Monday, July 20, 2015

Aku kangen mama..

Pada suatu acara gala dinner di Beijing,yang diadakan oleh asosiasi bisnis. Saya diundang. Para undangan diharuskan datang bersama pasangan. . Apa daya karena saya tidak punya pasangan. Istri jauh dirumah di Jakarta. Tapi gala dinner ini penting sekali saya hadiri. Sampai dengan jam 2 sore saya masih bingung mendapatkan pasangan. Untunglah seorang teman dengan tanggap membantu saya. Menurutnya dia punya teman wanita yang bisa menemani acara gala dinner. Saya lega. Artinya kesempatan gala dinner terbuka dan saya tidak usah kawatir lagi soal pasangan.

Jam 5 sore, seorang wanita menelphone saya kekamar bahwa dia sudah ada di Loby. Wanita itu menyebut nama teman saya. Tahulah saya bahwa wanita itu akan mendampingi saya dalam acara gala dinner. Ketika saya sampai di loby, nampak wanita dengan gaun makan malam yang begitu Wonderful . Tingginya diperkirakan 170 Cm. Dengan tersenyum indah dia menyalami saya sambil menyapa dengan bahasa inggeris yang sempurna. Dia memperkenal diri dengan ramah dan terkesan dia wanita terhormat. Saya sempat menahan napas.Ini terlalu sempurna untuk menemani saya..Mengapa ?Cantik , cerdas dan berkelas.

Selama dalam perjalanan dia menanyakan apakah saya merasa nyaman di Beijing dan apakah makanan kesukaan saya. Dia juga menanyakan apa yang saya tidak suka. Walau perjalanan hanya 20 menit ke tempat acara namun dia membuat suasana menjadi akrab. Pada saat acara gala dinner , dia bisa berbicara dengan pasangan wanita dari kalangan berkelas. Senyum dan response pada setiap pembicaraan membuat sahabat saya yang ada satu table merasa nyaman. Setiap mata saya memandang makana dimeja dengan sigap dia mengambilkannya dan memasukan kedalam piring saya sambil tersenyum indah. Dengan teliti dia menceritakan bagaimana masakan itu dibuat dan bagaimana teste bisa selezat itu.

Acara gala dinner itu dilanjutkan dengan dance bersama pasangan. Ini pertarungan yang sulit dalam batin. Tapi dia dengan tersenyum melirik kearah saya. Dia tetap diam walau semua pasangan sudah melantai. Karena teman saya melirik saya dengan tanda meminta saya turun melantai. Dengan sigap dia berdiri dengan membungkukan tubuh sambil mengulururkan lengannya agar saya sambut. 

" Hormatilah temanmu,mereka mengharapkan mu ikut menikmati gala dinner ini " katanya. Dengan berat saya menerima uluran tangannya. Dia membiarkan saya memimpin dance itu sehingga saya tetap berjarak dengan dia. Senyum tak pernah padam pada setiap gerakannya.

Acara gala dinner itu berakhir menjelang dini hari. Dia menatap saya dengan penuh perhatian dan senyum mengoda, sambil berkata "Do you have an any idea tonight ? Saya hanya mengangkat bahu. Saya minta supir mengantar dia ke Apartment dan saya kembali ke hotel. Sebelum berpisah dia setengah membungkuk sambil mundur dua langkah dan balik badan, sambl melempar senyum indah 

" Terimakasih untuk malam yang menyenangkan"katanya, dan berlalu.

Dalam perjalanan menuju hotel,saya termenung. Saya baru saja bertemu wanita yang begitu sempurna. Membuat pria merasa pantas di pentas dan tetap mengutamakan pria untuk terhormat dihadapan komunitas berkelas.Wanita itu adalah teman dari taman saya. Saya tahu reputasi teman saya, tentu dia kenalkan saya dengan orang yang pantas.
Ketika masuk kamar hotel , telp selular saya bergetar. 

"Bagaimana wanita itu? tanya teman saya diseberang.

"Dengan penuh terimakasih karena wanita itu telah menjadi pasangan yang sempurna mendampingi saya dalam acara .kata saya. 

" OK. Selamat menikmati malam menyenangkan bersama wanita itu"

" Wanita itu sudah pulang ketika acara selesai "

" Mengapa ?

" Ya karena acara sudah selesai dan saya suruh supir antar dia pulang."

" Ah..anda seharusnya bawa dia ke hotel untuk menemani anda.Dia sendiri bilang kepada saya bahwa dia tertarik dengan anda.Tidak mudah membuat escort lulusan academy jatuh cinta."

" Apa maksud anda?

" Dia escort. Saya contract dia selama 24 jam untuk anda." 

" Apa ? tapi...

"Dia bukan teman saya. Dia escort. Dia lulusan academy escort yang dilatih secara professional menemani pria secara special agar merasa special. Apakah anda inginkan saya meminta saya dia datang  ke kamar anda?" 

" Oh.No, thanks."

Ah..saya jadi ingat istri di rumah.Walau istri tidak sehebat escort ,tidak secantik premium escort, tidak se-pintar premium escort tapi dia berbuat untuk cinta dan istri saya menemani saya karena contract dengan Tuhan untuk membuat saya sempurna tanpa perlu dimanjakan,tanpa peru special,agar saya selalu rendah hati..selalu. Segera saya telp istri dirumah.

" mah..."

"Papa, ada apa ? " ..

"Aku kangen mama"

"Kapan pulang"

" Bulan depan. Mama lagi ngapain?

" Lagi mau sholat Tahajud..papa udah sholat ?"

"Udah..mah...

Wednesday, July 15, 2015

Sekuler...?

Seseorang pernah berkata, ada hubungan erat antara telepon seluler dan pemikiran sekuler. Teknologi modern, katanya, tak bisa diciptakan, disebarkan dan dinikmati, seandainya manusia tak pernah lepas dari ketakutan kepada Tuhan. Kemal Attaturk akan memimpin Turki yang kalah perang seandainya ia mengikuti fatwa ulama bahwa mortir dan mitraliyur adalah senjata yang ‘haram’, benda orang ‘kafir’. Memang aneh bila Tuhan dibayangkan mengatur mortir. Hari ini dunia pengalaman telah mekar dan manusia membuka aneka laku dan kerja. Agaknya itulah yang dimaksudkan Iqbal, ketika ia bicara di depan Tuhan:

Kau ciptakan malam, tapi kubuat lampu,

Kau ciptakan lempung, tapi kubentuk cupu

Kau ciptakan gurun, hutan dan gunung,

Kuhasilkan taman, sawah dan kebun

Membuat lampu, membentuk cupu, mengolah kebun — di situlah teknologi ditemukan, dan untuk itu akal dikerahkan.. Di depan Tuhan, Iqbal ingin menunjukkan bahwa imannya tak mendorongnya tenggelam ke dalam rasa gentar yang kronis. Meskipun ia bukan Attaturk, dengan mantap ia pisahkan mana yang wilayah Tuhan (malam, lempung, dst.) dan mana yang wilayah manusia (lampu, cawan, dst.). Ia akui daya kreatif Yang Suci, tapi ia tampilkan penciptaan yang terlepas dari yang sakral. Buahnya adalah benda-benda peradaban yang independen, sebuah dunia sekuler dalam sejarah. Tentu, Iqbal tak menggunakan kata ‘sekuler’, tapi sajaknya, seperti terungkap dalam Asrar-e khudi yang menggarisbawahi kemerdekaan ‘ego insani’, mengandung iman yang mengakui kebesaran Tuhan tapi menegaskan otonomi manusia.Di situlah ‘sekuler’ tak sama dengan ‘murtad’. Tentu saja ‘murtad’ atau ‘bid’ah’ pada akhirnya keputusan manusia juga – yang karena satu dan lain hal menganggap diri penjaga akidah. Tapi kita tahu tiap keputusannya diambil dengan Hakim yang in absentia. Tuhan tak hadir dalam sidang. Hanya para penjaga akidah sering tak sadar bahwa atas Nama-Nya pun mereka bisa keliru.

Seabad lebih sebelum sekularisme diberlakukan dengan sengit oleh Revolusi Prancis, di Italia sudah ada kecemasan besar bahwa wilayah Tuhan akan direbut wilayah manusia. Pada musim gugur 1624, dalam kuliah pembukaan di Collegio Romano, Pater Spinola, padri Jesuit dari Genoa, mengutarakan dengan fasih pendirian ordonya, yang saat itu tengah menghadapi polemik yang ditembakkan seorang ilmuwan yang tak begitu patuh, Galileo. Suasana memang panas. Setahun sebelumnya di Roma terbit Il Saggiatore, sebuah kombinasi yang asyik antara teori fisika dan cemooh ke kaum Jesuit. Dalam Galileo Heretico, sebuah buku yang secara mendalam menguraikan konflik Galileo dengan Gereja, Pietro Redondi menunjukkan bahwa di hari-hari itu Il Saggiatore, tulisan Galileo – yang bermula dengan sebuah teori tentang cahaya — dijadikan penyambung suara yang menuntut kebebasan intelektuil: agar pemikiran manusia bertolak dari ‘bobot akal budi’, dan bukan dari ‘otoritas’.

Tapi Gereja berdiri tegak: ia Sang Otoritas. Sejak theologi Thomas Aquinas, otoritas agama dikukuhkan di atas apapun, dan bagi kaum Jesuit di Collegio Romano, iman adalah panglima bagi akal. Kata-kata Pater Spinola tegas: ‘Satu-satunya hal yang penting bagi filosof, agar mengetahui kebenaran yang satu dan sederhana, adalah untuk menentang apa saja yang melawan Iman dan menerima apa yang termaktub dalam Iman’.Dengan kata lain, di zaman itu filsafat tak boleh berada di wilayah yang mandiri. Iman menguasai hidup. Filsafat, buah pikiran manusia, bukan untuk menjelaskan segalanya. Hari itu seakan-akan bergema sebuah argumen yang menghabisi peran filsafat dalam kehidupan beragama, bahkan ketika filsafat itu mencoba menjelaskan Tuhan – gema dari Tahāfut al-Falāsifah Al Ghazali di abad ke-11, suara yang kemudian melumpuhkan pemikiran di dunia Timur. Tapi dalam bentuk apa Tuhan hadir, selain dalam tafsir? Dan bukankah tafsir kukuh karena kekuasaan? Sebelum terbit Il Saggiatore, di awal 1616 Vatikan telah memaklumkan bahwa teori Kopernikus adalah bid’ah. Galileo, seorang pengikut Kopernikus, waktu itu telah jadi sasaran, meskipun baru 17 tahun kemudian ia jadi korban. Ia dianggap menafsirkan Injil dengan gagasan yang sesat bahwa ‘bumi bergerak dan langit berhenti’. Ketika Kardinal Bellarmino menyampaikan keputusan itu, ilmuwan itu tahu apa yang mengancam dirinya. Empatbelas tahun sebelum hari itu Bellarmino membungkam Giordano Bruno dengan ganas. Pembangkang itu dihukum bakar. ‘Dengan kekuatan telah kutaklukkan otak mereka yang angkuh’ – itulah epigraf yang tertulis di makam sang Kardinal. Galileo pun merunduk.

Tapi kekuatan tak menyelesaikan segala-galanya. Pada 1992, tiga setengah abad setelah Galileo dihukum, Vatikan mengakui bahwa Tahta Suci telah salah memutuskan. Betapa terlambat, betapa percuma. Selama itu orang toh bergerak dengan teori Kopernikus, Uni Soviet yang tak ber-Tuhan meluncurkan Sputnik, dan Neil Armstrong mendarat di bulan tanpa kitab suci.Yang ‘sekuler’ meluas. Tapi lebih dari itu, ia membentuk kesadaran kita tentang yang baik dan yang buruk. Nilai-nilai tak dikonfirmasikan lagi kepada Yang Suci, melainkan dengan hakim dan polisi. Anda mungkin cemas akan tendensi itu, tapi lihatlah: bahkan di abad ke-20 ‘sekularisasi’ itu ditiru, dengan arah terbalik, oleh para penjaga akidah. Arab Saudi, contohnya. Ketika keimanan diatur oleh undang-undang dan dijaga polisi, Yang Suci akhirnya diwakili oleh sebuah birokrasi. Ketika dosa diperlakukan sama seperti tindak kriminil, Yang Suci pun kehilangan aura, seperti pemilik toko yang dirampok. Ia jadi rutin, banal, tanpa keagungan. Akhirnya Negara berjela jadi berhala, dan Tuhan dipasang di fotokopi.

Persahabatan..

You stand by me
And you believe in me
Like nobody ever has
When my world goes crazy
You're right there to save me
Everytime I look at you
And I don't know where I'd be
Without you here with me
Life with you makes perfect sense
You're my best friend..

---

Jam 4 sore usai bersibuk diri dengan urusan yang melelahkan. Badan terasa lemah. Teman saya mengatakan bahwa tubuh saya tidak punya masalah hanya mungkin otak saya overload. Makanya tubuh bereaksi untuk minta istirahat.Ini proses recovery, katanya. Ya dia minta saya untuk refresh system tubuh saya. Caranya ya istirahat sebelum memulai aktifitas kembali. Saya butuh istirahat, tidur barang sejenak. Tapi tidak mungkin karena setelah sholat ashar saya juga harus sholat Maghrib. Kalau tidur setelah ashar,bisa bablas sholat maghrib. Saya memilih untuk sauna yang memang disediakan fasilitanya oleh pengelola apartement. Ketika usai sauna saya bersantai diruang istirahat sambil nonton TV yang menayangkan Discovery Channel. 

Ketika itu parhatian saya teralihkan kepada sepasang suami istri lanjut usia. Mereka sambil duduk bersebelahan dikorsi santai nonton TV dan tangan mereka tetap saling menggenggam. Kadang kadang nampak sang suami melirik istrinya dengan wajah tersenyum. Begitupula sang istri. Tak berapa lama nampak pula sang suami pergi kemeja mengambil minuman. Saya perhatikan, suami itu membawa dua cangkir teh. Satu cangkir untuk istrinya dan satunya untuk dia. Mungkin karena saya perhatikan , kedua pasangan itu tersenyum ramah kepada saya. Mereka menanyakan kwarganegaraan saya dengan ramah maka akhirnya dialogh terjadi. Dalam dialogh itu saya sempat bertanya bagaimana dalam usia lanjut mereka masih nampak mesra. Dengan tanggap sang suami menjawab bahwa awalnya ketika mengenal istrinya lebih didorong karena kecantikan phisik dan performance lainnya tapi berlalunya waktu , yang tersisa hanya rasa persahabatan. Ternyata nilai persahabatan itulah yang membuat mereka tak terpisahkan.

Di usia menua ini , saya senang mengurut kaki istri sebelum tidur. Saya tahu urutan itu tidaklah berarti karena saya bukan ahli pijit namun perhatian saya membuat istri nyaman. Kadang sambil mengurut, kami bercerita banyak hal dan selalu berujung cerita kelucuan cucu dan impian terhadap anak dan cucu. Ketika sholat subuh berjamaah saya berdoa dengan menyebut kecintaan kepada orang tua yang masih hidup dan yang telah tiada. Kami juga berdoa untuk anak cucu,menantu. Hari hari berlalu dan setiap saya pandang wajah istri saya ,yang nampak adalah seorang sahabat yang telah membuktikan pengabdian, kesetiaan, pengorbanan dan segala riak selama 30 tahun bersama saya. Dia juga melihat hal yang sama, seorang pria yang sudah nampak tua , yang lelah namun selalu ada untuk dia berbagi dan berdoa..Semakin bertambah usia persahabatan kami semakin tak terpisahkan kecuali maut menjemput. A friend is someone who knows all about you and still loves you.

Ketika muda, istri yang cantik, kulit yang kencang, langkah yang anggun. Sang pria juga nampak ganteng, perkasa, langkah yang tegap. Wanita mengutamakan performance pria dan begitupula sang pria. Lewat itulah cinta bertaut dan selanjutnya proses hubungan terjadi secara systematis hingga bermetamorfosa menjadi hubungan persahabatan. Yang ganteng, yang cantik,yang kaya, yang segalanya yang dulu dibanggakan ,setelah umur bertambah, rambut mulai memutih, langkah semakin loyo, wajah semakin berkerut, maka yang tersisa tinggalah nilai persahabatan. Maha Besar Allah. Menciptakan eksistensi manusia yang begitu sempurna. Pada intinya performance tetaplah performance yang dapat lekang oleh waktu tapi hakikatnya tak berubah yaitu nilai nilai persahabatan karena Tuhan, cinta kasih.

Mungkin sebagian orang mempertanyakan apa perbedaan antara keluarga dan sahabat. Yang bisa saya katakan adalah bahwa kita tidak pernah punya sahabat sejati tanpa mempertimbangkan dirinya sebagai bagian nyata dari hidup kita. Mereka hadir didalam hati kita sebagai sebuah rumah yang menjadi tempat untuk pulang, tempat yang hangat di mana cinta bersemayam. Didalam ruang hati itulah kekurangan menjadi cukup, kesempitan menjadi lapang, kepanasan menjadi sejuk, kekeringan menjadi tempat subur. Mereka akan selalu tahu bagaimana cara untuk menemukan jalan dan menempatkan diri disetiap pojok ruang hati kita. Karena didalam hati itu semua nampak terang benderang dengan cahaya ilahi untuk lahirnya kebahagiaan bagi semua.Please note that It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages

Hukum...

INI sebuah cerita yang telah lama beredar, sebuah kisah yang termasyhur dalam Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pelataran Baitullah, ketika Yesus duduk mengajar. Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan orang Farisi datang. Mereka membawa seorang perempuan yang langsung mereka paksa berdiri di tengah orang banyak. Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. ”Hukum Taurat Musa memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian dengan batu,” kata para pemimpin Yahudi itu pula. Mereka tampak mengetahui hukum itu, tapi toh mereka bertanya: ”Apa yang harus kami lakukan?”  Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan orang Farisi itu memang berniat ”menjebak” Yesus. Mereka ingin agar sosok yang mereka panggil ”Guru” itu (mungkin dengan cemooh?) mengucapkan sesuatu yang salah. Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya mengira-ngira latar belakang kejadian ini: para pakar Taurat dan kaum Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan sikap beragama yang keliru. Diduga bahwa ia tak mempedulikan hukum yang tercantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar, bagi Yesus iman tak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah menghayati hidup yang terus-menerus diciptakan Tuhan dan dirawat dengan cinta-kasih.

Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hukum Taurat tak bisa dibiarkan. Terutama di mata kaum Farisi yang, di antara kelompok penganut Yudaisme lain, paling gigih ingin memurnikan hidup sehari-hari dengan menjaga konsistensi akidah. Maka pagi itu mereka ingin ”menjebak” Yesus. Tapi Yesus tak menjawab. Ia hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan ketika ”pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya,” demikian menurut Yohanes, Yesus pun berdiri. Ia berkata, ”Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah. Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak seorang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan ”satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua.” Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang dituduh pezina itu, kepada siapa ia berkata: ”Aku pun tak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”  Tak ada rajam. Tak ada hukuman. Kejadian pagi itu kemudian jadi tauladan: menghukum habis-habisan seorang pendosa tak akan mengubah apa-apa; sebaliknya empati, uluran hati, dan pengampunan adalah laku yang transformatif.Tapi bagi saya yang lebih menarik adalah momen ketika Yesus membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jarinya ke atas tanah. Apa yang digoreskannya?

Tak ada yang tahu. Saya hanya mengkhayalkan: itu sebuah isyarat. Jika dengan jarinya Yesus menuliskan sejumlah huruf pada pasir, ia hendak menunjukkan bahwa pada tiap konstruksi harfiah niscaya ada elemen yang tak menetap. Kata-kata—juga dalam hukum Taurat—tak pernah lepas dari bumi, meskipun bukan dibentuk oleh bumi. Kata-kata disusun oleh tubuh (”jari-jari”), meskipun bukan perpanjangan tubuh. Pasir itu akan diinjak para pejalan: di atas permukaan bumi, memang akan selalu melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau hilang dari makna itu.   Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak menampik ketentuan Taurat. Ia tak meniadakan sanksi rajam itu. Tapi secara radikal ia ubah hukum jadi sebuah unsur dalam pengalaman, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah saat di sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ketika Yesus berbicara ”barangsiapa di antara kamu yang tak berdosa”, hukum serta-merta bersentuhan dengan ”siapa”, bukan ”apa”—dengan jiwa, hasrat, ingatan tiap orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu.  Para calon perajam itu bukan lagi mesin pendukung akidah. Mendadak mereka melihat diri masing-masing. Aku sendiri tak sepenuhnya cocok dengan hukum Allah. Aku sebuah situasi kompleks yang terbentuk oleh perkalian yang simpang-siur. Kemarin apa saja yang kulakukan? Nanti apa pula? Dan di saat itu juga, si tertuduh bukan lagi hanya satu eksemplar dari ”perempuan-perempuan yang demikian”. Ia satu sosok, wajah, dan riwayat yang singular, tak terbandingkan—dan sebab itu tak terumuskan. Ia kisah yang kemarin tak ada, besok tak terulang, dan kini tak sepenuhnya kumengerti. Siapa gerangan namanya, kenapa ia sampai didakwa? Perempuan itu, juga tiap orang yang hadir di pelataran itu, adalah nasib yang datang entah dari mana dan entah akan ke mana. Chairil Anwar benar: ”Nasib adalah kesunyian masing-masing”. 

Dalam esainya tentang kejadian di pelataran Baitullah itu, René Girard—yang menganggap mimesis begitu penting dalam hidup manusia—menunjukkan satu adegan yang menarik: setelah terhenyak mendengar kata-kata Yesus itu, ”satu demi satu orang-orang itu pergi….” Pada saat itulah, dorongan mimesis—hasrat manusia menirukan yang dilakukan dan diperoleh orang lain—berhenti sebagai faktor yang menguasai perilaku. Dari kancah orang ramai itu muncul individu, orang seorang. ”Teks Injil itu,” kata Girard, ”dapat dibaca hampir secara alegoris tentang munculnya ke-person-an yang sejati dari gerombolan yang primordial.” Tapi kepada siapakah sebenarnya agama berbicara: kepada tiap person dalam kesunyian masing-masing? Atau kepada ”gerombolan”? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat itu tak berteriak. @

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...