Wednesday, December 09, 2015

Tahukah kamu, kasih..

Friendship will grow day by day 
Even when we're far away
I know we'll be okay
Friends forever we'll stay
Though the future's still unknown
I will never be alone
Though we change, though we've grown
In my heart is our home 

Time has passed, we've grown up 
Sharing hope, sharing love
Because faith helped us through
I know I can count on you 

In your eyes I can see 
How we fit perfectly
Best of friends, always be you and me

 ***
Tahukah kamu bahwa bulan hanya nampak indah ketika malam. Cahayanya membiaskan warna perak berkilau pada langit. Terutama ketika dia tampil utuh bulat. Sang pujangga memandang kebulan, syair dan prosa tercipta. Sang pencinta akan mengurai bait bait cinta. Walau orang telah pergi kebulan dan telah pula menginjak bulan ternyata taka da yang luar biasa namun bulan tetaplah lambang cinta, lambang perasaan terdalam untuk mengungkapkan sepatah kata tentang cinta. Tentang makna dari sebuan kerinduan yang tak bertepi. Pernahkah kamu melihat bulan bulat mengkilat cahaya keperakan?  Mungkin pernah, yak an. Itu hanya terjadi setahun sekali. Ketika itu pekat akan menyingkir dari semesta galaksi. Langit bersih seperti baru dicuci oleh hujan. Gelembung-gelembung harum alam merintik dari segenap pori-pori awan. Pada saat itu orang  Cina berkumpul di halaman rumah mencecap kue manis berisi biji lotus, kacang hijau, dan gula merah yang manis. Mereka bercengkerama memandang bulan purnama ditemani teh sepat sampai lewat malam.

Bagi orang china ketika bulan penuh adalah saatnya untuk bertemu dan melabuhkan hatinya. Mengapa ? ada hikayatnya, pada suatu waktu, ada seorang putri terkurung di bulan. Namanya Chang Erl. Kekasihnya, Hou Yi, si pemanah ulung yang berhasil memadamkan sembilan matahari dengan anak-anak panahnya. Mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun, bertemu pada saat bulan paling sempurna untuk rindu yang tidak pernah purna, tidak pernah punah. Orang-orang Cina menyebut saat itu sebagai zhong qiu ye wan. Konon, pada saat itu Chang Erl akan menjatuhkan kembang bulan untuk sepasang sejoli. Begitulah ceritanya. Tak lebih berbicara tentang kekuatan cinta, Power of love. 

Mungkin kasih,  yang agaknya diabaikan oleh mu ialah bahwa cinta itu akan selalu mengimbau seperti surya di pangkal akanan. Kita akan selalu mendapatkan hangat dan cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar ke sana. Tapi mungkinkah mencapai kaki langit itu, menjangkau terang itu, dengan doa, dengan niat saja, ? Hidup jadi berarti bukan karena dicintai. Hidup jadi berarti karena mencintai dan berkorban untuk itu. Kasih, apakah kamu sadar bahwa mencintai itu butuh keberanian mengambil resiko. Cinta harus diperjuangkan dengan kerendahan hati bahwa kita tidak berdaya atas takdir. Mengingkari ini sama saja menapik kehendak Tuhan. Tahukah kamu bahwa perjalanan hidupku tak sepi dari kesulitan yang mendera dan  aku selalu bisa berdamai dengan kesulitan itu. Namun hal yang tersulit bagiku adalah melupakanmu. Aku sadar mungkin inilah hidupku. Aku berharap lebih dan kelebihan itu sesuatu yang mewah bagiku

Kasih tahukah kamu sebuah untaian indah bait lagu  Yue Liang Dai Biao Wo De Xin  ( Sang bulan perwujudan hatiku ). Baitnya sangat dalam maknanya. Untaian perasaan terdalam tentang harapan, kebersamaan berbagi rasa sepanjang usia. Berbagi rasa untuk selamanya. Betapa tidak ? Ni wen wo ai ni you duo shen ( kau bertanya padaku betapa dalam cintaku padamu? )  Wo ai ni you ji fen, ( betapa aku benar benar mencitaimu). Namun bagaimana bila tanya itu tidak pernah sampai keperaduan? Kamu membuat kita berjarak. Kamu bagaikan bulan diatas sana dan aku dibumi ini. Jarak yang terlalu jauh , kasih kecuali hanya sekedar memandang dengan sejuta imaginasi tentang cinta. Akhirnya sampai pada saatnya kita tak lagi bisa lagi bersedekat. Aku sadar kamu sengaja menciptakan dinding tebal yang membuat kita harus terpisah. Tentu tak elok bagi ku hidup dalam imaginasi. Memang aku butuh kekuatan itu , untuk sekedar meyakinkan bahwa aku bisa menjadi pemanah hebat. Namun aku bukan pemanah. Aku hanya pengembara hidup. Aku pergi dengan perasaan hatiku dan kamu entahlah. 

Kucoba untuk melupakan semua kenangan terindah walau tidak mudah. Kini ingin aku bertanya kabar tentang mu tapi pintu tertutup sudah. Padahal tak mengapalah  bila aku bertanya tentangmu. Sekedar memastikan kamu sahabatku baik baik saja. Tapi itupun tak kudapat. Mungkin aku sanggup mengarungi samudra, melintasi lima benua, membenamkan diri dalam dunia yang keras tak bersahabat ini, berada ditengah tengah orang yang rakus membeli apa saja termasuk membeli kembang plastik. Namun aku tidak sanggup untuk memaksamu seperti yang kumau. Kecuali menerima dan berdamai dengan kenyataan bahwa mungkin kau tidak dilahirkan untuk ku. Entahlah ! Waktu berlalu, tentu kamu tak lagi mengingatku. Dan itu pasti. Aku sadar sesadarnya. Tapi aku tetap mengingatmu, selalu.

Entah kenapa di musim dingin ketika kaki menjejak cafĂ© lounge executive Paninsula Beijing, terdengar lagu  Yue Liang Dai Biao Wo De Xin begitu merasuk kedalam hatiku, wajahmu membayang. Ya, Dalam usia yang semakin menua, sampai kini aku hanya mampu mengingat , untuk ku tetap bisa tersenyum dengan perjalanan hidupku. Salahkah itu ? Oh cinta bukanlah dosa. Cinta adalah anugerah terindah dari Allah... Inilah takdirku. Walau  jiao wo si nian dao ru jin. Mengapa ? akupun tidak tahu..Kehidupan didunia ini serba fana dan tak ada satupun orang berhak memilikinya kecuali Tuhan. Karena Tuhan,  pesan cinta datang kepadaku dan karena Tuhan pula aku berdamai dengan kenyataan bahwa cinta tidak harus bersedekap. Semua berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Tahukah kamu,kasih...

Monday, December 07, 2015

Selamat tinggal...

Senja itu menyimpan makna tentang kegundahan yang tak pernah terjawabkan. Keindahan cahaya tamaram lampu disenja Laut Cordoba. Ingin rasanya berlari mengejar setiap noktah cahaya senja yang terus merangkak keufuk peraduannya. Tapi hati ini begitu tak berdaya diatas kehampaan makna hasrat yang tersembunyi. Bagai lenguhan nafas manusia yang lelah berburu tanpa tujuan. Kemanakah langkah harus diarahkan.? Sementara rasa rindu yang tak bertepi selalu hinggap didalam kalbu. Benarkah aku jatuh cinta padanya ? Apakah ini hanya photomorgana ditengah gurun sepi, yang membuatku berlari menggapainya karena dahaga akan cinta dari seorang pria. Ataukah kehadiranya hanya sebatas intermezo disela sela panantian jodohku.

“ Sedang apakah kamu kini ?”.Mungkin itu katanya bila ingat akan aku. Seperti biasa , dia akan selalu tersenyum bila meririndukanku. Kemudian hayalannya terbang kedunia yang antah berantah. Hayalan akan kesempurnaan dari seorang wanita sahabat sejiwanya.Hari berlalu ,minggu terlewati dan bulanpiun berganti, sosoknya menghias hidupku. Mengisi hari hariku dengan penuh warna keindahan. Tapi aku tak bisa mengakui itu semua. Aku biarkan rindu berlalu namun aku tak bisa menghentikan satu kata  "... aku rindu ... “

"Mungkin kamu terlalu baik bagi ku “ Katanya. Itu menyayat hatiku dibalik lirih suara ketakberdayaannya. Ingin segera kudekap kesenduaanya tapi ada hijab yang membuatku harus percaya bahwa dia tidak pantas untuk didekati, apalagi dimiliki.

Tak pernah kumengerti bagaimana ada awal namun sulit sekali dakhiri. Berawal dari kuridor Hilton Hotel , Shanghai, Pudong , dari ayunan langkah seorang pria yang nampak percaya diri dan anggukan berhias senyuman, datang menghampiriku. Kali petama mengenalnya, dia mempesonaku. Seakan begitu mudah menjadi kenyataan. 

“ Ni Hau “ kalimat yang keluar dari bibirnya menyapaku. Kemudian dan selanjutnya selalu menjadi indah. Kebesamaan denganya membuat aku mengenal dunia yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dia membuat ku selalu tersanjung. Dia mendengar keluhanku dan berbuat untuk menjagaku. Dia mengerti segala sikapku. Dia sabar dibalik keperkasaannya untuk merengkuhku. Dia punya segala galanya untuk menaklukanku namun itu tidak pernah dilakukannya. Dia begitu sederhana bersikap dan selalu menjadikanku istimewa.

“ Aku pria beristri. Aku menyukaimu karena kesederhanaanmu. Tak banyak ku berharap kecuali mendapatkan rasa aman dan nyaman dari hubungan kita “ 

Sekali lagi aku terjerambab tak berdaya. Dia bagai elang kehilangan sayap. Ingin mencapai langit namun kakinya terantai. Sementara asanya selalu ada untuk ku. Tapi mengapa aku tak bisa mengakiri ini semua. Mengapa aku membiarkan kelelahannya dalam penantian. Kugapai bayangan dari setiap makna yang tersirat namun aku tak pernah mampu menggapainya menjadi kenyataan.

Ketika pagi bersinar cerah. Aku berlari kearahnya sambil merentangkan tanganku dan dia menyambut dengan hangat. Selalu begitu. Membuat diriku begitu berartinya. Terasa mentari hanya untuk menerangi keindahan dan kecantikanku. Dibalik lesung pipiku , wajahku merona kemerahan “ Senang sekali , kamu datang untuk menemuiku. Duh rasa rindu terobati jua. Berbulan dalam penatian , larutlah sudah. “ Kataku

lagi lagi dia kehilangan kekuatan untuk menyusun kata. ‘ aku juga rindu kamu...” hanya kalimat lemah ini yang mampu terangkai. Kubiarkan dia bercoleteh tentang bisnisnya dan obsesinya. Kucoba menatap keceriaanya dalam senyuman. Ingin kugali dibalik keperkasaannya untuk kutentukan langkahku.

“ Ada yang tak mungkin bertaut diantara kita. “ akhirnya aku mengatakan jua.

“ Ada apa , ....”

“ Agama kita berbeda “ kuberanikan diri untuk sampai kedermaga kegalauanku. Ada mendung dibalik wajah pria itu. Nampak wajah lelah dan kalah. Aku tahu itu sebagai tanda aku harus pergi dari dia.Pergi untuk tidak akan kembali lagi…

“ Mengapa baru kini kamu sampaikan. Mengapa awalnya kamu tidak pedulikan ini. Mengapa ini begitu penting bagimu. Mengapa kamu biarkan hati ini tenggalam dalam laut dalam. “ Wajahnya menyimpan luka. Menyentuh perasaan wanitaku. Ingin melupakan apa yang sudah kukatakan. Ingin kuhibur dia dengan menerima sikapnya. 

“ Tak mungkin bagiku menerima pria  yang berbeda paham agama. “ Aku tetap bersikap dan dia menderita karena itu.

Mengapa tidak mungkin. Bukankah kita memiliki cinta untuk menerima perbedaan itu. Cinta kita akan mampu meredam setiap perbedaan diantara kita Bukankah kamu mencitaiku. Bukankah kamu telah berjanji setia untukku. Bukankah kamu inginkan aku menjadi belahan jiwamu, bukankah....” ah dia buat aku tersungkur dalam lubang hitam. Dia buat aku kehilangan ego sebagai wanita bila aku tak mampu menjemput katanya.

Kembali aku tersungkur. Cinta begitu indah dalam maknanya. Sementara aku sendiri kehilangan makna kecuali iman yang tak mungkin tergadaikan hanya karena seorang pria. Hanya karena cinta manusia. Cinta yang berbatas rasa dan karsa. Cinta yang tanpa keabadian bila tanpa rihdo Tuhan.

“ Bila ini yang kamu mau maka kusadari bahwa kamu tak pernah mencitaiku...Mungkin sudah nasipku bila pada akhirnya semua wanita terdekatku selalu punya alasan untuk meninggalkanku ” 

Diapun berlalu , menerima kalah dan pasrah. Ingin kukejar dan memeluknya untuk dia mengerti sikapku.. Namun tak sanggup kaki ini bergerak. Aku menangis ditempat sepi dan seakan selama ini kebersamaan dalam keceriaan hanyalah menumpang tawa ditempat ramai.

***
Malam di Cordoba itu menyimpan makna. Dibalik cahaya bulan , dipelataran Resto Seaside Cordoba. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum. Wajah yang tak asing bagiku. Wajah yang menanamkan memori terindah dalam hidupku.

“ You look to young and beautiful. How are you?“ Masih seperti dulu keindahan tutur katanya. Tapi wajahnya telah nampak menua. Matanya masih mata elang.Keras sebagai petarung dalam sepi.

“ Ya, I am fine. “ hanya itu yang dapat kukatakan dalam keterpesonaan.

“ Aku masih mengingat segala hal tentangmu. Aku menyadari bahwa aku bukanlah yang terbaik untukmu walau aku berusaha memberikan cinta terbaik.  Pada akhirnya kita harus berdamai dengan kenyataan bahwa cinta tidak harus memiliki.Kita bertemu karena Tuhan dan tentu berpisahpun karena Tuhan.”  Indah sekali hikmah dibalik tutur katanya. Itulah kata yang bersumber dari hati. Selalu indah didengar. Tidak sama dengan kata yang keluar dari nafsu dan akal sempit.

“ Aku juga masih terus mengingatmu setelah kita berpisah “ kataku dalam kebodohan karena lebih bermakna naif akan kekerdilan diri. “ Mana mungkin aku kan lupakan kenangan indah itu. Karena kenangan itulah yang membuatku belajar menarik hikmah. Bahwa tidak ada hubungan yang sempurna kecuali cinta sempurna.  Aku masih mencari dan mencari tempat berlabuh.Entah sampai kapan“ Berakhirlah sudah kegalauan. Maka diapun tersenyum. Kami akan tarus saling merindukan sebagai sahabat.  Saling mendoakan tentunya.

“ Mungkin besok aku akan menemukan pria yang pantas untukku dan kenangan tentang mu akan sirna bersama rasa bersalahku,yang tak pernah kusesali.Karena pertemuan dengan mu begitu indah dan berkah tak tebilang yang  harus ku syukuri.  Dan aku yakin kamu akan baik baik saja dan tidak menyesali pertemuan kita. “ Gundah berakhir , maka yang timbul adalah keikhlasan. Cintaku telah tergantikan oleh cinta Allah melalui pria yang dikirim untukku, kelak…

Diapun berlalu ditengah kerlap kerlip lampu malam. Tinggalah aku dalam kesendirian. Senja itu akan selalu abadi dalam memoriku. Cinta tidak selalu harus bersatu. Kepada Tuhan lah semua cinta itu berakhir. Bersua karena Tuhan  dan berakhir karena Tuhan

Sunday, December 06, 2015

Tesis dan antitesis

Ada sebuah cerita orang Yahudi tentang dua rabbi piawai yang berdebat. Yang diperdebatkan adalah dua buah naskah yang ditulis oleh Musa bin Maimon (yang dalam kepustakaan Barat disebut Maimonides), ahli filsafat yang hidup delapan abad yang lampau. Kedua rabbi itu, masing-masing pakar utama telaah karya-karya Maimonides, mempersoalkan tidak cocoknya sebuah teks dengan teks yang lainnya. Perdebatan berlangsung dengan argumen-argumen yang mengagumkan. Kedua pihak sama-sama kuat. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun disusul tahun yang lain, terus saja perdebatan itu tak berhenti. Ketika kedua rabbi itu akhirnya meninggal, di akhirat pun mereka terus saja saling mengajukan argumen yang cemerlang. Tuhan pun mengikuti diskusi itu, dan akhirnya Ia memanggil Maimonides sendiri untuk menjawab: apa sebab ada ketidakcocokan antara tulisannya di naskah A dengan tulisannya di naskah B. Maimonides pun mendekat, membaca baik naskah A maupun naskah B, dan dia tertawa. ’’Yang di naskah B itu ada salah cetak!”. Perdebatan selesai? Ternyata tidak. Kedua rabbi itu menganggap penjelasan Maimonides tidak menarik dan kurang cemerlang. Dan mereka pun terus saling mengajukan tesis dan antitesisnya….

Tesis dan antitesis yang tak putus-putusnya adalah cerita tentang teks dan tafsir, yang bukan saja berlaku untuk karya Maimonides, tapi apa saja. Apalagi dalam hal naskah atau kitab yang penggubahnya sudah tak bisa dihubungi lagi—atau memang tak bisa ditanya, seperti misalnya Kitab Suci. Begitu sebuah teks selesai dan sampai ke tangan pembaca, ’’Sang pengarang sudah mati,” kata Roland Barthes yang terkenal. Sang pengarang (l’auteur atau author), yang umumnya dianggap sebagai pemegang kunci kebenaran dan pemegang otoritas terakhir, harus dianggap sudah lepas kuasa. Sebab akhirnya setiap pembacalah yang membentuk tafsirnya sendiri. Mungkin sebab itu bahkan penafsiran Qur’an tidak mungkin ’’ditutup”. Mohammed Arkoun termasuk yang dengan konsisten mengemukakan itu, sebagaimana diterangkan oleh Robert D. Lee dalam bukunya yang baru saja terbit terjemahannya, Mencari Islam Autentik. Persoalannya, tentu, senantiasa ada dorongan ke arah penutupan proses tafsir: ada lembaga yang dibentuk untuk menentukan mana tafsir yang tepat mana yang harus dibabat, ada kodifikasi yang dilakukan untuk mencegah kekacauan, ada lapisan baru pemegang hegemoni tafsir, baik yang dideking oleh kekuasaan ataupun oleh tradisi.

Arkoun terutama mengecam kodifikasi yang diberlakukan dalam syariat, tapi di mana pun juga, kodifikasi adalah kontrol. Kodifikasi menghentikan perbedaan. Aturan yang semula terserak dan berkembang dalam habitat masing-masing, dikumpulkan, diklasifikasikan, lalu didaftar. Yang di luar itu harus dianggap barang buangan. Itu sebabnya kodifikasi hanya bisa berlangsung di bawah sebuah kekuasaan yang bisa menginterogasi, memutuskan, dan menghukum misalnya dengan fatwa ataupun dengan senjata. Tanpa sebuah lembaga yang berkuasa, kodifikasi hanya sebuah kerajinan para pakar yang memimpikan dirinya sebagai pengontrol. Yang menakjubkan ialah bahwa kekuasaan lembaga seperti itu—katakanlah sebuah majelis ulama—tidak pernah bertanya atau ditanyai dari mana kekuasan atau otoritasnya datang. Para ulama bisa mengeluarkan fatwa dan menyitir hukum tanpa menyadari bahwa fatwa, hukum, dan bahkan diri mereka sendiri terpaut dengan sebuah pengalaman. Tapi di mana ada hukum tanpa pengalaman, tanpa sejarah? Kita tahu, Arkoun menolak kecenderungan untuk menaikkan hadis, yakni ujar dan perilaku Nabi Muhammad dalam hidup kenabiannya, ke posisi wahyu Tuhan. Dengan itu ia sebenarnya hendak menekankan bahwa hanya Tuhan yang tidak tersentuh sejarah. Bahkan ia agaknya sepaham dengan yang disimpulkan oleh para pemikir di abad ke-8, bahwa Qur’an juga sebuah ’’makhluk”. Ia dibentuk dari unsur-unsur manusiawi (terutama kata-kata yang tumbuh dan berkembang di Jazirah Arab di abad ke-5) dan sebab itu tidak sepenuhnya berada di atas pengalaman.

Hal yang sama berlaku untuk kitab suci yang lain. Dalam agama Kristen, sabda Yesus bertaut dalam cerita tentang perjalanan hidupnya, yang diceritakan oleh orang yang berbeda-beda. Dalam agama Yahudi, Taurat—buku hukum itu—tidak dimulai dengan daftar aturan. Ia didahului oleh cerita tentang kejadian-kejadian besar yang dialami para patriakh. Semuanya mengisyaratkan, sebagaimana dikatakan oleh seorang penasfir Injil: ’’Pengalaman harus mendahului hukum, demikian pula cerita harus mendahului kodifikasi.” Hukum akan seperti penggilas besi seandainya di baliknya kita tidak boleh menyidik asal-usulnya di suatu masa, di suatu tempat. Dia tidak akan hidup. Syariat, yang sebenarnya adalah jalan, akan seperti lorong penjara kalau jalan itu tidak merupakan cerita dari mana ia datang. Tapi kita tahu bahwa pengalaman hanya bisa ditilik kembali, direkonstruksikan menjadi buku sejarah, bila ada kemerdekaan—juga kemerdekaan untuk menampik buku sejarah itu. Persoalannya, bersediakah kita untuk merdeka?@

Cerdas berlogika dan bersikap.

Mengapa kegiatan ekonomi itu terbelah.Ada yang formal dan ada yang informal. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang melimpah sumber day...