APBN itu adalah politik. Disusun dengan pendekatan politik anggaran. Pasti ada konsensus dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Namun dalam politk tidak ada kesepakatan yang final, bahkan tidak pernah terjadi sesuai dengan niat awalnya. Dalam perkembangannya selalu terjadi adu kekuatan tarik menarik dengan sesama elite. Jokowi menyayangkan peringkat pendidikan yang jauh tertinggal di posisi ke-57 secara global. Dia tentu tahu penyebabnya. Karena alokasi mandatory spending 20% APBN untuk pendidikan diselewengkan ke dana desa sesuai UUDesa. Ini penting untuk elektoral bagi Capres yang didukungnya.
Jokowi pun mengingatkan infrastruktur sebaik apapun tidak akan berdampak besar pada bangsa dan negara apabila SDM belum mumpuni, itu kata Jokowi dalam video yang diunggah kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (11/7). Jokowi paham. Tetapi dia tidak paham bagaimana mencapainya. Bahkan dia tidak paham bagaimana komunikasi yang inspiratif kepada bawahan nya, terutama kepada kepala daerah yang dapat dana transfer mandatory spending. Sehingga apa yang dia katakan tidak sesuai dengan realitas. Apa yang dia janjikan, bukan harapan yang bisa dia delivery. Ya waiting for nothing.
Retorika itu absurd. Orang banyak terkooptasi olehnya. Karena harapan. Dan juga politik punya cara memaksa mereka yang berisik lewat UU ujaran kebencian agar adab santun terjaga. Kalau itu kurang, masih ada tokoh dari Ormas keagamaan bicara tentang Wahyu Tuhan, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Utamakan akhlak daripada Fiqih katanya. Hindari chaos dan utamakan NKRI. Tokoh ormas itu jelas berbeda dengan mayoritas rakyat. Mereka tidak perlu menanti. Karena harapan sudah mereka raih. Setidaknya hidup berkecukupan sebagaimana elite bangsa ini.
Menggantungkan harapan kepada politik, terutama kepada Pemimpin, itu seperti lakon teater Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Dari lakon waiting for Godot itu nampak ada suasana silent konsesus. Seperti kata orang jawa "Sing waras ngalah". Rakyat punya cara berdamai dengan kenyataan yang pahit sambil tetap menantikan datangnya harapan. Demi harapan mereka menolak bertengkar atau chaos. Keadaan hening tanpa gejolak. Stabilitas politik terjaga dengan baik. Dalam suasana tenang itu, tingkat kepuasan rakyat kepada Pemerintahan Jokowi diatas 70%.
Apa yang terjadi dibalik sunyi itu ? harapan politik untuk membentuk civil society yang kuat kandas. Dalam suasana waiting for godot. Politik adalah hening. Politik adalah medan permainan bagi mereka yang mampu membayar dan membeli keadilan, mengatur hukum, politik transaksional yang saling menyandera, selebihnya hanya penonton yang hidup dalam menanti harapan. Politik di Indonesia, bukan hanya defisit APBN karena hutang. Tetapi juga defisit etis dan moral karena tamak. Sadari itu!.
So..
Jangan sampai kooptasi politik mendominasi terhadap nasib anda. Jangan! Kehidupan ini bukan soal makmur atau miskin. Karena kalau anda makmur bukan karena anda hebat. Kalaupun miskin, itu juga bukan dosa. Bukan soal penguasa atau jelantah. Karena penguasa juga pemain, dan jelantah, bagian dari pemain juga. Kan penguasa dipilih oleh rakyat dalam suasana free for vote. Bukan soal penantian yang akan datang besok. Karena besok itu yang pasti hanyalah kematian. Tetapi soal hari ini bagaimana anda bisa survival. Fungsikan akal anda secara optimal. Dan di suasana mendung, anda bisa ngopi dan makan ubi kayu seraya berbagi. Seharusnya begitu daripada waiting for godot.