Saturday, January 31, 2015

Memberi dan mengasihi...

Sekelompok  orang bisa saja mengutip Injil atau Al Quran, bukan untuk mencintai musuh, tapi untuk membinasakan. Firman Allah ditafsirkan dengan nafsu amarah dan yakin bahwa dengan pedang atau mesiu, manusia menapak di jalan Tuhan dan setelah sebuah pembunuhan, kekerasan, dan apokalipsa, dunia pun akan jadi bersih dan setan dikalahkan. Itu agaknya yang diingat oleh Timothy McVeigh di pagi hari 19 April 1995. Dengan 2.000 kilogram campuran pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel, yang ia taruh di sebuah truk sewaan, ia meledakkan sebuah bangunan besar di Kota Oklahoma. Gedung itu tempat pemerintah federal berkantor untuk urusan kesejahteraan sosial dan urusan pengawasan tembakau, alkohol, dan senjata api. Bunyi gelegar yang dahsyat pun terdengar, dan Gedung Alfred P. Murrah itu hancur seluruh bagian depannya, dan 168 orang mati, di antaranya anak-anak, dan lebih dari 500 luka-luka. Jerit, tangis, ketakutan, marah, mencekam seluruh Amerika Serikat. Sejarah mencatat bahwa itulah serangan teror terbesar sebelum gedung World Trade Center dihancurkan dua pesawat pada tanggal 11 September 2001.  Mark Juergensmeyer, guru besar sosiologi dari Universitas California Santa Barbara, dalam sebuah buku yang ditulisnya dengan teliti, Terror in the Mind of God, menelaah mengapa McVeigh—yang wajahnya putih cakap, rambutnya cepak rapi, sebagaimana umumnya orang Amerika “tulen”—melakukan tindakan yang ganas itu.

Dalam penelusuran Juergensmeyer, pemuda ini terpengaruh oleh teologia yang dibawakan oleh gerakan “Christian Identity”. Ia menerima selebaran The Patriot Report dari cabang gerakan itu di Arkansas, tapi tak kalah penting: ia membaca buku fiksi The Turner Diaries dengan yakin. Di dalam novel terbitan tahun 1978 ini dikisahkan dengan detail bagaimana sang tokoh me-ledakkan sebuah gedung pemerintah federal, dengan hampir 2.000 kilogram mesiu campuran pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel. McVeigh, yang menganggap The Turner Diaries buku sucinya, hampir persis meniru sang tokoh novel.The Turner Diaries ditulis oleh “Andrew Macdonald”, nama samaran William Pierce, seorang Ph.D. lulusan Universitas Colorado dan pengajar fisika di Universitas Negeri Oregon. Novel itu dengan segera, kata Juergensmeyer, menjadi sebuah karya klasik bawah-tanah: laku cepat 200 ribu eksemplar. Saya tak tahu bagaimana mutunya. Tapi konon di sana digambarkan semacam armagedon: pertempuran para “pejuang kemerdekaan” yang bergabung dalam gerilyawan “the Order” melawan kediktatoran pemerintah Amerika. Perjuangan ini perlu, menurut Pierce, karena Amerika telah diperintah oleh “sekularisme” yang dibangun oleh komplotan Yahudi dan para intelektual progresif untuk menghabisi kemerdekaan “masyarakat Kristen”. Gambaran muram dan keras tentang dunia yang seperti itu juga yang dibawakan gerakan “Christian Identity”: bagi gerakan ini, Amerika, yang seharusnya merupakan sebuah tanah air Kristen, telah dikepung dan dikuasai oleh “Si Lain”. Apa dan siapa “Si Lain” itu bisa bermacam-macam, tapi umumnya dikatakan bahwa musuh itu adalah “Yahudi-dan-PBB” (dan para pemikir “liberal”).

Dan seperti umumnya gerakan militan yang menderita pandangan dunia yang penuh syak wasangka, “Christian Identity” membentuk laskar. Seperti Al-Qaidah dan ISIS, ia membangun kamp latihan militer. Tempatnya di Amerika bagian barat-tengah, di perbatasan Oklahoma-Arkansas-Missouri, dan namanya ”. Endtime Over-comer Survival Training School”—sesuatu yang merupakan bagian persiapan mengatasi suasana “akhir zaman”. Di dekat kamp itu, rohaniwan mereka, Pendeta Robert Millar, mendirikan Kota Elohim, yang anggota-anggotanya menghimpun senjata untuk menghadapi serangan pemerintah Amerika Serikat. Kamp inilah yang dihubungi McVeigh beberapa saat sebelum ia meledakkan Gedung Alfred P. Murrah. Tuhan dan kekerasan: McVeigh, yang kemudian ditangkap dan dihukum mati, tidak sendiri. Pada tahun 1996 “Christian Identity” mengebom Olimpiade di Atlanta, pada tahun 1999 menembaki sebuah tempat penitipan anak Yahudi, dan sebelum itu pada tahun 1985 Pendeta Michael Bray—yang berpikiran sejenis dan diduga menulis buku petunjuk berjudul Army of God (Laskar Tuhan)—membakar dan merusak tujuh buah klinik tempat para dokter membantu pengguguran kandungan. Pada tahun 1994, Pendeta Paul Hill menembak mati Dokter John Britton di Florida, setelah beberapa tahun sebelumnya seorang perempuan pengikut Pendeta Bray mencoba membunuh Dokter George Tiller di Kansas. Pendeta Bray kemudian menulis buku untuk menghalalkan kekerasan seperti itu. Judulnya: A Time to Kill.

Tuhan dan pembunuhan: tak cuma di kalangan Kristen dan Islam, tapi—seperti dikumpulkan dan ditelaah oleh Juergensmeyer—juga di kalangan Yahudi, Hindu, Sikh, dan Buddha. Mengapa? Ketika sekelompok orang membangun dalil tentang Tuhan maka merekapun“menciptakan Tuhan” maka agama menjadi dokrin politik atau ia bisa saja kampanye business terselubung menghasilkan uang dengan mudah. Bagi mereka adalah bagaimana agama melahirkan imajinasi pengikutnya yang membuat pelbagai nilai jadi mutlak; agama dengan itu juga memproyeksikan “perang kosmis”. Sehingga membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuh agama, yang, dalam kehidupan publik, memberikan mercusuar ke arah tatanan moral. Yang agaknya diabaikan para “laskar Tuhan” itu ialah bahwa tatanan moral itu akan selalu mengimbau seperti surya di pangkal akanan. Kita akan selalu mendapatkan hangat dan cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar ke sana. Tapi mungkinkah mencapai kaki langit itu, menjangkau terang itu, dengan doa, dengan laku, dengan darah, dengan besi, sekalipun? Hidup jadi berarti bukan karena mencapai. Hidup jadi berarti karena mencari, memberi dan mengasihi.Itulah nilai agama sesungguhnya. Tuhan ada dalam diri kita. Di hati kita! Bukan diluar dengan segala dalil.

Tuesday, January 20, 2015

Berdakwah...

Siapapun dia selagi dia bergama atau bersahadat ,walau begitu banyak kejahatan dilakukannya dia pasti marah dan tersinggung bila di bully dengan menyebut dirinya “setan”, atau “perbuatan kamu haram” atau “ kafir”. Kalau tujuan kita untuk menasehatinya atau berdakwah maka pasti akan gagal. Mengapa ? orang mau mendengar kita bila orang bersimpati dengan kita. Tidak ada orang serta merta bersimpati dengan kita bila langsung mendakwanya sebagai pendosa, setan atau apalah,apalagi itu dilakukan dengan amarah dan kekerasan.  Dulu waktu SMA kalau liburan saya acap diajak meneman ibu saya berdakwah di tempat lokalisasi PSK. Semua yang hadir dalam majelis taklim adalah PSK. Tak pernah sakalipun ibu saya menceramahi "dosanya menjadi pelacur" atau menjabarkan betapa pedihnya siksa neraka itu bagi para pezina. Betapa pedihnya siksa kubur bagi pelacur. Tidak pernah!.Ketika hal ini saya tanyakan, ibu saya menyampaikan dengan bijak bahwa mereka para PSK itu adalah orang yang lupa. Jangan ingatkan neraka, besarnya dosa maksiat , Jangan!. Karena hati mereka sudah ditutup oleh Iblish sehingga ancaman neraka itu tidak lagi mereka pahami dan yakini. Mengapa? Para PSK itu adalah mereka yang miskin karena berbagai sebab. Ditengah kemiskinan itu dan iman yang tidak begitu kokoh, iblis menanamkan prasangka buruk tentang Allah kepada mereka, bahwa penderitaannya karena Allah tidak lagi peduli kepada mereka. Sesatlah mereka. Tugas pendakwah adalah mengingatkan mereka jalan yang benar agar mereka sampai pada tujuan yang sebenarnya. Namun tentu dengan cara cara yang penuh bijaksana tanpa membuat mereka selalu "disalahkan". Ingat bahwa mereka hanya lupa,dan kita peduli akan itu.

Itu sebabnya, ibu saya mengingatkan mereka tentang kasih sayang Allah, Ingatkan kemurahan Allah. Bahwa Allah akan menjaga mereka siang dan malam. Bahwa Allah lah sumber keselamatan dan sumber kebahagiaan. Allah tempat sebaik baiknya harapan dan tempat sebaik baiknya kembali.Karenanya kembalilah kepada Allah. Mari Sholat. Ya isi ceramah yang disampaikan hanya berkaitan tentang cinta dan kasih sayang Allah saja. Mengapa ? karena itulah yang selama ini dikaburkan oleh Iblis. Benarlah, dakwah dengan cinta selalu menyejukkan. Membuat hati melembut. Setiap tahun yang lama pulang tak kembali lagi karena mereka bertobat dan yang baru datang untuk diingatkan kembali. Namun jumlah penghuni lokalisasi semakin berkurang.  Syeikh Jamil Jambek atau dikenal akrab dengan panggilan Inyik Jambek adalah Ulama besar dari Minang Kabau. Beliau adalah murid dari Syeikh Ahmad Khatib di Makkah, yang juga adalah guru dari KH Ahmad Dahlan, H Abdul Karim Amrullah, H Abdullah Ahmad, Syeikh Taher Jalaluddin, H Agoes Salim, H Muhamad Basyuni Imran, H Abdul Halim, KH Hasyim Asy’ari, dan Syeikh Daud Rasyidi. Inyik Jambek adalah ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Singkatnya bagaimana islam bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam, bahkan bagi mereka yang buta hurup. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja untuk mudah dipahami. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.

Bagaimana cara Inyik Jambek mengingatkan orang yang lupa? Ada cerita dari mulut kemulut di Minang Kabau tentang kehebatan inyik Jambek menggiring para pendosa mau kembali ke Surau ( masjid). Cerita nya begini, bagi pendosa yang suka berjudi sabung ayam, inyik Jambek tidak menunggu mereka datang ke Surau tapi mendatangi tempat mereka melakukan maksiat. Tidak untuk mengatakan berjudi itu haram dan perbuatan mereka kufur. Tidak! Jadi apa yang dilakukannya?Beliau membawa ayam kecil untuk disabung digelanggang. Semua orang menganggap beliau bodoh karena ayam aduannya pasti kalah. Karenanya tidak ada satupun penjudi menjagokan ayam aduannya. Orang banyak meliat sebelum ayam diadu, beliau membisikan sesuatu kepada ayamnya. Ketika diadu, hanya dua kali pukulan , ayam lawan langsung roboh. Orang banyak terkejut. Berkali kali ayam kecil itu diadu selalu menang. Orangpun bertanya mencari tahu, apa yang dibisikannya kepada ayam itu. Beliau mengatakan yang dibisikannya kepada ayam adalah Al-Fatihah. Beberapa dari penjudi hafal bacaan Al Fatihah itu tapi ketika dibisikan kepada ayam itu, ternyata kalah. Beliau menegaskan bahwa membacanya harus dengan hati. Tidak bisa dengan hanya dilafalkan. Bagaimana cara membaca dengan hati ? beliau menyarankan para pejudi itu datang ke Surau untuk belajar mengaji. Akhirnya para pejudi itu datang mengaji. Walau niat awalnya mengaji agar dapat karamah untuk menang dalam sabung ayam namun berlalunya waktu nikmat iman telah merasuk dihati mereka untuk menghindari segala bentuk maksiat dan akhirnya mereka tak ingin lagi berjudi.

Berdakwah di Masjid , yang datang adalah mereka yang  “ingat” dan biasanya pendakwah mendapat upah dari majelis karena telah memberikan ilmu penguat iman. Tapi berdakwah kepada mereka yang “lupa”, yang tidak mau datang ke Masjid dan harus mendatanginya adalah pengorbanan. Ibu saya setiap minggu berdakwah di rumah sakit untuk mengingatkan mereka akan sabar, berdakwah di Penjara untuk mengingatkan terpidana “jalan pulang”, di lokalisasi untuk mengingatkan PSK bahwa Allah pengasih penyayang dan sumber segala harapan. Ingat sejahat jahat mereka tentu tidak sekufur Firaun yang menjadikan dirinya Tuhan namun Allah tetap meminta kepada Musa untuk mendatangi Firaun dengan bahasa lemah lembut. Sejahat jahat mereka tentu tidak sejahat Abu Lahab yang menyiksa Sahabat Rasulullah? Tidak sebiadab Umar Bin Khatap yang mengubur anaknya hidup-hidup? Rasulullah masih mendoakan kebaikan untuk Abu Lahab dan Umar ,dan tetap dengan lemah lembut. Apalah kita dibandingkan Rasul. Tentu tidak ada alasan kita merasa sombong kepada mereka yang lupa dan berbeda. Syiar islam adalah menebarkan kasih sayang untuk mengingatkan cinta Allah. Karenanya berlemah lembutlah kepada mereka yang lupa dan berprasangka baiklah serta berdoalah agar Allah memberikannya hidayah.

Tan Malaka...

SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa. Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”. Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan diri. Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu. Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Belanda” kembali.

Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”. Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero. Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.” Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.” Itulah Revolusi Agustus.  Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.

Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”. Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”.  Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi,  perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.  Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.  Tak begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa d ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung. 

Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas. Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.  Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap. Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok dengan sang ”pragmatis”. Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.  Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.  Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”.  Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam. Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.

Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis. Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero? Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.  Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.  Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh.

Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperialisme. Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda. Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.@GM

Friday, January 09, 2015

Teror di Francis...

Prancis, di pertengahan Oktober 1989, tiga potong kain kepala mengguncang republik itu. Kepala Sekolah Collège de Creil di Osie memutuskan untuk mengeluarkan tiga gadis yang memakai jilbab dari sekolah. Para guru mendukung keputusan itu. Bagi mereka, yang hendak dipertahankan adalah ide tentang ”Prancis”, yang lahir sejak Revolusi 1789, persis 200 tahun sebelum insiden kerudung itu—yakni sebuah Prancis yang sekuler, yang menganggap pemisahan agama dari wilayah publik merupakan pembebasan, yang juga menghendaki persatuan dan kesatuan yang kuat, sehingga perbedaan budaya harus dilarutkan dalam asimilasi. ”Sekolah ini Prancis,” ujar si kepala sekolah, ”Ia terletak di Kota Creil, dan sifatnya sekuler. Kita tak akan membiarkan diri kita direcoki soal-soal agama.”  Bagi para aktivis yang memperjuangkan persamaan hak antara kelompok dalam masyarakat, tindakan kepala sekolah itu diwarnai keras oleh sikap melecehkan minoritas Islam di Prancis. Bagi kalangan agama, tindakan si kepala sekolah merupakan contoh semangat sekularisme yang militan dan sewenang-wenang. Kardinal Lustiger, Uskup Agung Paris, berseru: ”Janganlah kita berperang melawan anak-anak itu!” Juru bicara Federasi Protestan juga mengatakan: ”Kalangan Protestan menganggap tak ada alasan untuk melarang jilbab di sekolah,” dan ia memperingatkan agar Prancis bangun dari mimpinya untuk memerangi agama. Tokoh rohaniwan Yahudi Kota Paris bicara lebih tegas lagi bahwa ”mereka yang melarang anak-anak muslim memakai jilbab itu...menampakkan tidak adanya toleransi di kalangan mereka.”

Mengapa tokoh non muslim membela Islam di Prancis yang dikenal sangat sekular? Karena kalangan umat islam seperti  da’i, ilmuwan, sastrawan, seniman muslim berusaha menampilkan wajah rahmatan lil ‘alamin Islam, mulai dari kesantunan, intelektualitas, produktivitas, dan keterbukaan mengajarkan Islam dengan semua cara yang elegan. Mereka berusaha menciptakan atmosir damai ditengah Islamophobia yang sangat kental di Prancis. Ini tidak mudah. Karena pada waktu bersamaan bermunculan berbagai golongan Islam yang menampakan wajah vulgar permusuhan dengan non muslim. Cara mereka bersikap menakutkan, cara mereka berpikir penuh permusuhan dan dari itu semua, mereka menawarkan posisi perang kepada siapapun yang berbeda. Namun perjuangan puluhan tahun dengan pesan damai itu, hasilnya masyarakat Prancis mulai merasakan kehangatan kehadiran muslim yang jauh berbeda dengan stigma yang mereka punya sebelumnya. Sekolah-sekolah SD hingga SMA muslim mulai bermunculan dan terbukti meraih banyak prestasi dan menunjukan kepada warga asli Prancis bahwa anak-anak muslim tidak berbeda dengan semua anak kulit putih eropa dalam kemampuan pendidikan. Universitas dan lembaga-lembaga kajian muslim bermunculan dan memjawab kebutuhan masyarakat muslim dan Perancis. Even-event akbar diadakan, seperti Rencontre annuelle des musulmans de France dan sangat terbuka mengundang non-muslim berpartispasi. Perjuangan puluhan tahun mereka yang ikhlas dan dalam kesabaran melakukan syiar islam  di Francis hancur begitu saja ketika terdi aksi teror di kantor majalah Prancis, Charlie Hebdo di Paris yang menewaskan 14 orang , termasuk 2 polisi,  

Dampak kejahatan ini sangat signifikan dan sangat berhasil menghancurkan citra Islam cinta damai. Diprediksi fenomena islamofobia setelah aksi terror ini akan kembali bangkit di seluruh Perancis. Dan dampaknya akan sangat terasa khususnya oleh muslimah dan oleh anak-anak muslim. Ruang gerak mereka akan lebih sempit kedepan, seperti dipersulit, dicemooh, dilecehkan, dll. Apalagi beberapa media-media mainstream memanfaatkan isu ini seperti menyoroti dengan sengaja kaitan ‘membela nabi dan pembunuhan’. Saya yakin mereka yang melakukan aksi terror itu bukanlah Islam tapi musuh senyata nyatanya islam. Mereka musuh Islam yang bersembunyi dibalik dalil dan simbol Al Quran dan Hadith. Mereka bersorban, berjanggut, fasih berhasa Arab, dan hafal AL Quran namun mereka menebarkan kebenciaan , kemarahan, dendam, hujatan dengan mudah mengkafirkan orang lain, ekslusif, paranoid. Padahal upaya yang terbukti efektif melakukan syiar islam adalah melalui akhlak mulia dan Nabi telah mentelandankan betapa agung akhlaknya sehingga bisa merubah mental kaum Arab yang jahiliah menjadi berakhlak Al Quran. Islam tidak dibesarkan oleh retorika, kehebatan pidato diatas panggung tapi oleh akhlak cinta dan kasih sayang para pengikutnya. Ikuti sunah rasul , tentu harus ikuti akhlaknya.

Walau ISIS yang terus mengibarkan bendera teror dan menumpahkan darah kebumi dan aksi teror di mana mana membawa rasa takut, dan juga segala retorika kebencian kepada pihak tidak seiman, namun saya yakin citra Islam yang cinta damai tidak akan rusak asalkan siapapun kita harus punya kepedulian untu terus berjuang dengan keteladanan akhlak mulia. Yang penting. "Dont tell them that Islam is the best but show them that Islam is the best. Dengan demikian akan banyak pengikut agama lain yang bisa kita yakinkan bahwa Islam bukan ancaman dan mereka akan membela Islam dengan akal sehat. Seperti ungkapan teman saya di Ausi paska penyanderaan café yang dilakukan ISIS, dia bilang" tidak ada alasan yang bisa diterima demi agama orang mengancam dan akhirnya membunuh. Islam yang saya kenal adalah kamu sebagai sehabat saya, dan menyenangkan...

Wednesday, January 07, 2015

Jalan pengabdian

Jonan ketika dia sampai dipuncak karirnya sebagia TOP executive Citibank , dia memilih mundur dan mewakafkan hidupnya untuk negara. Dia bekerja di PT.KA , gajinya hanya 10% dari gajinya di CItibank tapi karena itu PT.KA sukses. Kini dia jadi Menteri gajinya hanya 20% dari gajinya di Citibank dan dia akan menjadikan Insfrastutkur transfortasi Indonesia berkelas dunia. Ridwan Kamil sebelum menjadi walikota ,honornya sudah 6 digit sebagai arsitek kelas dunia. Jabatannya sebagai walikota tidak membuat income nya bertambah malah defisit. Tapi pengabdiannya sebagai walikota Bandung menghasilkan prestasi lebih baik dibandingkan walikota sebelumnya.Ibu Susi, sebelum jad Menteri Kelautan adalah pengusaha sukses dibidang perikanan dan penerbangan. Walau gaji menteri  hanya 5% dari gajinya sebagai CEO kelompok usahanya namun dia tidak menolak untuk diangkat sebagai menteri. Mengapa? Jokowi tidak memberikan janji gaji dan fasilitas tapi Jokowi memberikan jalan baginya untuk melaksanakan visi dan misinya ujntuk berbuat sesuatu bagi nelayan pada khususnya dan negara pada umumnya. Liatlah prestasinya ketika menjabat Menteri. Jokowi sebelum jadi walikota Solo akhirnya jadi presiden adalah pedagang berkelas dunia yang punya outlet perdagangan dibeberapa negara. Mereka , Jonan, Ibu Susi, Ridwan Kamil, Jokowi, bukanlah tergolong konglomerat tapi mereka mapan secara materi. Karena itulah mereka tidak ragu untuk berbuat baik dan tidak mungkin bisa disuap.Mereka sudah selesai dengan dirinya.

Mereka pekerja keras sejak usia muda.Mereka kreatif dan mandiri. Pada usia relatif muda mereka sudah mapan. Pada usia produktif  bagi ukuran orang Indonesia karena belum masuk usia pension, mereka menentukan sikap untuk memilih jalur pengabdian lewat kepemimpinan di Pemerintahan. Ini merupakan langkah yang sangat ekstrim bagi ukuran manusia pada masa kini. Dimana orang berlomba lomba untuk mengejar kesenangan diri dan menumpuk harta. We should live and labor in our time that what came to us as seed may go to the next generation as blossom, and that what came to us as blossom may go to them as fruit. This is what we mean by progress. Demikian yang ditulis oleh Henry Ward Beecher dalam bukunya. Mungkin ini pula yang menggerakkan hati mereka untuk keluar dari kehidupan yang menjanjikan kemewahan kepada kehidupan yang lebih banyak menuntut pengorbanan. Mereka ingin membentuk masa depannya dengan lebih berarti. Setidaknya dengan kemampuan yang dimilikinya mereka bisa memberikan harapan kepada rakyat khusus yang duafa  bahwa masa depan bukanlah yang mengkawatirkan. Inilah salah satu berkah dari sistem demokrasi dimana orang baik akan mendapatkan ruang untuk berbuat dengan umur dan pontesinya, dan mereka membuktikan itu.

Sikap mereka tersebut mengingatkan saya tentang seoranag sahabat yang dalam satu kesempatan pernah mengungkapkan kepada saya bahwa masa depan tidak mencuatkan paralelisme antara ruang, jarak, dan waktu. Tentu masa depan bukan reproduksi kehidupan kelampauan dan ke-masa-mendatangan yang unpredictable. Bagaimanapun masa depan merupakan kausalitas perjalanan tentang substansi ''keberadaan'' (eksistensi) dan beraktualisasi tentang hidup itu sendiri. Pun rekonseptualisasi mengenai masa depan, tiadalah nilai kesejarahan hidup masa silam yang diterima. Sebagai masa depan, manusia dituntut -mengutip Dr Zhivagonya dalam novel Boris Pasternak- untuk membentuk kembali hidup. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang meng “nol” kan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru dalam dimensi baru. Sikap mereka seakan menegaskan tentang semangat juang untuk berbuat lebih untuk orang lain , yang mereka yakini sebagai wahana yang lebih bernilai dari apa yang sudah mereka capai. Memang bahwa manusia dilahirkan buat Hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya. mempertimbangkan masa depan adalah membentuk kembali hidup. Berdasarkan pertimbangan semacam itulah, permenungan masa depan dimulai agar tidak menghadapi kecemasan, dus merugi. Bukankah dalam rentang waktu, kehidupan manusia senantiasa merugi, ''Wal ashr. Innal insaana lafii khusrin.''

Bangsa Indonesia sebagai komunitas dunia , seharusnya memandang masa depan dengan mata hati dan bukannya mata gelap. Di tengah kepayahan yang menimpa bangsa ini akibat rezim masalalu diperlukan kearifan tersendiri untuk memandang masa depan. Setidaknya bagi mereka yang sudah terlalu kaya karena korupsi atau manipulasi tanpa tersentuh hukum untuk meng “nol” kan dirinya ; memulai sesuatu yang baru dan lebih bernilai. Agar masyarakat bangsa ini memandang masa depan bukan sebagai penantian waktu yang tak kunjung selesai. Tentu kita tidak ingin, maka waktu yang makin absurd seperti diperlihatkan tokoh Estragon dan Vladimir dalam lakon Menunggu Godot (Waiting for Godot) Samuel Beckett. Atau, masa depan bangsa ini seperti lentingan Bob Dylan dalam lagu ballada Blowing in the Wind: How many times must a man turn his head/and pretend that he just doesn't see/How many ears must one have/before he can hear people cry/How many deaths will it take till he knows/that too many people have died. Setidaknya dari sosok Jonan, Menteri Perhubungan, Susi,Menteri Kelautan, Ridwan Kamil, Walikota Bandung, Reza Pahlevi, Walikota Payakumbuh, Nurdin Abdoelah, Bupati Bantaeng, dan Jokowi kita punya hope...


Cerdas berlogika dan bersikap.

Mengapa kegiatan ekonomi itu terbelah.Ada yang formal dan ada yang informal. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang melimpah sumber day...