Dalam business di era sekarang,
siapa yang menguasai komunitas maka dialah sebagai pemenang. Ketika komunitas
dibawah kendali anda maka banyak hal yang bisa anda lakukan untuk me leverage business
itu menjadi valuable dan profitable. Demikian kata teman pengelola consulting
strategy. Facebook yang seketika mendapatkan dana miliaran dollar lewat bursa
hanya karena ia proven menciptakan komunitas dunia dalam satu platform.
Samahalnya dengan jaringan social lainnya seperti Google, Yahoo. Saham perusahaan
pengelola jaringan komunitas social itu setiap tahun terus meningkat dibursa. Apa
kuncinya mereka bisa mendatangkan komunitas begitu besarnya? Jawabannya adalah
kemampuan creative untuk menggugah orang berinteraksi satu sama lain dalam satu platform.
Keliatannya sederhana tapi untuk meng implementasikannya tidaklah mudah.
Facebook, yahoo, google dan lainnya harus menginvestasikan dana tidak sedikit
untuk membuat insfrastruktur database, perangkat lunak dan lain sebagainya.
Semua itu tidak dikerjakan sehari tapi bertahun tahun dengan konsistensi idea
yang terus diperkaya dan dipertajam demi memanjakan komunitas agar patuh dan
setia
Begitu hebatnya kekuatan
komunitas meng generate value business. Lantas bagaimana jadinya bila komunitas
itu sudah tersedia dan dipaksa patuh karena aturan/Undang undang? Service pun
sudah ada. Tentu itu berkah. Apa itu? Komunitas pengguna jasa angkutan massal. Komunitas itu
tidak sedikit dan jumlahnya hampir semua yang menjadi penduduk kota. Tinggal
bagaimana caranya membuat komunitas itu menjadi kekuatan membangun value
business. Caranya? mari kita lihat Hong Kong. Di Hong Kong ada octopus card yang berfungsi sebagai alat pembayaran
pengguna jasa angkutan MTR, Hong Kong express , Bus ,dll. Card ini dapat di
isi ulang melalui ATM atau Mesin isi ulang atau Counter (loket isi ulang).
Syarat untuk mendapatkan card ini tidak membutuhkan KTP atau apapun. Siapapun (
termasuk orang asing ) bisa mendapatkannya dengan mudah disetiap loket yang ada
di stasiun. Setoran awal HKD 50 ( Rp. 50 ribu). Diperkirakan kurang lebih 10 juta orang sebagai
pengguna jasa angkutan mempunyai octopus card. Dengan komunitas sebesar 10 juta
orang itu membuat octopus card sangat bernilai dibandingkan money card lainnya
sepeti debit card yang diterbitkan oleh Bank. Tidak diperlukan pemasaran untuk mendatangkan member karena by design setiap pengguna angkutan cenderung akan menggunakan octopus card sebagai alat pembayaran.
Benarlah, bila awalnya octopus
card hanya digunakan untuk alat pembayaran angkutan umum namun berikutnya berkembang
menjadi alat pembayaran untuk apa saja. Akibatnya dapat ditebak, perputaran dana public dalam octopus card
system ini sangat besar sekali. Bila
rata rata per hari pengeluaran orang menggunakan octopus card sebesar HKD 100 (RP.
100,000) maka setiap hari dana berputar HKD 1000.000.000 atau atau Rp. 1
triliun. BIla dari perputaran dana itu pihak provider card mendapatkan fee dari
bank sebesar 2,5% maka total fee yang didapat adalah HKD 25 juta atau Rp. 25
miliar per hari. Di Hong Kong , Fee itu sebagai side income dari pengelola MTR yang juga bertindak sebagai Octopus card provider.
Seorang banker yang saya temui di Hong
Kong mengatakan bahwa hanya dari fee octopus card saja, sudah lebih dari cukup
untuk mengembalikan investasi MTR. Artinya, andaikan pengelola MTR meng
gratiskan biaya ticket, tetap saja MTR tidak akan rugi dan investasi tetap
dapat kembali tanpa harus subsidi dari PEMDA. Inilah hidden cash yang sebetulnya dari business insfrastrutkur publik. Pendapatan ini lebih acceptable dibandingkan pendapatan conventional dari penjualan ticket. Makanya tak heran walau fasilitas angkutan massal yang dimiliki Hong Kong
sangat mewah namun ongkosnya relative sangat murah dibandingkan tariff angkutan
dinegara lain.
Ide Pemda DKI untuk menerapkan
e-money sebagai alat pembayaran transjakarta termasuk Kopaja, metro mini yang
melintasi jalur busway adalah smart. Ide ini dilontarkan oleh Ahok. Sebelumnya
Ahok telah menjalin kerjasama dengan semua Bank di Jakarta untuk mengelola
Pajak Online Pemda DKI. Tentu tak begitu
sulit bagi Pemda DKI untuk menarik bank bekerjasama menyediakan debit card (
e-money) untuk alat pembayaran angkutan umum. Diperkirakan ada 10 juta orang
komunitas pengguna jasa angkutan umum di Jakarta. Dari komunitas sebanyak ini ,
dapat dibayangkan berapa perputaran dana dari e-money itu. Apalagi bila kelak
e-money itu dapat pula digunakan untuk berbagai transaksi retail. Tentu akan
semakin besar perputaran dananya. Seorang teman yang ahli financial analysis
mengatakan kepada saya bahwa tidak perlu
lama, bila dalam setahun perputaran dana e-money itu significant maka semua
bank akan berlomba lomba memberikan pendanaan bagi perluasan akses angkutan
massal , agar semakin banyak orang menggunakan dan semakin banyak pula uang
berputar dalam e-money. Mengapa ? ini akan menjadi salah satu cara mudah bagi
bank untuk menarik dana tunai public kedalam system perbankan secara tertip dan
teratur.
Semoga Jokowi dan Ahok dapat
smart mengelola public service obligation ini menjadi business opportunity yang
tetap menguntungkan tanpa membebani rakyat dengan tariff yang mahal atau atau murah subsidi. Cukup jadikan penyediaan fasilitas angkutan itu sebagai business
concept. BIla APBD tidak cukup , tidak
perlu inferior dihadapan penyandang dana. Semua bisa dihitung bahwa kekuatan
komunitas pengguna jasa angkutan yang menjadi tanggung jawab Pemda DKI adalah potensi business yang lebih dari
cukup untuk membiayai semua kebutuhan investasi. Kekuatan ada pada komunitas
dan kelolalah kekuatan itu dengan smart, dihadapan lender, banker, dan mitra…untuk menjadikan angkutan massal yang murah. Semua untuk rakyat