Tahun 2010 saya berkunjung ke Changsa. Saat itu saya diundang makan malam oleh Perwira Tinggi China makan malam. Menu yang terhidang adalah tahu asam. Tahu yang dipermentasi sehingga bisa bertahan berbulan bulan selama musim dingin. Kebayang dah. Aromanya seperti comberan. Bagaimana mau makannya?.Tapi Perwira tinggi itu bisa makan dengan lahap.
“ Tahu ini menu makanan orang miskin di China. “ Kata Perwita tinggi itu.” Ini makanan favorit bapak Mao. Sampai jadi orang nomor 1 di China, menu ini tetap menjadi pavoritnya. Selalu mengingatkan kepada bawahannya bahwa kalau kamu ingin dekat kepada rakyat, jangan pernah lupa menu yang setiap hari mereka makan karena kita masih belum sukses memakmurkan mereka. “ Lanjutnya.
Ganjar lahir dari keluarga bintara Polisi. Kelas bawah dari kalangan aparatur negara. Setidaknya sama dengan keluarga kelas bawah di Indonesia. Dia tidak seperti Megawati yang lahir dari ayah sang proklamator dan ibu yang pahlawan Nasional. Tidak seperti Prabowo yang lahir dari keluarga bangsawan dan kakeknya sebagai pahlawan nasional anggota BPUPKI. Tidak seperti Anies Baswedan yang kakeknya juga pahlawan nasional, juga founding parent bangsa ini. Tidak seperti SBY yang punya mertua sebagai pahlawan nasional. Tidak seperti Gus Dur yang ayah dan kakek nya pahlawan nasional.
Pilihan Ganjar ada pada Marhaen. Gerakan kaum tertindas yang lahir dari pemikiran Soekarno. Membuat dia tidak ragu terlibat dalam barisan Marhaen sejak masih mahasiwa. Walau ayahnya aparatur negara, dia tidak hidup dalam bayang bayang ayahnya yang setia kepada Soeharto. Dia menghormati kedua orang tuanya namun pilihan politik nya menolak ketika ditawari sebagai PNS. Dia berjuang di bawah tanah disaat Soeharto mengganyang kaum marhaen. Sampai akhirnya Soeharto jatuh dan rumah besar kaum Marhaen di PDIP menjadi pemenang pemilu tahun 1999. Apakah Ganjar euforia ? tidak, Dia tidak berambisi jadi elite di PDIP. Dia kembali ke rakyat. Berwira usaha. Sampai akhirnya dia bergabung ke PDIP untuk jadi Caleg. Itupun karena permintaan dari Taufik Kiemas, mentornya di GMNI. Terpilih sebagai anggota parlemen. Dia militan memperjuangkan nilai nilai marhaen.
Makanya saya tidak percaya ketika Ganjar dirumor kan terlibat korupsi berjamaah eKTP di era SBY. Itu tidak masuk akal secara politik. Karena saat itu PDIP adalah oposisi. Mana mungkin partai oposisi punya bargain terhadap anggaran dan agenda pemerintah. Pihak lawannya secara sistematis menjadikan dirinya sebagai target untuk dihabisi karir politiknya. Ganjar berpolitk sejak dari kampus dan dijalanan. Dia terlatih menghadapi resiko politik dan tentu cerdas menghadapinya. Pengalaman yang panjang itu membuatnya tidak gentar dan tetap tenang menghadapi badai. Sampai akhirnya memang itu hanya rumor. Membuktikan berpolitk bukan motif nya mengejar kekayaan.
Kalau akhirnya dia terpilih sebagai Gubernur Jateng. Itupun karena permintaan dari Mentornya di GMNI Pak Taudik Kiemas. Di era Ganjar statistik kemiskinan Jateng dibuka selebar lebarnya di depan publik. Padahal sebelumnya data itu dirahasiakan dan dipoles. Dia tidak merasa data itu merendahkannya. Justru memaksanya untuk keras kepada dirinya sendiri dan keras kepada bawahannya untuk melakukan perbaikan tata kelola anggaran dan pemerintahan. Itu kerja besar yang sangat sulit karena budaya PNS yang masih korup. Tetapi berjalannya waktu, walau Ganjar belum sukses mengangkat semua mereka dari kubangan kemiskinan. Namun dua periode jabatanya sebagai gubernur, Jateng menjadi provinsi tersukses di Indonesia menurunkan angka kemiskinan. Jawa Tengah sukses menurunkan angka stunting. Bahkan, risiko angka kematian ibu menurun hingga 52 persen sejak 2016.
Ketika para relawan Jokowi memaksa Ganjar jadi capres pada pemilu 2024. Ganjar tidak terpengaruh. Dia tetap focus kerja sebagai Gubernur dan menanti keputusan ketua umum PDIP. Saat itu orang banyak memprovokasinya berseteru dengan Puan Maharani. Menggiringnya keluar dari PDIP. Saya tersenyum saja melihat fenomena itu. Karena walau saya tidak kenal Ganjar secara personal namun saya mengenal betul Marhaen. Sedari muda saya aktif di Marhaen. Tentu sangat paham manifesto Marhaen, yaitu patuh kepada pimpin puncak selagi pemimpin masih berjalan di idiologi. PDIP itu rumah besar kaum marhaen. Partai idiologi sama seperti PKS. Tidak akan hancur karena digembosi oleh pihak luar atau pengkhiatan. Itu sudah teruji oleh waktu. Apalagi hancur karena provokasi kaum oportunis dan pragmatis. PDIP kini dan besok akan tetap kokoh dan terus membesar selagi dia tetap pada garis idiologi Marhaen.
Ganjar bukan darah biru dalam politk nasional, ya sama dengan Jokowi. Mungkin faktor emosional sama sama dari keluarga miskin makanya saya lebih punya kedekatan chemistry dengan Ganjar. Sama seperti dulu saya memilih Jokowi , yang lahir dari keluarga miskin. Membela wong cilik adalah perjuangan soal keadilan dan empati. Itu hanya lebih dirasakan oleh mereka yang juga terlahir miskin. Yang berjuang dalam kelelahan dan derita panjang sampai akhirnya dia bisa memimpin dirinya sendiri, untuk pantas memimpin orang lain. Itulah Ganjar. Saya bukan supporter Ganjar tapi voter. Jadi saya akan berada digaris depan mengkritik Ganjar kalau dia terlena dengan kekuasaan dan melupakan rakyat miskin.