Monday, February 27, 2023

Kemandirian untuk berkembang.

 


 


Di China setelah reformasi pertanian tahun 2008, saya berkunjung ke China wilayah Barat yang memang termasuk wilayah yang tertinggal dibandingkan wilayah pantai timur. Ada satu desa saya temukan setiap rumah mereka pasti ada home industri. Ada yang membuat bata, peniti, kunci, miras, sepeda. Saya sempat bingung. Tapi dari kepala desanya saya dapat pemahaman dan tercerahkan, bahwa hambatan itu bukan masalah selagi ada tekad untuk berubah.


Kami tidak punya lahan. Semua lahan milik negara. Kami hanya punya hak pakai dan mengolah sesuai dengan arahan partai. Tidak boleh melanggar. Sementara imbal hasil produksi pertanian tidak cukup untuk kami hidup layak. Negara mengambil terlalu banyak hasil kerja keras kami. Kami hanya merasa kenyang selama tiga bulan setelah panen. Setelah itu kami kelaparan sepanjang musim. Musim dingin kami hanya makan bubur dan tahu yang dicukai.


Hasil musawarah dengan penduduk desa, kami sepakat untuk diam diam berproduksi selain bertani. Tentu kami berusaha meyakinkan kader partai lokal untuk mendukung kami.  Mereka setuju saja asalkan kami tidak meninggalkan produksi pertanian.


“ Dari mana kalian dapatkan tekhnologi untuk produksi peniti, bata, kunci, miras dan sepeda.” tanya saya.


“ Kami dapatkan dari universitas. Mereka para mahasiswa itu yang datang ke desa. Mereka menuntun kami membuat mesin pres bata, mesin pembuat peniti, kunci, miras dan sepeda. Kami memang sudah punya bakat keturunan soal cor metal. Jadi tahu bagaimana cetak mesin untuk dibagi bagikan kepada penduduk desa.”


“ Darmana dapatkan bahan baku besi ?


“ Dari pedagang yang ada di kecamatan. Mereka memberi kami bahan baku besi berupa limbah pabrik.  Kami olah jadi barang jadi dan hasil produksi kami dibeli oleh pedagang yang banyak datang dari kota. Memang harga murah, tetapi tetap saja kami dapat untung. Menambah penghasilan."


“ terus darimana permodalan ?


“ Karena usaha kami selain pertanian adalah ilegal , ya kami membentuk arisan. Uang hasil pertanian kami setor kepada ketua arisan. Siapa yang dapat uang arisan, dia akan dapat menjalankan home industri. Sementara yang belum dapat giliran uang arisan,  cukup jadi bekerja  dan sambil belajar berproduksi. Ketika dapat giliran uang arisan, dia sudah jago memproduksi sendiri. Begitulah, dari tahun ketahun akhirnya kami semua punya home industri sebagai pendapatan tambahan keluarga. Kami bisa makmur secara pantas lewat kerja keras.”


“ Terus, dengan ramainya home industri di desa, kan pasti pemerintah pusat tahu kalau kalian melakukan usaha ilegal. Apa yang terjadi?


“ Ternyata itu terjadi bukan hanya di desa kami, tetapi oleh sebagian besar desa di china. Ya mau engga mau, pemerintah harus melakukan reformasi ekonomi secara luas, terutama sektor ekonomi desa. Ya tahun 2008, usaha kami malah didukung pemerintah lewat revitalisasi desa. Kami tidak lagi berproduksi di rumah, tetapi di kawasan industri kecil, yang tertip dan terjamin ekosistem nya. Antusias desa sangat luar biasa.   


Lahan pertanian kami berubah jadi saham food estate. Pengelolaan pertanian secara modern berbasis riset.  Walau kami tidak bertani, kami tetap dapat deviden dari saham itu. Jadi kami bisa focus kepada industri ringan dan agro industri. Hanya lima tahun, China bisa memakmurkan 800 juta rakyat. Kini banyak orang kota yang kembali ke desa. Ekonomi China ada di desa, dan disanalah kekuatan kami sebenarnya ” katanya.


Apa yang dapat saya simpulkan. Perubahan yang terbaik itu berasal dari bawah. Dari rakyat sendiri. Gerakan massive dari rakyat untuk perubahan kemandirian mensejahterakan dirinya, apapun kekuatan status quo akan jatuh dengan sendirinya. Pemerintah harus mengikuti keinginan rakyat. Itulah esensi demokrasi sebenarnya. Bottop up, bukan top down.


Tuesday, February 21, 2023

Manusia dan Tuhan

 



Dari cerita teman di Turki saat maraknya kelompok jihadis. Anbari sadar bahwa kekuatan Jamaat Ansar al-Sunna tidaklah cukup besar untuk mencapai tujuan khilafah. Hanya modal semangat tapi dana dan logistik terbatas. “ Kita tidak bisa terus berjuang dalam keadaan lapar dan persenjataan kurang. Sementara sumber dana tidak ada. “ Kata Anbari kepada Abu Abdullah al-Shafi’i ketua Jamaat Ansar al-Sunna.


“Apa usul anda” tanya al-Shafi’i.


“ Bagaimana kalau kita merger dengan al-Tawhid wal-Jihad. Saya kenal dengan pimpinannya. Dia adalah Abu Musab al-Zarqawi. Salah satu elite dari Al Qaeda.


“ Tidak, “ kata al-Shafi’i dengan tegas. “ itu bagian dari AL Qaeda. Mereka piaraan anjing Amerika, piaran para kafir” lanjutnya dengan sinis.


“ Tapi anda perlu uang dan senjata? “ tanya Anbari. Al-Shafi’i terdiam. Sebenarnya antara Anbari dan para pejuang itu, pertentangan teologi. Anbari percaya kepada Tuhan dan kehendak Tuhan. Tapi dia juga percaya bahwa Tuhan tidak kirim bazoka dan RPG. Terbukti antar mereka tidak ada yang menang. Semua dihabisi AS sang pencipta dollar. AS percaya sistem kapitalisme. Money is God. Trust in God. Katanya. Belakangan dalam keadaan damai, di jantung kapitalis, wallstreet. Bursa AS tumbang karena krisis Lehman dan masuk ke lubang resesi. Sebenarnya mereka yang beriman namun bersyarat, seperti apa kata Socrates, yang mempertanyakan segalanya pada dasarnya meragukan segalanya. Pada akhirnya ia tak beriman kepada apa pun. Inilah yang dipahami kaum agnostik.


Jokowi itu orang baik. Sangat baik. Dia tidak memperkaya dirinya sebagai presiden. Taat beragama. Rajin sholat. Mencintai Ulama. Dan rakyat memilihnya karena dia orang baik yang religius. Tetapi apa artinya 1 orang baik dikelilingi 10 orang jahat di dalam sistem yang mengikatnya. Bisa jadi antara Jokowi dan mereka adalah pertentangan teologi. Jokowi percaya kepada Tuhan yang akan menjaganya. Mereka juga percaya kepada Tuhan namun Tuhan tidak kirim uang ke rekening mereka untuk logistik pemilu.


Jadi, bukan agama yang membentuk manusia, melainkan akhlaknya. Nabi dikirim Tuhan bukan untuk mengubah agama  dan  budaya, tetapi memperbaiki akhlak manusia. Allah memuji Nabi bukan karena ibadahnya tapi karena Akhlaknya ( QS. Al-Qalam 4). Maka memang benar ketika orang mengatakan, bukan agamanya yang jahat, melainkan manusianya. Tersirat di sini pengakuan tentang terbatasnya pengaruh agama bagi perilaku manusia umumnya. Yang tak pernah kita dengar ialah ketika pernyataan itu dibalik: bukan agamanya yang mulia, tetapi manusianya.…


Thursday, February 09, 2023

Pemilih cerdas.

 



Ketua Umum Ganjar Pranowo Mania Immanuel Ebenezer yang juga jadi relawan Jokowi di Pilpres 2019 mengatakan pembubaran akan dilakukan secara resmi pada Kamis (9/2) di Jakarta. Mereka akan menggelar jumpa pers. “ Itulah politik” kata teman kemarin waktu ketemu di cafe. “ Tapi bagaimanapun dalam konteks demokrasi, memang pemilih punya kebebasan mendukung dan menggalang dukungan dan kapanpun bisa balik arah atau bubar. Beda dengan Partai. Apapapun terjadi kader partai akan tetap solid “ Lanjut teman. Saya senyum aja.


Sebenarnya dalam sistem demokrasi, pemilih itu tidak perlu menggalang kekuatan dan pakai relawan segala. Sudah cukup dengan adanya ormas sebagai kekuatan informal, yang jumlahnya ribuan di Indonesia. Yang utama bagi pemilih adalah meningkatkan kecerdasaran politiknya. Apalagi Indonesia itu menganut indiologi terbuka, bukan idiologi totaliter. Jadi setiap orang bisa pindah pilihan partai dan juga pindah pilihan capres.


Apa itu pemilih cerdas? Pemilih cerdas adalah pemilih yang focus kepada kepentingan dia pribadi. Misal petani, ya dia harus nilai partai atau capres yang punya visi meningkatkan pertanian dan kesejahteraan petani.  Apa program meningkatkan kepemilikan lahan? apa program reforma Agraria? konkritnya gimana? kalau dulu pernah ada yang janji akan sukseskan reforma agraris dan terbukti tidak tercapai target, ya hukum partai atau capres itu dengan tidak memilih mereka lagi.


Apa artinya? pemilih cerdas itu focus kepada masalah substansi, yang mudah dipahami oleh mereka yang merasakan langsung dampak dari kebijakan pemerintah. Setelah mereka pilih, kalau  ternyata program tidak tercapai ya mereka kritisi, Engga ada cinta mati. Kalau sukses ya biasa saja. Engga perlu dipuji segala. Karena pemimpin kan dibayar mahal untuk kerja, bukan gratis. Jadi sudah seharusnya mereka punya kinerja terbaik. 


Yang jadi masalah di negeri kita ini, pemilih rasional yang paham arti demokrasi dan tentu paham cara mengkritik, paling banyak hanya 10% selebihnya pemilih irasional. Faktor emosi karena agama, suku sangat dominan dalam menentukan pilihan.Makanya jangan kaget bila pemilu hanyalah drama, yang mudah diayun oleh konsultan kampanye dan para influencer. Maka jadilah para pemilih gerombolan bigot. Saling membenci yang tidak sudah. Padahal mereka adalah korban dari sistem yang berengsek, yang memang  sengaja merancang polarisasi ditengah masyarakat agar mudah mendulang suara. 


***

Petugas Partai…Dalam masyarakat itu terdiri dari berbagai kelompok dan golongan yang berbeda pandangan. Perbedaan itu harus dihormati. Prinsip demokrasi adalah free will sebagai bagian tidak terpisahkan dari HAM. Masing masing golongan atau kelompok harus mengorganisir diri mereka sesuai konsesus nasional berdirinya negara. Dari sanalah lahirnya Partai Politik. 


Secara umum, partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir dan memiliki pandangan dan cita-cita yang sama mengenai suatu pemerintahan. Untuk lebih konkritnya definisi itu silahkan baca Pasal 1 ayat 1 UU No 2 Tahun 2011 tentang Parpol.  Sampai disini paham ya.


Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kekuasaan. Kekuasaan itu diwakili oleh Partai. Jadi kalau bisa dianalogikan partai itu adalah proxy rakyat. Pengurus partai , kader partai adalah juga proxy rakyat.  Tapi untuk melegitimasi mereka sebagai proxy, bukan hanya sekedar berdirinya partai, tapi harus dibuktikan lewat Pemilu Langsung. 


Hasil pemilu itulah membuktikan apakah Partai dipercaya atau tidak oleh rakyat. Agar tertip, tentu diatur lagi batasan minimal suara yang dipercaya rakyat. Batasan suara yang bisa duduk di parlemen (  parliamentary threshold  dan mengusung presiden/ gubernur/ walikota/bupati ( presidential threshold ). Jadi walau rakyat berhak mendirikan partai, tetapi harus terorganisir dengan baik dan modern. Engga bisa modal bacot doang mau nyapres. Sistem kita tidak mengenal wakil dari independent. 


Nah yang harus kita pahami bersama bahwa demokrasi itu berbeda dengan otoriterian atau otokratis . Apa sih bedanya? ya otoriterian atau otokratis mengkultuskan individu. Jabatan presiden itu adalah sakral. Engga boleh disalahkan dan tidak boleh dikritik. Harus dipuji terus. Nah sementara demokrasi adalah tidak mengkultuskan individu. Demokrasi menjunjung tinggi sikap egaliter. Presiden/gubernur/walikota/Bupati/DPR, yang diusung partai dan anda pilih, dia tetaplah proxy atau bahasa mesranya petugas partai. Di AS disebut “ Admin”


Mengapa sebagian masyarakat alergi dengan sebutan petugas partai bagi jabatan presiden? ya karena budaya feodalisme di negeri ini belum sepenuhnya hilang. Sikap inferior complex rakyat dihadapan penguasa masih sangat tinggi. Padahal kalau rakyat sadar bahwa mereka sebagai penguasa dan pejabat politik adalah proxy mereka, seharusnya superior aja. Toh faktanya kan mereka numpang makan dan hidup makmur bersama keluarganya  dari pajak yang kita bayar.


***

Jokowi itu sebagai personal kita pilih karena dia orang baik dan tidak terhubung dengan Orba. Dari dia kita berharap agar ada perubahan. Tapi Jokowi sebagai presiden bukanlah Jokowi sebagai personal. Dia terikat dengan UU dan Hukum serta kekuatan sharing power, yang mereka semua juga kita yang pilih. Nah kumpulan dari mereka yang kita pilih itu bernama pemerintah. Tugas kita mengkritisi pemerintah itu. Apa yang dikritik? ya kebijakannya, bukan personalnya.


Ketika orang kita pilih sebagai presiden, DPR, maka sebenarnya kitalah pemilik kekuasaan. Istri saya memilih saya sebagai suami. Dia harus jaga saya. Tidak dengan memuji atau dikecam rasa takut, tetapi ya dikritisi. Dia tak pernah lelah mengkritisi. Sayapun tahu diri. Dia  bukan escort yang selalu memuji. Dia belahan jiwa saya. Dan lagi dia kritik karena dia peduli. Ya cinta rasional, bukan sekedar emosional. Begitulah seharusnya kita kepada pemimpin yang kita pilih lewat sistem demokrasi. Negara hebat karena rakyatnya  hebat.


Kita kadang engga bisa bedakan antara Jokowi dan Pemerintah. Karena kebanyakan kita masih hidup dalam suasana kebatinan feodal. Presiden kita anggap raja, yang tidak boleh disalahkan. Maka jadilan kita terjebak dalam mentality victim seperti era kolonial dulu. Kita tahu raja atau sultan berkolaborasi dengan belanda dan kaum bangsawan, tapi kita hanya salahkan Belanda. Raja ata Sultan tetap kita hormati dan tidak boleh disalahkan. 350 tahun situasi itu kita pertahankan. 

HAK istri.

  Ada   ponakan yang islamnya “agak laen” dengan saya. Dia datang ke saya minta advice menceraikan istrinya ? Apakah istri kamu selingkuh da...