bersama anak panti |
10 tahun lalu waktu lebaran saya berkunjung ke rumah ibu saya. “Amak mau mendirikan panti asuhan untuk putri.” Kata ibu saya.
“ Amak engga muda lagi. Istirahat ajalah. “ Kata saya. Itu diaminkan oleh semua adik adik saya.
“ Amak udah sewa rumah untuk panti. Nanti kalau berkembang barulah cari tanah untuk bangun sendiri.”
“ Darimana amak dapatkan uang” Kata saya. Itu sekedar alasan agar menahan rencannya dan kami tidak akan mendukung secara financial.
“ Dari Tuhan. “ Katanya tegas. Saya tidak bisa lagi berdebat.
Setahunn setelah itu saya datang lagi ke lampung untuk berlebaran. Ibu saya ajak saya pergi ke suatu tempat “ Apa ini mak?Kata saya ketika sampai di lokasi.
“Amak dapat kepercayaan dari aisyiah untuk gunakan tanah wakaf dibelakang TK. Inilah yang akan dijadikan lahan untuk panti” Kata ibu saya bersemangat. “ Kalau bangun ini selesai, anak panti engga lagi sewa rumah.”
“ Sewa?
“ Ya. Amak sewa rumah untuk mereka.”
Kemudian ibu saya ajak saya ke rumah yang disewanya untuk panti. Saya terharu. Setahun beroperasi, ibu saya bisa menghidupi anak panti tanpa sepeserpun bantuan dari saya. Yang lebih terharu, ternyata tidak nampak kelelahan dari ibu saya yang sudah menua. Semangatnya tidak berkurang.
“ Berapa anggaran biaya panti ini? Kata saya.
Ibu saya memberikan proposal. Lengkap dengan gambar design panti. Profesional sekali.
“ Aku tanggung semua biayanya. Bangunlah.” Kata saya spontan.
“ Anakku, membangun panti itu bukan sekedar mambangun phisik. Tetapi yang lebih utama adalah membangun gerakan cinta. Bukan berapa banyak orang sumbang. Tetapi seberapa banyak orang mendukung. Semakin banyak orang terlibat, semakin besar nilai moral dan sosialnya. Kalau engga ada uang, ya tenaga, Engga ada uang dan tenaga, ya pikiran. Engga ada pikiran, ya empati. Itulah hakikat dari gerakan sosial untuk membela anak yatim dan miskin.
“ Mengapa ?
“ Kalau gerakan cinta itu berkembang, maka tidak perlu lagi rumah panti. Orang akan senang hati menampung anak yatim di rumahnya untuk mereka rawat dan jaga dengan cinta.”
Saya terhenyak. “ Ya udah mak. Aku paham. Gini aja mak.” Kata saya negosiasi.” Aku sediakan dana stimulus aja. Dengan dana stimulus itu akan menggugah orang untuk ikut nyumbang. Dana itu bisa dipakai untuk bangun fondasi dulu. Nah kalau orang udah lihat ada pembangun, mereka juga percaya dan tergugah untuk sumbang. Gimana?
“ Itu baru anak amak. Jadi jeli mau bantu?”
“ Ya. tetapi dengan syarat. Engga boleh stress mikirkan anggaran. Nanti kalau melemah lagi aliran sumbangan, aku keluarkan lagi dana stimulus. Begitu saja sampai selesai.” Kata saya. Ibu saya rangkul saya.
Setahun setelah itu bangunan panti sudah selesai. Kini sudah ada dua panti yang selesai dibangun. Saya hanya memberikan stimulus. Kalau yang pertama saya keluarkan anggaran stimulus 80%. Namun yang kedua justru dana stimulus saya keluar hanya 5%. 95% dari donasi masyarakat. Jadi pesan sosial menggalang cinta untuk kemanusiaan bagi anak yatim tercapai. Sebagaimana sholat memang tidak dilarang sendirian tapi alangkah lebih baiknya dilakukan secara berjamaah, kata teman saya. Begitupula dalam gerakan spiritual social, bagi yang kaya raya tentu tidak salah bila mereka membangun project social atas nama dirinya atau lembaganya, tetapi alangkah lebih baiknya bila pembangunan itu dilakukan secara berjamaah. Karena ketika berjamaah, semua yang beriman mendapatkan kesempatan untuk terhindar dari golongan pendusta agama ( QS AL Ma’un ).
Tak penting berapa yang bisa mereka berikan untuk kegiatan amal , yang penting adalah nilai kebersamaan, nilai berjamaah berbuat karena Allah , ikhlas karena Allah. Itulah yang penting. Dari kebersamaan ini akan lahir masyarakat yang berempati untuk menegakkan keadilan kepada mereka yang lemah. Sama seperti yayasan Tzu Chi yang berkembang bukan karena donatur segelintir orang tetapi oleh banyaknya orang yang terlibat sebagai donasi. Donasi dalam bentuk apa saja. Bukan hanya uang, bisa pikiran, tenaga, dan empati. Memang membujuk orang menggalang kebersamaan itu tidak mudah. Berat sekali. Lebih mudah gelontorkan dana, selesai. Tetapi value spritual tidak ada. Yang ada adalah rasa sombong seperti kaum filantropis. Ya value kapitalis..