Zaman orde baru demokrasi ala pak Harto. Walau kita menganut trias politika, legislative, eksekutif, yudikatif namun kekuasaan tetap terpusat kepada Presiden. Dunia tidak peduli. Apalagi Pak harto tidak pernah pinjam uang untuk APBN dari asing atau pasar uang. Dia hanya pinjam uang untuk proyek. Dan itu uangnya tidak mampir di kas negara tetapi masuk langsung ke proyek. Tentu yang bayar utang adalah proyek itu sendiri. Seperti Pabrik Pupuk, Semen, Petrokimia, PLN, Telkom dan lain lain.
Pada tahun 1997 krisis berawal bukan krisis pemerntah, tetapi krisis Moneter. Artinya yang krisis BI. Mengapa ? karena modal BI negative. Apa sebab? Akibat KKN. Banyak bank memberikan kredit tidak sesuai aturan dan dengan mudah aturan dilanggar. Contoh, larangan BMPK atau Batas Minimum Pemberian Kredit, kepada afialiasi atau grup dari bank. Moral hazard effect. Pemberian kredit di mark up. Memberikan relaksasi kepada perbankan untuk menarik utang luar negeri lewat PBG dan SBLC. Dan lain lain.
Lambat laut, arus kas masuk ke bank tersendat. Karena banyak proyek tidak menghasilkan laba. Sehingga tidak ada uang untuk bayar bunga simpanan dan deposito. Bank terpaksa menaikan suku Bunga untuk menyarap likuiditas dari masyarakat. Moneter terdistorsi. BI memberi Kredit Likuiditas kepada Bank agar bunga turun. Belum lagi tagihan dari bank luar negeri atas utang korporat yang dijamin bank dalam negeri di call. Sementara kurs IDR terus melemah akibat devaluasi. Utang luar negeri jadi bertambah dalam IDR. Korporat tidak bisa bayar. BI terpaksa bailout guna menghidari effect systemic.
Soeharto bisa saja berkelit itu masalah BI. Tetapi dia lupa. Bahwa BI itu tidak terpisah dari pemerintah. Artinya dengan adanya pelonggaran kredit oleh BI, itu sama saja pemerintah menambah uang beredar, yang bagaimanapun harus dibayar lewat fiscal. Sementara sistem fiscal belum solid akibat sistem demokrasi yang terpusat. Jatuhnya kurs, karena jatuhnya trust pasar. Yang tentu berdampak kepada jatuhnya trust politik. Soeharto sadar. Yang dihadapinya adalah sistem yang dia pilih sendiri dan dia dijatuhkan oleh sistem itu sendiri. Dia lengser.
***
Setelah Soeharto lengser. Habibie tampil berkuasa. Yang pertama dia lakukan adalah mengembalikan Trust. Caranya? Inilah nasehat Director IMF, buat undang undang reformasi Politik, yang akan menjadi dasar reformasi keuangan negara. Selama 7 bulan kekuasaannya, Habibi berhasil membuat UU Otonomi Daerah, UU kebebasan Pers, dan UU Independensi BI. Otonomi daerah memastikan tidak ada lagi sentralistik. UU Pers, memastikan negara tidak boleh intervensi kebebasan Pers dan UU BI, menjamin pemerintah tidak boleh intervensi.
Era Gus Dur, IMF minta lagi agar pisahkan TNI dari Sipil. Jadi tidak ada lagi militerisme. Era Megawati, berlaku SAP. KPK sebagai Lembaga adhock dibentuk. Pemberantasan Korupsi segera dilaksanakan dan pada waktu bersamaan reformasi kelembagaan POLRI, Kejaksaan, Hakim Tipikor dilakukan secara terprogram. Agar kelak kalau sistem peradilan sudah solid, maka KPK bisa dibubarkan. juga disahkan UU Keuangan negara dan UU Perbendaraan negara. Agar disiplin anggaran dilakukan secara transrfaan sesuai dengan Government finance statistic reform
Era SBY, Indonesia sudah clean dari masa lalu. SBY tidak punya beban politik akibat krismon. Karena masalah BLBI sudah diselesaikan lewat Obligasi rekap ( QE). Asset obligor BPPN sudah disita dan dilelang lewat BPPN. Indonesia sudah masuk ke wahana financial resource. Tidak perlu repot cari duit. Tinggal hitung berapa defisit APBN, ya pemerintah terbitkan SUN. 8 tahun Era SBY, PDB meningkat 193%. Dahsat kan. Dari keterpurukan bisa bangkit menuju negara dengan PDB USD 1 trilion dan qualified jadi anggota G20.
Yang disayangkan peningkatan PDB itu bukan karena meningkatnya produksi dan Human Capital, tetapi karena kemudahan berhutang yang sebagian besar dipakai untuk subsidi konsumsi (BBM) dan lain lain. Makanya SBY mewarisi defisit primer kepada Jokowi. Pendapatan dikurangi belanja ( tidak termasuk bayar bunga) hasilnya defisit.
Di era Jokowi, difisit itu disikapinya dengan rasionalisasi APBN. Mengurangi pos subsidi dan meningkatan tax ratio lewat tax amnesty. Trust market bangkit lagi. Jalan berhutang terbuka lagi. Sampai pada periode pertama. Jokowi selamat. Bisa pertahankan pertumbuhan diatas 4% dengan terbangunnya infrastruktur secara luas. Namun periode kedua. Pandemi COVID melanda. Ekonomi kontraksi. BIaya pandemic menguras anggaran yang dibiayai dari SBN burden sharing.
Pada saat Pandemi, karena skalanya luas, moral hazard penyimpangan anggaran tidak terelakan. ICOR nakk diatas 6. Juga terjadi perang dagang China-AS dan setelah itu terjadi perang Rusia-Ukraina yang membuat harga pangan dan MIGAS melambung. Kurs IDR melemah terus. Karena banyak devisa terpakai untuk impor. Pada waktu bersamaan kita diuntungkan oleh kenaikan harga ekspor komoditas utama. Kita mengalami windfall. Surplus perdagangan. APBN selamat dan bisa terus berhutang lewat SBN. IHSG meningkat diatas 7000. Pasar modal bullish. Harapan besar.
Namun dari tahun 2023 likuiditas mulai berkurang akibat terserap SBN. Puncaknya tahun 2024. Asing mengurangi porsinya. Mengapa ? karena the Fed menaikan suku bunga setelah QE. Akibatnya likuiditas mengalir ke AS. Era suku bunga tinggi memang merepotkan BI dan Menteri keuangan.Apalagi tax ratio tidak meningkat significant. Korupsi skalanya semakin besar dan meluas. Utang meningkat 3,5 kali lipat dari stok utang 2014. Antisipasi berkurangnya Likuiditas, DPR bersama pemerintah mengizinkan BI masuk kepasar Perdana beli SBN.
Era Prabowo. Likuiditas semakin ketat. Porsi kepemilikan SBN oleh BI makin besar yaitu diatas 25%. Yield SBN terus meningkat. Resiko SBN membayangi. Akibat defisif fiscal. Yang menanggung bunga dan hutang jatuh tempo era Jokowi. Engga ada lagi tersisa untuk ekspansi, kecuali pagu utang yang diatur UU diubah. Kalau diubah, pasti yield SBN akan meningkat lagi. SBN jadi jatuhnya murah, dan lama lama bisa jadi sampah. Solusinya? Mendapatkan dana diluar skema APBN. Nah dibentuklah BPI Danantara.
Dalam konteks ngurus negara, saya tidak setuju skema financial resource di luar APBN seperti Danantara. Mengapa? Walau diluar skema APBN kan tetap saja melibatkan negara sebagai undertaking secara tidak langsung. Sulit dijamin displin penggunaannya. Karena pengawasan dan pengendalian disiplin dana tidak seperti di APBN yang ada Lembaga yang lahir dari Rahim demokrasi seperti BKP, BPKP, KPK dan inspektorat pada setiap kementrian.
Saya setuju kalau keberadaan Danantara ini focus kepada program rasionalisasi BUMN dan Asset menager. Dengan rasionalisasi BUMN, proses transformasi BUMN berkelas dunia bisa dimitigasi resikonya. Setelah BUMN sehat, biarkan BUMN mencari dana sendiri lewat perbankan, pasar uang maupun pasar modal, untuk melaksanakan penugasan dari negara sebagai agent of development. Itu tidak akan sulit. Mana ada investor engga mau deal dengan korporat yang sehat dan profitable.
Sebagai Asset Manager, Danantara jangan ambil modal dari sumber likuiditas bendahara negara. Cerdas dikitlah. Engga melulu harus tunai. Jadi caranya, saat terima deviden BUMN, saat itu juga belikan SBN. Likuiditas bendahara negara tidak terganggu. Nah kalau Danantara perlu uang merasionalisasi BUMN, bisa gunakan SBN itu lewat pasar repo. Tentu pastikan setiap penarikan dana lewat REPO dengan skema yang secure sehingga bisa rolling. Jangan sampai default. Kalau default itu sama saja makan dari uang negara.
Sebagai asset manager, Danantara bisa provide financial solution mengatasi defisit fiscal. Pos pembiayaan APBN bisa dilempar ke Danantara. Jadi APBN tidak lagi defisit. Misal, pemeritah harus bayar utang jatuh tempo dan menugaskan Danantara untuk melakukan restruktur. Tidak lewat revolving bayar utang pakai utang, tetapi lewat Debt SWAP. Caranya ? Danantara wrap SBN itu menjadi instrument structure back securities. Kemudian instrument structure itu di SWAP dengan Bond negara laib anggota OECD atau BRICS.
Misal, bunga Bond Jepang 1%. Bunga SBN 6%. Danantara tukar SBN itu dengan instrument back securities yang berbunga 2%. Nah 4% itu jadi income Danantara. Income itu sangat besar. Pertahun kita bayar bunga diatas Rp. 400 triliun. Bisa hemat Rp 300 triliun, itu sangat besar untuk menjamin likuiditas BUMN melaksanakan tugas negara membangun proyek strategis nastional
Atau Danantara bisa memanfaatkan pasar credit carbon. Potensi credit karbon kita sangat besar. Bisa mencapai Rp. 8000 triliun. Caranya? Negara memberikan hak konsesi hutan tropis kepada Danantara untuk dilestarikan dan dijaga. Dari sumber daya itu bisa disekuritisasi untuk dapatkan uang dari pasar credit carbon dan uangnya untuk bayar utang negara.
Apa yang saya jelaskan diatas, bukan hal too good to be true. Tentu harus melewati prosedur risk management, international financial compliance standards yang ketat dan sophisticated, dan tidak bisa cepat. Butuh waktu lama berproses. Setidaknya perlu 5 tahun untuk bisa established.. Tapi tanpa dukungan team professional yang punya dedikasi bela negara dan standar moral yang tinggi, serta dukungan sistem demokrasi yang sehat hampir tidak mungkin bisa sukses.
***
Problem utama kita sejak era Soharto sampai era Prabowo adalah buruknya management resiko dalam mengelola sumber daya. Itu karena politik menjadi panglima. Sehingga dengan mudah membuka peluang korporat menguasai bisnis rente yang non tradable dan meningkatkan uang beredar tanpa terkendali lewat bursa dan sistem perbankan. GINI rasio memburuk. Dampaknya terjadi ketidak seimbangan fiskal dan moneter. Hanya masalah waktu, pasti akan tergelincir sendiri. Seharusnya hukum sebagai panglima. Ya Hukum atas dasar sistem demokrasi yang sehat tentunya.
Saya hanya rakyat jelantah. Bukan siapa siapa. Saya mendukung saja setiap upaya yang terbaik untuk negara, tentu dengan sikap kritis. Saya sadar, upaya tetaplah upaya. Tentu tidak ada rencana yang sempurna. Pasti ada proses mitigasi resiko, trial and error. Tapi yang penting selama proses itu pastikan Pak Prabowo sehat. Kalau ada apa apa dengan dia, habis kita. No hope.
*Ditulis di SQ pada ketinggian 33,000 feet
No comments:
Post a Comment