seperti surya di pangkal akanan. Kita akan selalu mendapatkan hangat dan cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar ke sana. Tapi mungkinkah mencapai kaki langit itu, menjangkau terang itu, dengan doa, dengan niat saja, ? Hidup jadi berarti bukan karena dicintai. Hidup jadi berarti karena mencintai dan berkorban untuk itu. Kasih, apakah kamu sadar bahwa mencintai itu butuh keberanian mengambil resiko. Cinta harus diperjuangkan dengan kerendahan hati bahwa kita tidak berdaya atas takdir. Mengingkari ini sama saja menapik kehendak Tuhan. Tahukah kamu bahwa perjalanan hidupku tak sepi dari kesulitan yang mendera dan  aku selalu bisa berdamai dengan kesulitan itu. Namun hal yang tersulit bagiku adalah melupakanmu. Aku sadar mungkin inilah hidupku. Aku berharap lebih dan kelebihan itu sesuatu yang mewah bagiku

Kasih tahukah kamu sebuah untaian indah bait lagu  Yue Liang Dai Biao Wo De Xin  ( Sang bulan perwujudan hatiku ). Baitnya sangat dalam maknanya. Untaian perasaan terdalam tentang harapan, kebersamaan berbagi rasa sepanjang usia. Berbagi rasa untuk selamanya. Betapa tidak ? Ni wen wo ai ni you duo shen ( kau bertanya padaku betapa dalam cintaku padamu? )  Wo ai ni you ji fen, ( betapa aku benar benar mencitaimu). Namun bagaimana bila tanya itu tidak pernah sampai keperaduan? Kamu membuat kita berjarak. Kamu bagaikan bulan diatas sana dan aku dibumi ini. Jarak yang terlalu jauh , kasih kecuali hanya sekedar memandang dengan sejuta imaginasi tentang cinta. Akhirnya sampai pada saatnya kita tak lagi bisa lagi bersedekat. Aku sadar kamu sengaja menciptakan dinding tebal yang membuat kita harus terpisah. Tentu tak elok bagi ku hidup dalam imaginasi. Memang aku butuh kekuatan itu , untuk sekedar meyakinkan bahwa aku bisa menjadi pemanah hebat. Namun aku bukan pemanah. Aku hanya pengembara hidup. Aku pergi dengan perasaan hatiku dan kamu entahlah. 

Kucoba untuk melupakan semua kenangan terindah walau tidak mudah. Kini ingin aku bertanya kabar tentang mu tapi pintu tertutup sudah. Padahal tak mengapalah  bila aku bertanya tentangmu. Sekedar memastikan kamu sahabatku baik baik saja. Tapi itupun tak kudapat. Mungkin aku sanggup mengarungi samudra, melintasi lima benua, membenamkan diri dalam dunia yang keras tak bersahabat ini, berada ditengah tengah orang yang rakus membeli apa saja termasuk membeli kembang plastik. Namun aku tidak sanggup untuk memaksamu seperti yang kumau. Kecuali menerima dan berdamai dengan kenyataan bahwa mungkin kau tidak dilahirkan untuk ku. Entahlah ! Waktu berlalu, tentu kamu tak lagi mengingatku. Dan itu pasti. Aku sadar sesadarnya. Tapi aku tetap mengingatmu, selalu.

Entah kenapa di musim dingin ketika kaki menjejak café lounge executive Paninsula Beijing, terdengar lagu  Yue Liang Dai Biao Wo De Xin begitu merasuk kedalam hatiku, wajahmu membayang. Ya, Dalam usia yang semakin menua, sampai kini aku hanya mampu mengingat , untuk ku tetap bisa tersenyum dengan perjalanan hidupku. Salahkah itu ? Oh cinta bukanlah dosa. Cinta adalah anugerah terindah dari Allah... Inilah takdirku. Walau  jiao wo si nian dao ru jin. Mengapa ? akupun tidak tahu..Kehidupan didunia ini serba fana dan tak ada satupun orang berhak memilikinya kecuali Tuhan. Karena Tuhan,  pesan cinta datang kepadaku dan karena Tuhan pula aku berdamai dengan kenyataan bahwa cinta tidak harus bersedekap. Semua berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Tahukah kamu,kasih...

Monday, December 07, 2015

Selamat tinggal...

Senja itu menyimpan makna tentang kegundahan yang tak pernah terjawabkan. Keindahan cahaya tamaram lampu disenja Laut Cordoba. Ingin rasanya berlari mengejar setiap noktah cahaya senja yang terus merangkak keufuk peraduannya. Tapi hati ini begitu tak berdaya diatas kehampaan makna hasrat yang tersembunyi. Bagai lenguhan nafas manusia yang lelah berburu tanpa tujuan. Kemanakah langkah harus diarahkan.? Sementara rasa rindu yang tak bertepi selalu hinggap didalam kalbu. Benarkah aku jatuh cinta padanya ? Apakah ini hanya photomorgana ditengah gurun sepi, yang membuatku berlari menggapainya karena dahaga akan cinta dari seorang pria. Ataukah kehadiranya hanya sebatas intermezo disela sela panantian jodohku.

“ Sedang apakah kamu kini ?”.Mungkin itu katanya bila ingat akan aku. Seperti biasa , dia akan selalu tersenyum bila meririndukanku. Kemudian hayalannya terbang kedunia yang antah berantah. Hayalan akan kesempurnaan dari seorang wanita sahabat sejiwanya.Hari berlalu ,minggu terlewati dan bulanpiun berganti, sosoknya menghias hidupku. Mengisi hari hariku dengan penuh warna keindahan. Tapi aku tak bisa mengakui itu semua. Aku biarkan rindu berlalu namun aku tak bisa menghentikan satu kata  "... aku rindu ... “

"Mungkin kamu terlalu baik bagi ku “ Katanya. Itu menyayat hatiku dibalik lirih suara ketakberdayaannya. Ingin segera kudekap kesenduaanya tapi ada hijab yang membuatku harus percaya bahwa dia tidak pantas untuk didekati, apalagi dimiliki.

Tak pernah kumengerti bagaimana ada awal namun sulit sekali dakhiri. Berawal dari kuridor Hilton Hotel , Shanghai, Pudong , dari ayunan langkah seorang pria yang nampak percaya diri dan anggukan berhias senyuman, datang menghampiriku. Kali petama mengenalnya, dia mempesonaku. Seakan begitu mudah menjadi kenyataan. 

“ Ni Hau “ kalimat yang keluar dari bibirnya menyapaku. Kemudian dan selanjutnya selalu menjadi indah. Kebesamaan denganya membuat aku mengenal dunia yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dia membuat ku selalu tersanjung. Dia mendengar keluhanku dan berbuat untuk menjagaku. Dia mengerti segala sikapku. Dia sabar dibalik keperkasaannya untuk merengkuhku. Dia punya segala galanya untuk menaklukanku namun itu tidak pernah dilakukannya. Dia begitu sederhana bersikap dan selalu menjadikanku istimewa.

“ Aku pria beristri. Aku menyukaimu karena kesederhanaanmu. Tak banyak ku berharap kecuali mendapatkan rasa aman dan nyaman dari hubungan kita “ 

Sekali lagi aku terjerambab tak berdaya. Dia bagai elang kehilangan sayap. Ingin mencapai langit namun kakinya terantai. Sementara asanya selalu ada untuk ku. Tapi mengapa aku tak bisa mengakiri ini semua. Mengapa aku membiarkan kelelahannya dalam penantian. Kugapai bayangan dari setiap makna yang tersirat namun aku tak pernah mampu menggapainya menjadi kenyataan.

Ketika pagi bersinar cerah. Aku berlari kearahnya sambil merentangkan tanganku dan dia menyambut dengan hangat. Selalu begitu. Membuat diriku begitu berartinya. Terasa mentari hanya untuk menerangi keindahan dan kecantikanku. Dibalik lesung pipiku , wajahku merona kemerahan “ Senang sekali , kamu datang untuk menemuiku. Duh rasa rindu terobati jua. Berbulan dalam penatian , larutlah sudah. “ Kataku

lagi lagi dia kehilangan kekuatan untuk menyusun kata. ‘ aku juga rindu kamu...” hanya kalimat lemah ini yang mampu terangkai. Kubiarkan dia bercoleteh tentang bisnisnya dan obsesinya. Kucoba menatap keceriaanya dalam senyuman. Ingin kugali dibalik keperkasaannya untuk kutentukan langkahku.

“ Ada yang tak mungkin bertaut diantara kita. “ akhirnya aku mengatakan jua.

“ Ada apa , ....”

“ Agama kita berbeda “ kuberanikan diri untuk sampai kedermaga kegalauanku. Ada mendung dibalik wajah pria itu. Nampak wajah lelah dan kalah. Aku tahu itu sebagai tanda aku harus pergi dari dia.Pergi untuk tidak akan kembali lagi…

“ Mengapa baru kini kamu sampaikan. Mengapa awalnya kamu tidak pedulikan ini. Mengapa ini begitu penting bagimu. Mengapa kamu biarkan hati ini tenggalam dalam laut dalam. “ Wajahnya menyimpan luka. Menyentuh perasaan wanitaku. Ingin melupakan apa yang sudah kukatakan. Ingin kuhibur dia dengan menerima sikapnya. 

“ Tak mungkin bagiku menerima pria  yang berbeda paham agama. “ Aku tetap bersikap dan dia menderita karena itu.

Mengapa tidak mungkin. Bukankah kita memiliki cinta untuk menerima perbedaan itu. Cinta kita akan mampu meredam setiap perbedaan diantara kita Bukankah kamu mencitaiku. Bukankah kamu telah berjanji setia untukku. Bukankah kamu inginkan aku menjadi belahan jiwamu, bukankah....” ah dia buat aku tersungkur dalam lubang hitam. Dia buat aku kehilangan ego sebagai wanita bila aku tak mampu menjemput katanya.

Kembali aku tersungkur. Cinta begitu indah dalam maknanya. Sementara aku sendiri kehilangan makna kecuali iman yang tak mungkin tergadaikan hanya karena seorang pria. Hanya karena cinta manusia. Cinta yang berbatas rasa dan karsa. Cinta yang tanpa keabadian bila tanpa rihdo Tuhan.

“ Bila ini yang kamu mau maka kusadari bahwa kamu tak pernah mencitaiku...Mungkin sudah nasipku bila pada akhirnya semua wanita terdekatku selalu punya alasan untuk meninggalkanku ” 

Diapun berlalu , menerima kalah dan pasrah. Ingin kukejar dan memeluknya untuk dia mengerti sikapku.. Namun tak sanggup kaki ini bergerak. Aku menangis ditempat sepi dan seakan selama ini kebersamaan dalam keceriaan hanyalah menumpang tawa ditempat ramai.

***
Malam di Cordoba itu menyimpan makna. Dibalik cahaya bulan , dipelataran Resto Seaside Cordoba. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum. Wajah yang tak asing bagiku. Wajah yang menanamkan memori terindah dalam hidupku.

“ You look to young and beautiful. How are you?“ Masih seperti dulu keindahan tutur katanya. Tapi wajahnya telah nampak menua. Matanya masih mata elang.Keras sebagai petarung dalam sepi.

“ Ya, I am fine. “ hanya itu yang dapat kukatakan dalam keterpesonaan.

“ Aku masih mengingat segala hal tentangmu. Aku menyadari bahwa aku bukanlah yang terbaik untukmu walau aku berusaha memberikan cinta terbaik.  Pada akhirnya kita harus berdamai dengan kenyataan bahwa cinta tidak harus memiliki.Kita bertemu karena Tuhan dan tentu berpisahpun karena Tuhan.”  Indah sekali hikmah dibalik tutur katanya. Itulah kata yang bersumber dari hati. Selalu indah didengar. Tidak sama dengan kata yang keluar dari nafsu dan akal sempit.

“ Aku juga masih terus mengingatmu setelah kita berpisah “ kataku dalam kebodohan karena lebih bermakna naif akan kekerdilan diri. “ Mana mungkin aku kan lupakan kenangan indah itu. Karena kenangan itulah yang membuatku belajar menarik hikmah. Bahwa tidak ada hubungan yang sempurna kecuali cinta sempurna.  Aku masih mencari dan mencari tempat berlabuh.Entah sampai kapan“ Berakhirlah sudah kegalauan. Maka diapun tersenyum. Kami akan tarus saling merindukan sebagai sahabat.  Saling mendoakan tentunya.

“ Mungkin besok aku akan menemukan pria yang pantas untukku dan kenangan tentang mu akan sirna bersama rasa bersalahku,yang tak pernah kusesali.Karena pertemuan dengan mu begitu indah dan berkah tak tebilang yang  harus ku syukuri.  Dan aku yakin kamu akan baik baik saja dan tidak menyesali pertemuan kita. “ Gundah berakhir , maka yang timbul adalah keikhlasan. Cintaku telah tergantikan oleh cinta Allah melalui pria yang dikirim untukku, kelak…

Diapun berlalu ditengah kerlap kerlip lampu malam. Tinggalah aku dalam kesendirian. Senja itu akan selalu abadi dalam memoriku. Cinta tidak selalu harus bersatu. Kepada Tuhan lah semua cinta itu berakhir. Bersua karena Tuhan  dan berakhir karena Tuhan

Sunday, December 06, 2015

Tesis dan antitesis

Ada sebuah cerita orang Yahudi tentang dua rabbi piawai yang berdebat. Yang diperdebatkan adalah dua buah naskah yang ditulis oleh Musa bin Maimon (yang dalam kepustakaan Barat disebut Maimonides), ahli filsafat yang hidup delapan abad yang lampau. Kedua rabbi itu, masing-masing pakar utama telaah karya-karya Maimonides, mempersoalkan tidak cocoknya sebuah teks dengan teks yang lainnya. Perdebatan berlangsung dengan argumen-argumen yang mengagumkan. Kedua pihak sama-sama kuat. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun disusul tahun yang lain, terus saja perdebatan itu tak berhenti. Ketika kedua rabbi itu akhirnya meninggal, di akhirat pun mereka terus saja saling mengajukan argumen yang cemerlang. Tuhan pun mengikuti diskusi itu, dan akhirnya Ia memanggil Maimonides sendiri untuk menjawab: apa sebab ada ketidakcocokan antara tulisannya di naskah A dengan tulisannya di naskah B. Maimonides pun mendekat, membaca baik naskah A maupun naskah B, dan dia tertawa. ’’Yang di naskah B itu ada salah cetak!”. Perdebatan selesai? Ternyata tidak. Kedua rabbi itu menganggap penjelasan Maimonides tidak menarik dan kurang cemerlang. Dan mereka pun terus saling mengajukan tesis dan antitesisnya….

Tesis dan antitesis yang tak putus-putusnya adalah cerita tentang teks dan tafsir, yang bukan saja berlaku untuk karya Maimonides, tapi apa saja. Apalagi dalam hal naskah atau kitab yang penggubahnya sudah tak bisa dihubungi lagi—atau memang tak bisa ditanya, seperti misalnya Kitab Suci. Begitu sebuah teks selesai dan sampai ke tangan pembaca, ’’Sang pengarang sudah mati,” kata Roland Barthes yang terkenal. Sang pengarang (l’auteur atau author), yang umumnya dianggap sebagai pemegang kunci kebenaran dan pemegang otoritas terakhir, harus dianggap sudah lepas kuasa. Sebab akhirnya setiap pembacalah yang membentuk tafsirnya sendiri. Mungkin sebab itu bahkan penafsiran Qur’an tidak mungkin ’’ditutup”. Mohammed Arkoun termasuk yang dengan konsisten mengemukakan itu, sebagaimana diterangkan oleh Robert D. Lee dalam bukunya yang baru saja terbit terjemahannya, Mencari Islam Autentik. Persoalannya, tentu, senantiasa ada dorongan ke arah penutupan proses tafsir: ada lembaga yang dibentuk untuk menentukan mana tafsir yang tepat mana yang harus dibabat, ada kodifikasi yang dilakukan untuk mencegah kekacauan, ada lapisan baru pemegang hegemoni tafsir, baik yang dideking oleh kekuasaan ataupun oleh tradisi.

Arkoun terutama mengecam kodifikasi yang diberlakukan dalam syariat, tapi di mana pun juga, kodifikasi adalah kontrol. Kodifikasi menghentikan perbedaan. Aturan yang semula terserak dan berkembang dalam habitat masing-masing, dikumpulkan, diklasifikasikan, lalu didaftar. Yang di luar itu harus dianggap barang buangan. Itu sebabnya kodifikasi hanya bisa berlangsung di bawah sebuah kekuasaan yang bisa menginterogasi, memutuskan, dan menghukum misalnya dengan fatwa ataupun dengan senjata. Tanpa sebuah lembaga yang berkuasa, kodifikasi hanya sebuah kerajinan para pakar yang memimpikan dirinya sebagai pengontrol. Yang menakjubkan ialah bahwa kekuasaan lembaga seperti itu—katakanlah sebuah majelis ulama—tidak pernah bertanya atau ditanyai dari mana kekuasan atau otoritasnya datang. Para ulama bisa mengeluarkan fatwa dan menyitir hukum tanpa menyadari bahwa fatwa, hukum, dan bahkan diri mereka sendiri terpaut dengan sebuah pengalaman. Tapi di mana ada hukum tanpa pengalaman, tanpa sejarah? Kita tahu, Arkoun menolak kecenderungan untuk menaikkan hadis, yakni ujar dan perilaku Nabi Muhammad dalam hidup kenabiannya, ke posisi wahyu Tuhan. Dengan itu ia sebenarnya hendak menekankan bahwa hanya Tuhan yang tidak tersentuh sejarah. Bahkan ia agaknya sepaham dengan yang disimpulkan oleh para pemikir di abad ke-8, bahwa Qur’an juga sebuah ’’makhluk”. Ia dibentuk dari unsur-unsur manusiawi (terutama kata-kata yang tumbuh dan berkembang di Jazirah Arab di abad ke-5) dan sebab itu tidak sepenuhnya berada di atas pengalaman.

Hal yang sama berlaku untuk kitab suci yang lain. Dalam agama Kristen, sabda Yesus bertaut dalam cerita tentang perjalanan hidupnya, yang diceritakan oleh orang yang berbeda-beda. Dalam agama Yahudi, Taurat—buku hukum itu—tidak dimulai dengan daftar aturan. Ia didahului oleh cerita tentang kejadian-kejadian besar yang dialami para patriakh. Semuanya mengisyaratkan, sebagaimana dikatakan oleh seorang penasfir Injil: ’’Pengalaman harus mendahului hukum, demikian pula cerita harus mendahului kodifikasi.” Hukum akan seperti penggilas besi seandainya di baliknya kita tidak boleh menyidik asal-usulnya di suatu masa, di suatu tempat. Dia tidak akan hidup. Syariat, yang sebenarnya adalah jalan, akan seperti lorong penjara kalau jalan itu tidak merupakan cerita dari mana ia datang. Tapi kita tahu bahwa pengalaman hanya bisa ditilik kembali, direkonstruksikan menjadi buku sejarah, bila ada kemerdekaan—juga kemerdekaan untuk menampik buku sejarah itu. Persoalannya, bersediakah kita untuk merdeka?@

Tuesday, November 17, 2015

Iman?

Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan. Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan. Ketika orang-orang " berbeda "terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kembali. Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang ber­senjata. Bunuh-membunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan ke­dua anaknya tak pernah kembali.”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun men­jelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ke­tika orang-orang Quraisy bersimaharajalela,” demikian si adik menulis. ”

Apakah saya akan setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?” Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.” Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orang-orang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang hitam memukul perkusi, sendirian.

Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya­ berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu per­kara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.” Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal agama-agama.” ”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?” Iman: antagonisme? 

Atau iman sama dengan perisai pe­lindung—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang? Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Me­ngapa kita harus memakai perisai?” Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya. ”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya untuk di­binasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra Abdullah ber­sembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang me­nyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa pun.” Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.

Apa yang inspiratif?

Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bah­wa yang memisahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agre­sif ke luar dengan yang tenang dan yakin dalam batin. Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun? Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Sa­ya pun ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mere­ka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin liang, mung­kin sarang, yang mengandung rahasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah rahasia.@

Tobat ?

TAHUN 1815. Dari penjara Bagne de Tulon, setelah 19 tahun dikurung, terpidana dengan No. 24601 itu dibebaskan. Tak punya lagi tempat kembali, ia berjalan tanpa arah, lama dan sendirian. Ia sebenarnya belum bebas. Hukum mengharuskannya membawa paspor kuning, tanda ia bekas orang rantai. Tapi sebab itu ia tak diterima menginap di losmen mana pun. Maka putus asa, bromocorah itu hanya bisa membaringkan tubuhnya di tepi jalan. Dengan rasa marah dan pahit. Tapi ini bukan kisah seorang yang marah dan pahit. Les Miserables yang termasyhur itu oleh Victor Hugo dirangkai jadi cerita kehidupan Jean Valjean, si No. 24601 yang berubah. Kita ingat bagaimana kejadiannya: tiba di Digne, kota kecil di Prancis Selatan, Valjean ditampung menginap oleh Uskup Myriel. Ia diberi makan malam dan tempat tidur—dan dibiarkan bersendiri. Malam itu, tanpa ada orang yang mengawasinya, Valjean mendapatkan kesempatan. Ia ambil pisau, sendok, garpu, dan alat-alat perak buat jamuan yang ada di kamar itu. Ia pun melarikan diri. Tapi tak bisa jauh. Polisi menggeledah bekas terpidana yang berjalan mencurigakan di dinihari itu. Pada bromocorah itu mereka temukan benda-benda milik keuskupan.

Valjean pun dibawa menghadap Uskup Myriel. Saya bayangkan bagaimana ketakutan dan putus asanya Valjean. Ia tahu, kini ia akan dikurung seumur hidup. Dulu, di kota kecil kelahirannya, Faverolles, di musim dingin tahun 1795 ia mencuri roti dari sebuah kedai karena kelaparan. Tapi hanya karena itu ia dipenjarakan lima tahun. Hukuman itu diperpanjang sampai 19 tahun karena Valjean beberapa kali tertangkap mau melarikan diri. Kini nasib lebih buruk menantinya. Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepada polisi, Uskup Myriel mengatakan bahwa Valjean tak mencuri apa pun. Barang-barang perak itu diberikan kepada tamunya yang kelaparan untuk bekal, kata Uskup. Bahkan pagi itu, di hadapan polisi, padri yang baik hati itu menyerahkan lagi sebatang penyangga kandil dari perak, seraya mengingatkan Valjean akan janjinya—meskipun laki-laki itu tak pernah berjanji apa-apa—bahwa ia akan jadi orang baik. Valjean pun bebas. Kejadian itu mengguncang hatinya. Tapi tak hanya itu. Hari itu ia—seorang lelaki perkasa—merampas uang 50 sous dari seorang anak. Tapi kali ini ia menyesal. Ia cari anak itu di seantero kota, untuk mengembalikan uang itu. Tapi tak ketemu….

Kisah Jean Valjean adalah kisah pertobatan. Sejak hari itu ia jadi orang baik yang penolong. Tapi yang luar biasa di sini ialah bahwa sebenarnya Uskup Myriel tak mengharapkan itu. ”Janji” yang disebutnya pagi itu hanya fiktif: sang uskup berbohong agar Valjean bebas dari hukuman. Katakanlah dengan itu ia juga memaafkan, tapi maafnya bukan sejenis barter. Dalam barter, X memberi sesuatu kepada Y karena ia mengharap Y memberikan sesuatu sebagai imbalan. Maaf sang uskup adalah maaf yang ikhlas, tanpa syarat. Tapi keikhlasan adalah perkara yang pelik. Memberi maaf tanpa syarat juga bisa menyembunyikan sebuah supremasi: aku memberi kau sebagai isyarat bahwa aku lebih dari kau. Bila demikian halnya, maaf itu bukanlah berarti hilang atau dilupakannya sebuah perbuatan yang membuat sang pelaku nista. Malah maaf itu menegaskan nista itu. Maaf tanpa syarat, maaf tanpa supremasi, mungkin lebih pas disebut pengampunan yang murni. Tapi akhirnya, bila kita ikuti Derrida, ”pengampunan”, dalam arti semurni-murninya, adalah ”mengampuni hanya apa yang tak dapat diampuni”, le pardon pardonne seulement l’impardonnable.

Dalam acuan seperti itu, bahkan maaf yang tanpa syarat dari Uskup Myriel kepada Jean Valjean bukanlah pengampunan yang dibayangkan Derrida, sebab kejahatan yang terjadi pada dasarnya bisa diampuni: pelakunya seorang yang takut mati kelaparan.Persoalannya: adakah kekejian yang demikian rupa hingga sama sekali tak dapat diampuni, hingga pengampunan kepadanya sebuah perbuatan yang benar-benar tanpa pamrih? Adakah ”radical evil” dalam pengertian Hannah Arndt, yang ”menumbangkan semua ukuran yang kita kenal”? Jawabannya tak gampang. Ukuran kita bergantung kepada siapa kita. Memang ada kekejian dalam kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz dan Dachau, atau dalam ”kepulauan gulag” yang dibangun Stalin, atau yang dilakukan sejumlah Maois fanatik semasa Revolusi Kebudayaan di Cina, atau pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap orang-orang kiri oleh Orde Baru di Indonesia. Kekejaman itu belum tentu keji menurut ukuran yang universal, tapi mungkin yang dimaksud dengan radical evil ditentukan oleh intensitas perasaan para korban di suatu masa, di suatu tempat. Sebagai konsekuensinya, pengampunan yang ikhlas terhadap perbuatan itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang jadi korban di suatu masa, di suatu tempat.

Tapi, tidakkah, seperti tersirat dalam ungkapan Derrida sendiri, pengampunan murni itu mustahil?  Memang mustahil, dan bisa malah melanggar apa yang dikehendaki hidup yang adil. Tapi mungkin kita dapat menerimanya sebagai imbauan ke dalam diri—untuk menggugat sejauh manakah kita mengubah diri kita sendiri waktu memaafkan. Tak jarang aku, sang korban, merasa lebih agung ketimbang yang bukan korban, apalagi ketimbang sang pelaku kejahatan. Kadang-kadang pula kita lupa, dalam memaafkan ada godaan keangkuhan, sebagaimana si kaya yang memberi derma untuk menunjukkan kekayaannya. Sebab itu pengampunan yang murni jangan-jangan tak dimaksudkan sebagai pengampunan. Tindakan Uskup Myriel mengharukan karena ia bukan mengampuni, tapi membebaskan seseorang dari siksaan—dan membebaskannya pula dari kepastian nasib yang ditentukan masa lalu. Valjean, seorang bromocorah yang ke mana-mana harus membawa paspor kuning, tak seterusnya harus nista@

Agama dimulai dengan senyap..

Agama dimulai dengan senyap. Tak seorang pun hadir di dekat Budha malam itu. Setelah enyah balatentara Mara, gergasi gaib yang mencoba mengusiknya, Budha melanjutkan meditasi. Akhirnya sampailah ia pada “ empat kebenaran luhur….”  Agama dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat. Budha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa di puncak Sinai, Muhammad SAW di Gua Hira: tiap situasi hadir sebagai situasi terpuncak, momen yang tak lazim, ketika seseorang mengalami kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous, sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius, menakutkan, memukau. Di abad ke-5, atau 500 tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”. Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih dan ngeri, ada amor dan horror — tapi tampaknya sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: konstruksi. Berabad-abad setelah sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu yang tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja yang gigantis, patung emas yang terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang berkilau – dan umat yang makmum, berdesak..

Tampaknya pengalaman religius seseorang (dalam kategori William James, “seorang jenius”) akhirnya selalu dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh – yang sebenarnya fantasi tentang yang kekal. Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan – yang sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona. Tidak, kita tak perlu terburu mengecam. Fantasi itu akhirnya toh menghasilkan seni bangun yang mengesankan: Gereja Sacré-Coeur, Pura Besakih, Qubbat as-Sakrah, Borobudur, dan ribuan pagoda yang dari langit Bagan tampak bak deretan bringin hutan di sebuah dataran Myanmar. Fantasi itu buah rindu. Ia tanda damba, takjub dan takzim kepada yang kekal, luhur, dan mempesona – sesuatu yang mau tak mau akan muncul terus, sebab yang dirindukan mustahil tercapai.. Maka fantasi adalah jejak ketak-mampuan mencapai..Ia mempertegas sebuah subyek yang muncul sebagai kekurangan. Tapi juga dengan mudah fantasi bisa jadi pengganti hal yang tak terjangkau tangan, tak terpeluk hati – seperti berhala yang menggantikan Rupa yang jauh. Manusia, subyek dalam kekurangan, makhluk yang didefinisikan oleh ingin – bukankah itu menunjukkan benarnya cattāri ariyasaccāni?

Ada adalah sengsara, adalah dukkha, begitulah menurut “empat kebenaran yang luhur”. Dukkha itu disebabkan karena kita tak tahu dan kita terikat. Kita hidup dengan hasrat akan milik dan milik atas hasrat. Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari semua itu. Tapi apa lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya hanya jadi simptom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orang-orang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampas yang-lain di dalam dan di luar diri. Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih – dan tak hanya berupa mesjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum. Yang umumnya tak disadari ialah bahwa konstruksi disusun harus dengan kekuatan yang terhimpun. Siasat dan alat harus dikerahkan – persis seperti ketika kita membangun imperium dan mengurus bisnis. Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk waktu. Maka waktu tak lagi momen ajaib seperti di situasi terpuncak ketika aku gemetar dengan “kasih dan ngeri”. Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan diukur. Persis di situlah yang sekuler merasuk ke dalam yang religius: orang menghitung abad, mendepa seculum. Waktu, seperti uang, harus dikuasai dan dipunyai.

Saya kira Stephan Batchelor benar ketika ia mengatakan, “Salah satu akibat dari proses formalisasi dan pelembagaan agama adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi punya”. Batchelor, yang mengumandangkan lagi tema Gabriel Marcel, pemikir Katolik dari Prancis. itu, tampaknya melihat dengan masygul betapa kegiatan menghimpun milik ternyata lebih mendesak ketimbang tafakur menghayati hidup. Ia agaknya sadar, juga dalam kehidupan beragama berabad-abad lamanya, orang lebih tergerak oleh dimensi “punya” (to have) ketimbang oleh dimensi “ada” (to be). Maka Budhisme Batchelor adalah Budhisme yang kembali kepada to be. Ia tak punya dan tak dipunyai lembaga: ia tinggalkan mazhab Tibet dan ia pilih Zen, dan ia menulis Budhism without Belief (1997). Batchelor, orang kelahiran Skotlandia yang sejak berumur 18 belajar di Dharmasala – pusat Budhisme Tibet selama Dalai Lama dalam pengasingan – pada mulanya seorang biksu yang serius. Tapi enam tahun setelah ia ditahbiskan, ia melepas jubahnya. Saya kira karena baginya sebuah lembaga mirip sebuah kuil yang megah: fantasi tentang keagungan yang lupa bahwa dirinya adalah fantasi. Dan seperti pagoda Shwe Dagon di Yangon, yang pucuknya meruncing 100 meter berlapiskan emas, si lembaga agama menyembunyikan jejak sekuler yang ikut membentuk kuasanya.

Tapi jejak itu tak hilang. Sore itu saya mengelilingi Shwe Dagon. Di pelbagai sudut orang berdoa. Di sebuah serambi puluhan orang mendatangi loket penyumbang. Tapi bisakah orang terbebas dari dukkha, ketika mereka sebenarnya kian tersangkut di sana? Saya ingat U Po Kyin. Pejabat pengadilan dalam novel Burmese Days George Orwell ini — korup, licik, ambisius, rakus, buncit – seorang pembangun pagoda yang baik. Ia ingin terlepas dari hukuman Sang Budha atas dosa yang tiap hari dibuatnya. Baginya, hidup adalah soal transaksi: ada asumsi semua bisa diukur dan semua akan tetap. Tapi mungkinkah? “Segala hal, wahai, pendeta, terbakar. Mata terbakar, bentuk terbakar, kesadaran mata terbakar..”.Kalau tak salah, itu suara Sang Budha.@

Sunday, October 25, 2015

Perbedaan...

11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadilan, Paris, sebuah buku dibakar. Karya itu berbentuk novel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan anak. Dengan Émile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah bersalah karena “menganggap semua agama sama-sama baik”. Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontarkan tuduhan itu; dalam ini buku, ujarnya, Rousseau telah “berani mencoba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan nubuatnya”. Ia “mengejek dan menghujat agama Kristen….”Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu dirobek dan dibakar, tapi juga agar Rousseau ditangkap. Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum bukunya dibakar, Rousseau sudah meninggalkan Prancis dengan bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari kereta, bersujud dan mencium tanah: “Yang Maha Tinggi, pelindung kebajikan, terpujilah tuan; hamba menyentuh sebuah negeri kebebasan!”. Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya di rumah seorang teman di wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk pindah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25 aristokrat adminstrator itu – disebut “Dewan Yang Duapuluh-Lima” – karya Rousseau juga dinyatakan dilarang. Émile dan Du contrat social dianggap “penuh dengan hujatan dan cercaan terhadap agama”.

Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa Katolik mengutuknya, di Jenewa penguasa kota yang Protestan Calvinis itu juga memerintahkan agar buah pikiran Rousseau itu dibasami. Pengarangnya, yang sesungguhnya seorang warga Jenewa, harus ditangkap. Rousseau pun tetap tinggal di wilayah Bern. Tapi tak lama. Sebulan kemudian Senat wilayah itu memerintahkannya untuk pergi. Rousseau pun pindah ke sebuah dusun di gunung-gunung Swiss, Môtiers-Travers. Ia ingin hidup damai di sini, tak hendak menulis apa-apa lagi kecuali surat-menyurat. Ia bahkan masuk ke dalam jemaat Protestan setempat. Ia menyambung hidupnya dengan jadi penyalin partitur musik dan menyulam. Seraya demikian ia tampil tak biasa: ia memilih berpakaian Armenia, juga ketika ke gereja. Tak jelas apakah orang percaya betul kepada Rousseau sebagai seorang Krsiten yang alim. Suatu hari ia mengunjungi seorang aristokrat. Tuan rumahnya menyambutnya dengan ucapan, “Assalamualaikum”. Para pastor Calvinis di ibukota daerah itu telah memaklumkan pengarang Émile sebagai “orang murtad”.

Di saat itu pun gereja Protestan dan Katolik bertemu menghadapinya. Agustus 1762, Uskup Agung Paris menulis 29 halaman kutukan terhadap Émile. Tapi benarkah buku itu menodai agama? Dalam prakatanya, Rousseau mengatakan, tujuan Émile adalah untuk menawarkan sebuah sistem pendidikan, buat jadi pertimbangan para aulia, bukan untuk para ayah dan ibu. Seperti Plato, Rousseau ingin memisahkan anak dari pengaruh orang tua yang datang dari generasi yang salah didik. Tapi pendekatannya tak radikal. Seraya meyakini – seperti kalimatnya yang termashur dalam Du contrat social– bahwa “manusia dilahirkan merdeka dan di mana-mana ia terikat rantai” — dalam Émile Rousseau menunjukkan jalan agar manusia bisa menerima ikatan sosial dengan bebas. Di situlah peran agama. Ketika Si Émile, tokoh anak yang jadi pusat cerita ini berumur 18, ia mulai bisa diberi pendidikan agama. Rousseau mengecam atheisme. Dalam novel ini ada seorang padri dusun, vicaire savoyard, dari pegunungan Alpen Italia, yang sebenarnya meragukan wahyu para nabi dan mukjizat para santo. Tapi padri dusun itu tak mau menuturkan keraguannya kepada jemaat. Dengan taat ia jalani ritual Gereja Roma. Sementara itu ia terus berbuat yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Ia menolak doa yang meminta-minta; doa baginya adalah lagu puja bagi Tuhan dan ekspresi kita yang merunduk pada Iradat-Nya. Sang padri tahu, meskipun agama melahirkan kekejaman dan represi, manfaatnya lebih besar. Agama adalah sebuah karunia.

Tapi justru sebab itu tak perlu kita risau melihat perpecahan dalam agama Kristen. Semua agama baik sepanjang ia memperbaiki fi’il manusia dan merawat harapan. Sungguh menggelikan untuk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang berbeda dari agama kita sebagai hal yang “terkutuk”. Kata sang padri: “Seandainya hanya ada satu agama saja di muka bumi, dan semua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadi…maka Tuhan dari agama itu akan merupakan Tuhan yang paling kejam dan tak adil.”. Di sini kita temukan kembali, dalam ekspresi yang lebih lunak, pandangannya dalam Du contrat social. Dalam uraiannya tentang negara imajiner yang diidamkannya, Rousseau menyatakan diri yakin akan kepercayaan dasar Kristen – dan ia tak berkebaratan bila ada agama yang jadi “dogma positif” bagi masyarakat. Tapi ia hanya akan mentolerir agama yang menunjukkan toleransi kepada agama lain. Bagi Rousseau, siapa yang mengatakan “di luar Gereja tak ada penyelamatan” – siapa yang mempersetankan agama lain — harus dibuang ke luar dari negerinya.

Dibaca di abad ke-21, apa yang dicita-citakan Rousseau tak mengejutkan lagi; kini makin tampak bagaimana tak adilnya (dan juga tak mudahnya ) manusia membersihkan sebuah negeri dari perbedaan iman dan tafsir. Di abad ke-18, ketika ia hidup sebagai orang yang terusir dari kota ke kota, pendirian Rousseau memang sebuah pengganggu bagi mereka yang bertopang pada iman sebagai kekuasaan. Tapi berangsur-angsur sang pengganggu itu makin tampak tak bisa lagi dibantah. Makin tampak pula bukan dia yang menodai agama, melainkan lawan-lawannya@

Mencintai dan menikahi

Dapatkah kamu bayangkan bila pada akhirnya wanita sahabatmu yang telah menjadi mitra bisnismu selama 10 tahun akhirnya jatuh cinta kepadamu. Demikan kata teman. Sesuatu yang tak pernah dia duga sebelumnya. Karena hubungan sebatas mitra dalam bisnis.Dia akui bahwa dia "mencintai" wanita itu namun dia tidak pernah "jatuh cinta". Dia mencintai dan dia mempercayai wanita itu mengelola bisnisnya sehingga mendatangkan laba yang besar. ya cinta kepada sahabat yang membuat dia peduli dan menjaganya dengan rasa hormat. Namun ketika dia menolak dengan halus bahwa dia tidak bisa jatuh cinta namun tetap mencintai wanita itu sebagai sahabat. Wanita itu pergi meninggalkannya dengan mengundurkan diri sebagai direktur tanpa minta pesangon. 

Seharian dia mencari wanita itu akhirnya dia temukan wanita itu meginap dirumah temannya. Wanita itu berkata " Tadi saya punya suami,saya mencintainya dengan tulus dan diapun mencintai saya. Namun akirnya dia pergi kewanita lain disaat saya dan anaknya sangat membutuhkannya. Sementara kamu, pria yang saya kenal sebagai sahabat,tidak pernah jatuh cinta kepada saya karena kamu hanya jatuh cinta kepada istrimu, namun kamu selalu ada untuk saya ,menjaga saya ,mendidik saya dengan sabar.Kamu terlalu baik.Apakah salah saya jatuh cinta kepadamu. Saya butuh suami dan anak saya butuh ayah.Salahkah bila saya berharap" demikian katanya mengulang ungkapan cinta wanita itu kepadanya.

Lantas apa yang dia lakukan menghadapi persoalan ini? karena bagaimanapun dia tidak mau kehilangan wanita itu sebagai mitranya yang sukses mengelola bisnisnya dan tentu dia tidak mau mengecewakan istrinya yang telah memberi dia anak. Apa yang dia lakukan? menurutnya dia menceritakan semua hal tentang wanita mitranya itu kepada istrinya.Istrinya mendengar dengan seksama. Setelah itu istrinya menawarkan usul untuk mengundang wanita itu makan malam bersama. Dia,istrinya dan wanita itu.Juga masing masing membawa anak.Istrinya yakinkan semua akan baik baik saja setelah dinner. Dia menyetujui...

Ketika makan malam bersama, istrinya berkata kepada wanita itu "Saya sudah tahu semua tentang kamu dari suami saya. Saya hanyalah ibu rumah tangga. Saya tidak punya pendidikan tinggi seperti kamu tapi saya melahirkan anak dari suami saya yang semuanya sarjana.Saya hargai kamu membantu suami saya selama ini karena dia memang harus dibantu. Tapi ketahuilah bahwa bapak bukan suami yang pas utk kamu. Kamu akan menderita karena itu dan saya terluka. Terimalah kenyataan dan kalau tidak bisa menerima maka berdamai lah dengan kenyataan. ingatlah Bapak akan selalu ada untuk kita membagi cintanya namun dia tidak akan jatuh cinta lagi. Paham ya sayang.."

Wanita itu menangis mendengar kata sejuk dari istrinya. " Terimakasih Bu. Terimakasih udah ingatkan saya. Maafkan saya bila saya terlanjur jatuh cinta kepada bapak.Saya akan melupakan keinginan itu dan berdamai dengan kenyataan.. Ya bapak akan selalu ada untuk kita membagi cintanya dengan cara berbeda. Aku akan terus bekerja keras untuk bapak dan berkorban untuk cinta.Tentu ibu akan tetap satu satunya wanita yang mendampingi bapak dan berkorban untuk cinta.Ya cinta yang berbeda karena posisi kita berbeda" demikian kata wanita itu.

Kedua wanita,istri dan wanita sahabatnya saling berpelukan sebagai ungkapan ketulusan untuk saling menghargai sesama wanita..tanpa harus menyakiti dan kecewa. Karena mencintai adalah pilihan namun menikah adalah takdir..Menyadari ini tidak perlu harus merasa paling superior,Pada ahirinya nilai dihadapan Tuhan, kembali kepada niat baik dan keikhlasan sebagai sahabat atau istri.

Pemimpin merakyat..

Tadi saya ketemu dengan teman yang juga kepala daerah yang baru pulang haji. Waktu acara selamatan pergi haji saya diundangnya tapi tidak sempat datang. Kesempatan dia ada dijakarta karena dipanggil Presiden , saya undang makan siang. Apa yang membuat saya terkejut adalah dia pergi dengan haji generik bukan ONH plus. Dia juga merangkap pemimpin rombongan haji asal daerahnya. Ketika di Mekkah dia satu kamar dengan jamah haji dari daerah yang dipimpinnya. Teman sekamarnya itu berprofesi sebagai tukang cukur yang membutuhkan waktu 10 tahun nabung. Tidak ada sedikitpun dia merasa rendah ketika melayani jemaah yang menjadi tanggung jawabnya sebagai kepala rombongan. Baginya Ini biasa saja dan lagi semua mereka adalah rakyatnya sendiri. Dia merasa lebih nyaman bersama jamah dari rakyat jelata karena memang tugas pemimpin dekat kepada rakyat yang lemah. 

Sebagaimana Chavez adalah pembebas bagi rakyat Venezuela. Ia menggunakan kekuasaannya untuk merebut kembali kontrol terhadap sumber daya dan kemudian menggunakannya untuk memberantas kemiskinan, membebaskan rakyat dari buta huruf, menggratiskan pendidikan dan kesehatan, menciptakan toko sembako murah di seantero negeri, dan uan pensiun bagi lansia.Dia juga adalah sosok Presiden yang sederhana. Seperti Fernando Lugo dan Jose Mujica, Chavez juga menyumbangkan sebagian besar gajinya untuk anggaran sosial. Chavez juga dikenal Presiden yang sangat merakyat. Ketika melakukan kunjungan, Ia hanya menggunakan jeep atau menumpangi truk. Ketika hujan lebat mengguyur Venezuela, yang berakibat banjir hebat di mana-mana, Chavez membuka pintu istana Kepresidenan sebagai tempat penampungan. Baginya, Istana Kepresidenan adalah rumah rakyat. 

Siapa yang tak kenal Nelson Mandela? Dia merupakan pemimpin terkemuka pembebasan Afrika Selatan dari kolonialisme dan apartheid. Namanya begitu termasyhur di seluruh penjuru Afrika dan dunia. Meski begitu, Mandela tetap merupakan sosok yang sederhana. Begitu menjadi Presiden tahun 1994, Mandela rutin memotong gajinya untuk disumbangkan bagi anggaran sosial. Malahan, kemudian, ia menyerahkan sepertiga gajinya untuk membantu anak-anak. Rumahnya di Johannesburg maupun di desa asalnya, Qunu, terbilang sederhana dan tak ubahnya dengan rumah masyarakat umum. Tahun 1994, ketika negerinya didera utang warisan rejim lama, Mandela menyerukan pejabat negerinya mengencangkan ikat pinggang. Namun, sebagai langkah awal, ia memulai dengan memotong gajinya sendiri dan gaji Wakil Presiden.

Kalau mau meniru maka tirulah Rasulullah.Ia adalah contoh kesederhanan pemimpin tak tertandingi sampai kini. Mengapa ? Rasulullah memang bukan tipologi pemimpin aji mumpung. Beliau ibarat pemimpin yang berada di dalam kolam oli namun sama sekali tidak terciprat oli. Tidak heran, sebagai pemimpin sekaligus penguasa dua Kota Suci, Mekah dan Madinah, beliau justru mengahadap Allah dalam balutan pakaian kasar. Harta yang diwariskan hanya berupa baju besi (dir’un). Itu pun terpaksa digadaikan kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ atau gantang gandum demi menopang biaya hidup keluarga beliau. [HR Bukhari dan Muslim].Kehebatan lain dari kepemimpinan Rasulullah adalah kedermawanan. Kendati miskin harta, beliau terbukti pribadi yang paling dermawan. Rasulullah sangat ringan hati di tengah hidup serba kurang. Tidak pernah ada peminta datang ke rumah yang tidak beliau kabulkan permintaannya. Rasulullah tidak menyimpan harta kecuali sekadar untuk kebutuhan. Beliau bersabda, “Andaikan aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, niscaya aku tidak suka kalau berlalu sampai lebih dari tiga hari, sekali pun di sisiku tinggal ada sedikit emas, kecuali kalau yang sedikit itu aku sediakan untuk memenuhi hutang yang menjadi tanggunganku.” [HR Bukhari dan Muslim].

Kemiskinan tidak menghalangi Rasul untuk membantu kesulitan orang. Terlebih lagi dalam urusan ibadah, Rasulullah benar-benar tidak mengenal istilah pelit atau perhitungan. Kita bisa simak dalam haji wada’ (perpisahan). Seusai rombongan umat Islam kembali dari melempar jumrah Aqabah di Mina, Rasulullah memerintahkan hadyu (penyembelihan hewan kurban). Aturan hadyu, satu ekor domba untuk satu orang dan satu ekor unta untuk tujuh orang. Tetapi, perhatikan, Rasulullah sendiri membawa 100 ekor unta. Beliau menyembelih 63 ekor atau seekor unta untuk satu tahun umur beliau. Yang 37 ekor beliau serahkan kepada Ali bin Abu Thalib untuk disembelih. Teman saya ingat nasehat Jokowi "selalu lah bekerja keras dengan dekat kepada rakyat lemah. Masalah bangsa Ini sebagian besar ada pada mereka dan mereka paling tahu apa yang seharusnya pemimpin perbuat. Jangan sibuk menyalahkan keadaan tapi jadilah penyelesai masalah. Karena itu yang dibutuhkan rakyat. Kerja keras dan niat baik karena Allah pasti berakhir baik dan yang untung juga rakyat" Memimpin adalah cobaan terberat dari segala cobaan yang diberi Allah. Tanpa pertolongan Tuhan tidak ada yang bisa selamat memimpin. 

Wanita pilihan

Siapa yang tak kenal dengan Mark Zuckerberg, pendiri sekaligus CEO Facebook yang pernah datang ke Indonesia dan bertemu Presiden Jokowi, serta orang muda terkaya di Amerika. Tapi, tahukah Anda, kalau Mark telah melabuhkan hatinya pada sosok wanita Asia bernama Priscilla Chan? Keduanya menikah sejak tahun 2012 silam dengan upacara yang cukup sederhana di halaman belakang rumah meraka di Palo Alto, California dengan hanya dihadiri 100 tamu undangan. Tidak sama dengan sang suami, sosok Priscilla Chan diketahui jarang muncul di hadapan publik. Ia lebih memilih menjadi sosok di belakang kesuksesan Zuckerberg. Ya, tentunya keberhasilan Zuckerberg menjadi orang hebat di dunia tidak dilakukan sendirian, tetapi ada orang-orang terdekatnya yang juga men-support. Salah satunya adalah sang istri, Priscilla Chan. Bagi yang belum banyak mendengar nama Priscilla Chan pasti akan penasaran siapa sebenarnya wanita yang mampu merebut hati salah satu pria yang menjadi milyarder termuda di dunia tersebut. Chan fasih dalam tiga bahasa, yaitu Inggris, Spanyol dan Kanton. Namun dari tiga bahasa tersebut, bahasa kantonlah yang membuat Zuckerberg terpikat. Pada tahun 2010, Zuckerberg mulai belajar bahasa China untuk menyiapkan perjalanannya ke China bersama Priscilla. Soalnya, Priscilla masih mempunyai keluarga di China. Sampai sekarang Zuckerberg memang belum fasih berbicara bahasa asal sang istri, tetapi paling tidak ia sudah bisa berkomunikasi dengan nenek Priscilla.

Ada kisah lama seorang pria sukses dan kaya yang ditanyakan rahasia kesuksesannya. Ia pun menjawab dengan bangga bahwa rahasianya adalah memiliki istri yang baik dan mendukungnya. Tapi, ketika pria yang belum menikah ditanyakan seperti apa istri yang diinginkan, pria akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Beberapa pria menjawabnya dengan sederhana yakni yang baik dan yang lainnya menjawab wanita itu harus seperti ibunya. Lantas seperti apa wanita sempurna yang dicari pria? Psikolog menjelaskan bahwa bukan profil wanita ini yang satu-satunya dilihat pria. Ternyata, karakter wanita bukan intinya. Keadaan internal wanita yang benar-benar penting. Seperti dikutip GeniusBeauty, Kamis (6/2/2014), berikut wanita yang diinginkan pria jadi istrinya. 1. Wanita sederhana. Seorang wanita menjadi luar biasa, istimewa dan menakjubkan. Tapi, jika ia wanita polos dan sederhana, kualitasnya terlihat menjadi luar biasa. Orang bijak di zaman dahulu mengatakan, kesopanan yang membuat wanita menjadi cantik. Itulah yang ditegaskan mayoritas psikoterapis. Tak ada yang mengejutkan bahwa jika wanita mencoba menjadi sederhana, pria akan tertarik pada Anda. 2. Wanita lemah. Kekuatan wanita adalah kelemahannya. Di dekat seorang wanita yang lemah ada pria yang lebih kuat. Seorang wanita yang lemah tak mengatakan dia lemah dan dia berhasil tetap aktif.

Wanita ini tahu bagaimana melihat pria itu sebagai orang yang kuat. Tapi, seorang wanita yang kuat selalu harus membuktikan dia kuat, bersaing dengan pria, mengalahkan orang lain dan menjelaskan seperti apa dunia itu seharusnya.Orang yang lebih kuat diciptakan untuk melindungi wanita. Jika wanita bisa melindungi dirinya sendiir, dia tak membutuhkan pria. 3. Wanita rasional. Wanita tahu di mana ia bisa membeli sesuatu yang lebih murah tapi menghargai kualitas. Wanita bisa dipercaya memegang anggaran keluarga. Rasionalitas adalah sinonim dari kecerdasan. Setiap pria akan senang menikahi wanita yang rasional. 4. Wanita menawan. Pesona wanita merupakan hal alami yang dilihat pria. Perempuan yang berpikir dengan logika dan nalarnya bisa menyihir seorang pria. Ini disebabkan fakta bahwa wanita itu bisa menunjukkan cara berpikir yang tak bisa dicapai pria. Perempuan memiliki otak yang diatur berbeda dan koneksi multipolar ada di sana. Terkadang, wanita berpikir logis dibandingkan pria yang mencintai wanita. Kealamian ini yang mengacu pada kualitas terbaik untuk menjadi seorang istri.

Ya, kebanyakan wanita cantik ketika muda gempang menaklukkan laki laki dengan kecantikannya. Tapi setelah dia berhasil menaklukkan laki laki dia lupa mengembangkan kepribadiannya agar lebih cantik dari wajahnya. Lebih seksi dari tubuhnya. Justru kecantikan raganya dirawat dengan ongkos mahal sehingga membuat pria bosan. Banyak wanita tidak begitu cantik dan terkesan sederhana namun di sisinya pria sederhana menjadi hebat. Karena dia tidak menaklukkan dengan kecantikannya tapi dengan kepribadiannya dan merubah pria menjadi lebih baik. Membuat pria tidak pernah bosan bersamanya. Ada satu hal yang dilupakan oleh wanita cantik bahwa bila dia memilih pria karena hartanya maka nilai harta tidak akan jatuh karena usia tapi nilai kecantikan wanita bisa jatuh karena usia... Saat itu siap siaplah untk kecewa

God as me.

Waktu usia dibawah 30 tahun saya latihan karate.Sampai kini saya rutin latihan sendiri tapi hanya seminggu sekali.Hanya sebatas kembang jurus untuk membuat tubuh berkeringat. Namun ada latihan yang setiap hari saya lakukan. Latihan ini saya dapat dari pelatih saya yang mengajarkan bukan gerakan phisik tapi menanamkan persepsi tentang materi kepada saya bahwa "sesuatu itu sebetulnya tidak ada dan ada karena pikiran kita". Persepsi ini dilatih dengan meditasi mengatur pernapasan. Meditasi ini dilakukan dengan konsentrasi tinggi melihat satu objek sampai objeck tersebut tidak nampak lagi. Namun saya selalu gagal dalam meditasi ini. Kadang lebih dari 1 jam tetap saja materi dihadapan saya nampak. Saya butuh berpuluh tahun untuk sampai pada tahap meditasi dimana materi didepan saya dalam 10 menit tidak kelihatan,lenyap. Saat itu tubuh saya terasa melayang dan relax. Bagaimana saya bisa mencapai tahap itu ? ternyata pemahaman yang menyatu dalam pikiran dan jiwa saya. Persepsi terhadap materi ini saya ulang ulang terus kedalam pikiran saya selama latihan. Berjalannya waktu,persepsi itu merubah sikap saya terhadap materi. Karenanya ketika saya melakukan meditasi ,saya sudah berada dalam persepsi saya secara utuh dan hanya 10 menit semua benda dihadapan saya hilang dan yang terdengar hanyalah detak jantung saya..

Dampak dari latihan itu terasa sekali dalam kehidupan saya untuk mengendalikan pikiran saya.. Mengapa ? karena semua persepsi didunia ini berhubungan dengan materi,dan selagi kita menganggap materi itu ada maka selama itu kita terisolasi dengan derita berlebihan dan senang berlebihan. Ini akan membuat kita lemah dan cenderung menggiring kita berpikir negatif. Padahal Tuhan ciptakan otak dan memberi free will terhadap pikiran kita agar kita menjadi sebaik baik nya mahluk ciptaanNYA. Ketika pergi haji 10 tahun lalu saya mendapatkan hikmah luar biasa. Melihat gerakan tawaf dan jutaan orang bergerak ke arafah. tak nampak lelah dengan wajah penuh semangat...Ahaa..ini dia sebenarnya hakikat agama yang sebenarnya bahwa dunia ini atau apapun tidak ada. Yang ada hanya Allah, Cinta.Setelah itu ketika sholat persepsi saya terhadap materi terbentuk dan sholat saya begitu nikmat. Dunia hanyalah permainan saja..Lantas lucu sekali kalau gila dunia dan euforia berlebihan yang semuanya semu dan derita juga bukan sesungguhnya derita. Semua karena pikiran.

Memahami kekuatan pikiran ini memang tak jauh dari hal pertama, bahwa kita menciptakan kejadian di alam semesta ini bersama Tuhan. Kedua, kita bekerja sama dengan Tuhan untuk menciptakan berbagai peristiwa yang kita kehendaki. Artinya Allah itu sangat dekat dengan kita. Bahkan kalangan ahli tasawuf mengajarkan manusia harus memikirkan diri sebagai manifestasi Tuhan. God as me. Tuhan sebagaimana saya. Sebagaimana paham wahdatul wujud, bahwa kehendak seseorang bersatu dengan kehendak Tuhan. Pada tingkat tertentu, menurut pandangan itu, dalam pengalaman ruhani yang sangat tinggi, yakni paling ujung dari seluruh perjalanan sufi, manusia tidak lagi bisa membedakan mana dirinya dan mana Tuhan. Pada tahap ini kemampuan akal tak lagi berfungsi untuk membedakan antara khalik dan makhluk, antara Tuhan dan saya. Karena berbagai peristiwa di alam ini tak lepas dari hasil yang dibentuk oleh pemikiran kita, maka kita harus bertanggungjawab atas berbagai peristiwa di sekitar kita. Think twice before you speak, because your words and influence will plant the seed of either success or failure in the mind of another. 

Baik dan buruk hasilnya adalah pilihan cara kita berpikir. Andai ada orang lain berpikir buruk, maka hindarilah karena kalau buruk yang terjadi maka kitapun ikut bertanggungjawab. Allah Maha Adil dan menjadi pendukung kuasa untuk menunaikan itu semua. Alangkah indahnya bila hanya pemikiran mulia yang selalu dekat sama kita, sebagaimana kita dekat kepada Allah. Sehingga tujuan kemuliaan hakikat kita terpenuhi lewat pemikiran kita yang selalu menyatu dengan Allah; sebagai rahmat bagi alam semesta, bukannya perusak.

Sunday, September 27, 2015

Memiliki?

Kamu tahu dua belas tahun kami berumah tangga. Begitu indahnya Kami bermimpi tentang banyak hal dimasa depan. Kami bertengkar tentang hal yang engga penting.Kami bercerita banyak hal dengan ceria.Cemburu seperti kanak kanak. Kami bergandengan dengan hangat dan kami terus bersama seakan tak terpisahkan.Sebagai wanita saya merasa telah berkorban segalanya. Dua belas tahun karir saya habis memikirkan dan mengerti dia.Dua belas tahun saya menghabiskan lebih dari separuh penghasilan saya untuk mendukung bisnisnya yang tak kunjung berhasil. Ketika saya lelah dengan keadaan kami memutuskan tidak bersama lagi..Dimana cinta itu ?

Saya katakan bahwa kalian berdua tidak pernah saling mencintai. Kalian berdua hanya mencintai diri sendiri. Sehingga sulit sekali bersatu ketika harapan dan impian tidak tercapai. Ketahuilah oleh mu bahwa Cinta itu adalah menyadari bahwa realitas lebih baik daripada mimpi dan berjuang untuk saling mengerti melewati hari hari dengan saling memperbaiki . Memang pahit. Karena kamu harus menari seperti orang lain tidak menontonnya. Menyanyi seperti orang lain tidak pernah mendengarnya. Tersakiti seperti kamu tidak pernah terluka karenanya. Hidup seperti layaknya kamu tidak pernah tahu apa itu sorga Dan itu hanya mungkin berbuat dan berkorban satu sama lain tanpa pernah bertanya mengapa. Kalian saling mengetahui sebuah alasan mengapa kalian harus bersama..

Huhhh itulah cinta yang kamu maknai.? Sampai kini aku tidak tahu cinta yang kamu maknai. Jelaskan kepadaku. Menurutku cinta itu tidak perlu didefinisikan. Sekuat apapun kamu ingin meraih impian cinta maka kamu akan menghadapi ujian dengan derita sampai kamu tidak lagi berpikir tentang mimpi tapi sebuah kenyataan yang harus kamu lalui dengan rendah hati, tanpa kebanggaan, tanpa merasa saling ingin memiliki, ingin menguasai. Mengapa ? Karena pemilik cinta itu adalah Tuhan. Bila hubungan karena Tuhan maka cinta tidak lagi dimaknai dengan mimpi indah tapi kenyataan yang harus dilewati dengan semangat memberi dan ikhlas.Tak penting siapa memanfaatkan siapa..Dia dapat bisa mengerti.

Seusai pertemuan itu.Aku teringat kata kata istriku dirumah "Aku merasa nyaman ketika aku melangkah kamu memegang tanganku untuk memastikan aku tidak terjatuh dan aku mengkawatirkan kebiasaanmu yang selalu lupa makan siang karena kesibukan".Aku tersenyum.
"itu sebabnya sampai kini kita selalu bersama,ya kan"..kataku.
' Tak terasa 32 tahun kebersamaan kita. Serasa baru kemarin ,kamu pria kampung datang melamarku tanpa pernah berkata i love you kepadaku namun dalam sholat kita bersama sama berharap kepada Tuhan agar menguatkan kita untuk saling melengkapi tanpa saling memilki atau menguasai karena pemilik kita adalah Tuhan..

Memaafkan dan lupakan..

Memaafkan satu hal tapi untuk kembali mempercayainya lain hal. Demikian kata teman saya ketika kami berdiskusi tetang sesuatu. Benarkah sikap teman ini ?Saya teringat ketika masih remaja saya merasa marah dengan teman saya. Mungkin karena saya tidak mampu melawannya maka marah berubah menjadi dendam.Bahkan dalam doa saya memohon kepada Tuhan agar orang yang membuat saya kecewa itu dikutuk.Tapi kenyataannya orang yang saya doakan buruk itu nampak biasa biasa saja. Atas masalah ini saya bicara kepada iibu saya.Dengan tersenyum ibu saya berkata bahwa ketika orang membuatmu marah dan kecewa sebetulnya Tuhan sedang mengujimu agar kamu sempurna. Mengapa ? Orang yang membuat dirimu kecewa itu berhadapan dengan Tuhan atas sikapnya dan Kamu juga berhadapan dengan Tuhan atas sikapmu.Jadi keduanya berhadapan dengan Tuhan dalam konteks berbeda. Bagi yang mengecewakanmu dia diuji dengan kelebihannya agar dapat bijak sehingga tidak membuat orang lain kecewa dan marah. Sementara bagi kamu yang lemah diuji agar bersabar atas sikap orang lain yang lebih kuat darimu. Keduanya diujji oleh Tuhan. Siapakah yang terbaik? ya dia yang bisa mengambil hikmah dari peristiwa itu.

Saya katakan kepada ibu saya bahwa teman saya itu sudah datang meminta maaf dan saya maafkan. Tapi tetap saya tidak mau lagi berteman dekat dengan dia.Karena saya tidak percaya dengan dia.Ibu saya menjawab bahwa teman saya mendapatkan hikmah dari kesalahannya dan kamu tidak mendapatkan apa apa walau kamu sudah memaafkannya. Maafkanlah dan lupakan.Artinya buka lembaran baru hubunganmu dengan temanmu. Selagi kamu bersikap keadaan tidak sama lagi seperti sebelumnya maka kamu tidak pernah memaafkan.Karena kamu tidak bisa melupakan kesalahan itu.Kamu akan sakit dan hatimu akan mengeras.

Mengapa ? Dalam hidup ini banyak hal yang sulit dimengerti , bahkan terkesan paradox. Tahukah kamu nak, banyak orang yang "gila"alias irasional tapi kamu tidak boleh membencinya.Tetaplah mencintainya. Kadang kamu berbuat baik tapi orang lain menuduhmu pencitraan.Tetaplah berbuat baik. JIka kamu sukses akan banyak teman palsu dan musuh sejati disekitarmu. Jangan takut.Tetap capai kesuksesan. Seberapa besar kamu memberi bantu kepada seseorang, dia akan dengan mudah melupakannya karena beberapa sebab. Tetaplah memberi bantu. Kejujuran itu pahit dan kadang mebuat orang lain terluka.Jangan takut untuk bersikap jujur.

Apa artinya nak? apapun yang terjadi itu bukanlah antra dirimu dengan orang lain tapi antara kamu dengan Tuhan. Kamu tidak boleh merubah jalan kebenaran yang ditetapkan oleh Tuhan hanya karena sikap orang lain.Kalau salah maafkan dan jangan ragu untuk memulai lagi agar kamu dan dia berubah menjadi lebih baik. Kalau kamu menghindarinya karena alasan tidak mempercayainya itu artinya kamu tidak berjalan dijalan Tuhan tapi dijalan kamu sendiri. Dijalan egomu. Selamanya kamu menilai dirimu sendiri dan lupa orang lain juga menilaimu,dan Tuhan maha tahu bahwa kamu terlalu mencintai diimu sendiri dan lupa bahwa sesungguhnya tugasmu harus mencintai orang lain,apapun kondisinya.

Mengapa ? kamu harus mejadi agent perubahan terhadap lingkungan khususnya lingkungan terdekat kamu.Bagaimana kamu bisa merubahnya menjadi lebih baik bila kamu tidak bisa merebut cintanya hanya karena kamu tidak lagi bisa mempercayainya. Banyak orang berkata "dia jahat, tetapi engkau dapat menghindarinya. Islam berkata kepada pengikutinya " dia jahat, tetapi engkau dapat mengubahnya". caranya ? jangan berjarak tapi bersedekatlah, maafkan dan lupakan,perbaruilah..Mari menjadi agent perubahan untuk rahmat bagi alam semesta.

Belajar dari pribadi Jokowi

Pembohong, pencitraan, kodok,kafir, keturunan china,dan banyak lagi kata buruk yang tak sudah dialamatkan kepada sosok Jokowi selama putaran Pilpres. Apa yang terjadi kemudian ? Jokowi terpilih sebagai Preside.Seorang tukang kayu yang direndahkan terpilih untuk memimpin 200 juta lebih rakyat indonesia. Apakah usai hujatan terhadap Jokowi? tidak. Hujatan semakin keras. Bahkan ada anak muda yang begitu berani meng upload meme Jokowi dan Megawati bersenggama. Ini benar benar puncak penghinaan lewat dumay. Anak muda itu dibebaskan dari hukuman penjara dan bahkan mendapatkan santunan dari Ibu negara untuk modal usaha. Didunia maya begitu keras menghujat dan menyudutkan Jokowi terus berlangsung. Sementara dari lingkaran kekuasaan Jokowi terjadi komplik dalam senyap. Karena proses politik terpilihnya Kapolri,digunakan lawan politiknya untuk membuat hubungan Jokowi dengan Megawati menjadi complicated. Megawati yang sangat dihormati oleh Jokowi akhirnya memilih menjauh dan menghindari berbicara dihadapan publik mendukung Jokowi.Bahkan dalam acara kongkres PDIP publik melihat bagaimana buruknya hubungan antara Jokowi dengan Megawati. Maka lengkaplah didunia maya reputasi Jokowi terus digoyang dan didunia nyata reputasinya dipertanyakan oleh partai yang mendukungnya.. Padahal saat itu adalah saat kritis dimana Jokowi sangat membutuhkan partai mendukungnya ada bersamanya.

Jatuhkah Jokowi ? tidak! hujatan dihadapinya tidak dengan hujatan atau curhat didepan publik tapi dengan kerja keras. Lemahnya dukungan dari partai pendukung dihadapinya dengan sikap konsisten atas agendanya dan tak gentar mengahadapi resiko kettika harus berhadapan dengan Mafia yang sebagian besar didukung elite politik.Jokowi melaju tak terbendung. Mengapa dia bisa melewati itu semua ? Dari kesederhaan sikap dan perbuatannya , tidak sulit baginya untuk mengajarkan hal yang konstruktif kepada siapa saja agar emosi tetap terjadi secara positip, mengundang orang untuk mengambil langkah keyakinan melalui sepatah kata tentang apa yang mungkin , menciptakan sebuah inspirasi kolektif. Semua itu tercermin dari caranya berpikir ( way of thinking ) , merasakan ( feeling ) dan kemampuannya memfungsikan semua potensi positip ( functioning ) , sebuah cara hidup ( the way of life ) dan cara menjadi ( way of being ) yang transformative. Hal tersebut melebur dalam hati dan jiwa seiring keteladannya untuk cinta dan kasih sayang. 

Seorang teman analis investasi yang ikut dalam petemuan itu mengatakan bahwa apapun yang diungkap di sosmed tidak akan membuat seorang pria jatuh reputasinya kecuali dua hal ,pertama, dia melakukan tindak kriminal atau korup dan kedua, skandal percintaan yang sehigga merugikan dan merendahkan wanita. Siapapun dia bahkan walau dia ustadz atau pendeta, rahib yang sering tampil dimimbar dan dikenal santun namun bila dia terkena tindak kriminal atau korup maka hancurlah reputasinya. Walau dia berjuang sekeras membela dirinya maka dia tetap pecundang. Begitupula bila dia melakukan skandal percintaan yang sehigga merugikan dan merendahkan wanita atau istrinya maka hancurlah reputasinya.Sehebat apapun masalalunya orang akan melupakannya dan menjadikannya alas kaki. Dunia sosmed sangat kejam menghukum seseorang. Hanya dua kesalahan itu saja hukum sosmed bekerja efektif membuat seorang pria hancur berkeping keping.Padahal bukan tidak mungkin Tuhan telah mengampuninya namun sosmed tidak peduli itu.

Tapi selagi pria tidak melakukan dua hal itu maka apapun celoteh tak senonoh terhadapnya tidak akan merusak reputasinya. Bahkan dia semakin terkenal dan semakin mendapat simpati. Semakin di bully semakin orang ramai tahu bahwa yang mem bully itu bukanlah siapa siapa dan mengomentarinya hanya menjatuhkan kelas dan merendahkan intelektualitas. Itu sebabnya Jokowi tidak mau menuntut orang yang menghina dan bergunjing serta berceloteh tak santun terhadapnya.Dia hadapi dengan senyuman sambil berkata "aku rapopo".Karena Jokowi bukan Bill Clinton yang terlibat skandal sex dengan sekretarisnya dengan kisah blowjob. Karena Jokowi bukan tokoh yang terlibat korup bersama istri keduanya. Jokowi hanyalah pria sederhana yang setia kepada istrinya dan menjaga kehormatan keluarganya dengan melarang mereka kaya dengan kekuasaannya.

Berlalunya waktu, tanpa disadari aura positipnya mampu mempengaruhi sebagian besar elite politik. Orang orang baik dari partai maupun tokoh masyarakat, tokoh agama semakin banyak merapat ke Jokowi. Kelompok partai yang memilih berseberangan Politik mulai memilih untuk bergabung dengan kubu jokowi. Ibu Megawati puntampil didepan publik ketika pelantikan menteri usai reshuffle .Ibu kembali berada disamping Jokowi setelah sekian bulan bersediam dan berjarak. Kini parlemen berada dibawah kendalinya untuk memastikan dia terus melaju dengan agenda niat baiknya,untuk negeri yang dia cintai. Tidak ada dendam.Tidak ada kebanggaan atas semua itu. Semua dirangkul dan diajak untuk melangkah bersama demi perjuangan membela NKRI.

Nak,apa yang dapat kamu pelajari dari sosok Jokowi? Ingatla lah, ketika kau berjuang untuk kebaikan maka akan terjadi proses benturan antara dirimu dengan orang orang sekitarmu.Walau kadang menyakitkan, terluka, teruslah melangkah. Jangan pernah surut langkahmu hanya karena orang orang menghujatmu, memfitnahmu, merendahkanmu. Yakinlah lukamu tak akan lama sampai orang buruk laku tersingkir dengan sendirinya dan tergantikan oleh orang orang yang tulus mencintaimu , untuk setia dibelakangmu dengan obsesimu.Mengapa? karena Nak, niat baik yang ikhlas karena Tuhan tak lain Tuhan lah yang akan menjagamu dari niat buruk orang lain..Kau akan selalu baik baik saja

Pemerintah Suriah jatuh.

  Sebelum tahun 2010, kurs pound Syuriah (SYP) 50/1 USD. Produksi minyak 400.000 barel/hari. Sejak tahun 2011 Suriah dilanda konflik dalam n...