Tahun 2006 bulan agustus. Baru dua minggu perang berlangsung antara Hizbullah dan Israel. Saya terpaksa masuk Bairut. Seorang teman penghubung saya di Damaskus membantu saya masuk Bairut lewat Arida, perbatasan Libanon-Suriah. Dengan kendaran corolla dia bawa saya melintasi perbatasan. Kartu pengenal saya membatu saya bisa lolos pemeriksaan petugas. Memang ketika masuk kawasan Libanon terasa sekali suasana mencekam. Namun situasi keamanan tetap terkendali. Di Beirut saya bertemu dengan penghubung saya. Dia wanita kristian. Yang selalu menggunakan jilbab warna hitam. Namanya Sobia.
Kadang malam saya tidak bisa tidur. Kata Sobia. Saya terus berdoa kepada Tuhan Yesus. Agar mereka diampuni dosanya. Mereka yang bertempur itu karena mereka tidak tahu cinta kasih Tuhan Yesus. Kami harus terus mendoakan mereka. Tidak boleh kehilangan harapan. Tuhan Yesus akan datang dengan cintaNYA meyelematkan manusia dari dosa, demikian tutur Sobia. Saya sempat berpikir. Bagaimana dia memaknai setiap doa yang dia lantunkan. Faktanya, yang selalu datang menolong mereka ketika datang serangan Israel, itu adalah hizbullah yang punya keyakinan perang adalah Jihad. Sobia tetap tidak bisa mengerti. Mengapa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan juga? Pengampunan itu lebih indah.
Dia terlalu yakin akan cinta kasih. Bahkan ketika jamaah Gereja yang berlindung di dalam gereja, tak bisa mengelak dari serangan udara israel. Semua mati dengan tubuh terbakar. Dia masih yakin, mereka tidak mati. Mereka hanya pindah dimensi lain. Hidup di sisi Tuhan di sorga. “ Kenapa harus ditakuti kematian.” Kata Sobia. Kristen Yahudi Armenia dibantai begitu saja oleh pasukan Khilafah Turki Usmani. Mereka tidak melawan. Tidak angkat senjata. Mereka berbaris saling berpegangan di pinggir lobang yang mereka gali sendiri untuk kuburan massal. Kemudian pasukan Sultan membunuh semua termasuk wanita dan anak anak.
Tidak ada teriakan sakit. Kematian adalah puncak keimanan dan pengorban yang sublime yang tak ada aku, atau kamu, yang ada adalah Tuhan. Dari sana cahaya Cinta terus bersinar menembus langit ke ketujuh. Sultan akhirnya jatuh, bukan karena amarah Kristen Armenia. Karena miskin Cinta. Sultan bersama keluarganya dipaksa keluar dari Istana. Dipermalukan seperti anjing jalanan. Mereka masuk gerbong kereta. Setelah itu cerita Sultan hilang begitu saja. Tak ada yang bertanya karena rasa ingin tahu. Namun cahaya kristen tak pernah padam. Katanya.
Sobia menemui saya sebelum saya meninggalkan Beirut. Dia minta izin berdoa untuk saya. Kemudian dia mengucapkan doa dengan indah sekali. “ Tenangkan hatinya. Gembirakan hatinya. Selamatkan dia. “ Kira kira itu permintaan Sobia kepada Tuhan untuk saya. Saya terharu. Saya berpikir sederhana. Radikalisme aksi teroris, sepertinya tidak efektif kepada umat kristen yang sudah kenyang dengan aksi teror berabad abad. Mereka terlalu kuat untuk diancam dengan aksi teror. Karena agama yang mendidik cinta kasih akan selalu menang oleh waktu. Tetapi kekerasan dan kemarahan, selalu dipermalukan.
***
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan serangan di Makassar "bukan merupakan bagian dari perjuangan agama dan tidak mewakili agama apa pun. Ini adalah betul-betul teror, ini adalah musuh kemanusiaan. Kalau pelakunya mengatasnamakan perjuangan agama tertentu, berarti dia telah bergama secara salah. Semua agama itu pro kemanusiaan dan anti terorisme," kata Mahfud. Saya setuju pernyataan Pak Mahfud. Yang diteror itu tempat Ibadah. Bukan orang perorang. Tampat Ibadah adalah simbol agama. Tujuannya adalah mengadu domba masyarakat dengan membenturkan Agama.
Lantas cukup itu saja dimaknai? Kejadian aksi teror menyerang tempat ibadah bukan sekali ini saja. Tapi sudah berkali kali. Akar masalah sudah diketahui oleh Pak Mahfud, yaitu beragama secara salah. Solusinya juga sederhana. Tidak sulit. Apa itu? Negara harus hadir memastikan agar tidak terjadi orang beragama secara salah. Itu artinya sistem pendidikan agama yang tidak benar. Itulah yang harus diluruskan.
Cobalah mulailah dari hal sederhana yaitu adakan kewajiban sertifikasi pendakwah. Berlaku bagi agama apapun. Setiap pendakwah harus lolos test screening BIN dan BIA. Harus pengikuti program pelatihan pendidikan mental kebangsaan. Lewat proses itu tidak sulit untuk mengetahui apakah pendakwah terindikasi radikal. Negarapun punya dasar hukum kalau ada pendakwah naik panggung tanpa sertifikasi. Di Mesir, Malaysia yang mayoritas islam, sudah melaksanakan ketentuan bagi pendakwah Islam. Mereka bisa. Apa hasilnya ? Setelah aturan itu diadakan. Hampir tidak pernah lagi terdengar kejadian aksi teror.
Tadinya saya berharap dengan digantinya Menteri Agama dan menunjuk Menteri agama baru yang juga berasal kader Banser yang terkenal berani menegakan semangat Gus Dur menegakan pluralisme. Tetapi hanya hebat pada awalnya. Setelah itu upaya sertifikasi tenggelam begitu saja. Negara tidak punya design kuat untuk menciptakan kedamaian, terutama bila berkaitan dengan emosi umat islam. Pada tataran politik pemerintah mengakui sumber masalah adalah islam disalah gunakan untuk mencapai tujuan politik. Tetapi karena politik juga pemerintah tidak bisa tegas.
Masalahnya rumit. Ini bukan hanya soal sekedar politik yang elite tetap butuh dukungan primodial mendapatkan suara dari umat islam dalam pemilu. Tetapi juga berhubungan dengan sistem yang memungkinkan harus tersedianya anggaran anti teror yang sangat besar. Sangat besar untuk dihilangkan begitu saja. Anggaran kementrian agama yang sangat besar untuk pembinaan umat. Issue besar tentang bahaya teroris perlu terus di update agar anggaran terus ada di pos APBN. Tanpa disadari, politik juga yang membuat islam direndahkan dan terus dipermalukan oleh setiap aksi teror.