Tuesday, April 15, 2025

Sistem ekonomi China dan AS.

 






Apakah bisa jelaskan system ekonomi di China dan AS, tanya Ira dalam diskusi dengan dia di kantornya. Saat itu dia memang mengundang team riset geopolitk dan geostrategis. Dia ingin tahu sudut pandang saya sebagai praktisi. Saya lebih suka menyampaikan analog untuk menggambarkan bagaimana praktek ekonomi diterapkan. Itu lebih mudah dipahami. Karena memang saya tidak terpelajar. Tidak punya narasi akademis cukup.


Ada developer datang ke Pemda China, kata saya mengawali dengan analogi. Developer ini bisa saja swasta atau BUMN. Mereka punya idea mau bangun Kawasan perumahan dan perkantoran. Luasnya 100 hektar.  Skema bisnisnya sederhana. Karena Tanah di China dimiliki oleh negara, Pemda beri izin beserta dengan pemberian hak konsesi atas tanah. 


Dari sini terjadi deal. Pemda punya tanah dan investor punya modal.  Struktur saham ditentukan secara proporsional berdasarkan nilai investasi. Kemudian, pembangunan dilaksanakan. Setelah proyek jadi, Pemda mengeluarkan surat utang berdasarkan saham yang mereka punya pada proyek itu. Surat utang  atau bond disebut Local Government Vehicle fund atau LGVF. Bond ini dijual di pasar sekunder. 


Perhatikan unique nya struktur LGVF. Penerbitnya bukan PEMDA tapi vehicle company. Mengapa?. Karena Surat utang itu sama dengan SUKUK atau syariah. Bukan tanah yang jadi jaminan. Tapi saham yang melekat dalam konsesi bisnis yang diberikan pada proyek itu. Tidak berbunga. Kuponnya dari deviden yang diterima. Jadi sebenarnya LGVF itu dalam system Wallstreet disebut dengan revenue bond. 


Dalam perkembanganya, tentu bisnis proyek itu punya nilai di pasar. Ya namanya property, harga per meter mengikuti demand. Kalau demand tinggi, harga naik. Tentu dampaknya harga bond LGVF itu naik di market. Katakanlah awalnya harga perlembar 1 Yuan. Bisa saja naik 3 Yuan atau 3 kali lipat. Agar harga tidak bubble akibat kenaikan permintaan LGVF. Maklum rakyat China suka berinvestasi pada LCVF karena bebas pajak pendapatan. Pemda tambah pasokan LGVF ke pasar. 


Itu jadi  alat likuiditas bagi Pemda melakukan ekspansi. Uang hasil penjualan LGVF itu digunakan PEMDA untuk bangun infrastruktur dan kredit kepada UKM untuk pembiayaan pendirian  pabrik, kegiatan usaha dagang dan jasa. Artinya peningkatan value dari LGVF itu tidak di keep tapi di leverage untuk pertumbuhan ekonomi local. Apa yang terjadi ? Secara tidak langsung LGVF adalah alat bagi China memotivasi  orang kaya bergotong royong membiayai program pembangunan bagi semua.


Kalau ternyata nilai LGVF diatas 3 kali dari PDB. China tidak ambil pusing.  Itu bukan harga real. Tetapi harga persepsi market.  Kalau terjadi default karena ekonomi down. Pemerintah pusat tinggal bailout lewat buyback. LGVF dikuasai pemerintah. Orang kaya memang dirugikan tapi orang miskin sudah  tertolong dari terbangungnya proyek. Biasanya setelah  proses recovery, dan ekonom pulih, pemerintah akan lempar lagi LGVF itu ke market. Nah orang kaya dapat hak memesan lebih dulu LGVF itu. Mereka bisa tutupi kerugiannya, kata saya. Mereka menyimak. 


Nah bagaimana dengan AS ? Kalau di AS, Pemodal swasta membeli tanah dan membungkusnya dalam proyek feasibility studi yang dilengkapi izin dari pemerintah. Kemudian mereka menerbitkan surat utang atau melepas saham di bursa. Contoh, mereka akuisisi emiten di bursa yang sudah tidak aktif lagi. Kemudian mereka cemplungkan proyek itu kedalam Emiten itu untuk lakukan aksi korporasi atau right issue dengan menjual saham di bursa. Tentu dengan harga berlipat berdasarkan prospectus bisnis.


Uang dari penjualan saham itu dipakai untuk bangun proyek dan setelah proyek jadi, marcap terbentuk. Mereka terbitkan lagi surat utang untuk ekspansi, yang kelak akan meningkatkan nilai saham semakin berlipat. Nah value dari saham itu dinikmati oleh pemegang saham. Atau mereka yang disebut dengan pemodal. Semakin berlipat value saham itu pemegang saham semakin kaya. Nah akibat dari adanya excess liquidity, menimbulkan moral hazard. Orang banyak focus kepada money make money. Mereka punya prinsip lets money working for us. Bukan lets hard working for  money.


Makanya engga aneh. Berlalunya waktu sector real yang low tech tapi padat karya ditinggalkan pemodal. Ah daripada capek urus buruh dan pasar, mending main di pasar modal dan uang. Kita bisa menikmati hidup dengan financial freedom. Mau gimana lagi? Hidup hanya sekali. Nikmati selagi bisa. Itu mindset kapitalisme. Kita semua paham moral hazard dari kapitalisme.


Terdengar lucu kalau Trump kesal, kita kaya tetapi semua barang di dalam negeri dibuat di China dan Jepang. Ya wajar. Orang kaya mana mungkin mua leverage value asset itu seperti pemda di China untuk bantu UKM dan pengembangan ekonomi rakyat berbasis produksi. Mereka mending tempatkan uangnya di bank dan bank belikan SBN. demikian kata saya.


Mereka saling pandang. Kalau AS kan jelas referensi ekonomi nya adalah monetarist sebagaimana teori Milton Friedman yang mengkoreksi Keynessian. Jelas menimbulkan bubble asset dan ketidak seimbangan antara fiscal dan moneter. Pertumbuhan utang lebih besar daripada penerimaan pajak. Kalau China apa referensinya ? tanya Ira.


Di China ada Nabi yang jadi panutan mereka, yaitu Kong Fu Tze, yang juga dikenal sebagai Konghucu atau Konfusius. Prinsipnya sama dengan ajaran agama samawi. Percaya kepada  Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa ajaran agama melarang hutang publik berbunga kecuali private to private atas dasar akad suka sama suka. Melarang memperdagankan apapun tanpa phisik. 


Perhatikan. LGVF itu backup nya adalah proyek. Bisa dllihat oleh siapapun proyek tersebut. Tidak berbunga tapi bagi hasil. Kalaupun diperdagangkan di pasar, harga jualnya mengikuti harga real dari proyek itu yang berlaku di pasar. Kan beda dengan konsep saham di bursa. Nilai saham tidak ada korelasinya dengan tingkat price earning ratio atau PER. Itu dalam agama disebut riba atau dosa. Memperdagangkan yang tidak ada korelasinya dengan nilai phisik. Orang China paham, sesuatu yang berlebihan menimbulkan karma buruk, demikian saya menjelaskan.


Tapi China kan juga ada pasar modal. Bagaimana Pasar modal beroperasi? Apakah sama bebasnya dengan Wallstreet. ? tanya Ira. Saya jelaskan, di China,  sebagaimana masyarakat modern tentu ada system pasar modal. Bahkan pasar modal berkembang pesat. Termasuk pasar modal terbesar di dunia. Namun Marcap jauh lebih kecil dari AS. Contoh Shanghai Stock Exchange (SSE),Shenzhen Stock Exchange (SZSE ) dan Hong Kong Stock Exchange, total marcap nya hanya sebesar USD 14 trilion ( data tahun 2023). Sementara AS, Marcap Wallstreet dan Nasdaq mencapai USD 49 trilion. Artinya tiga kali lebih dari China.


Mengapa ? karena aturan dari pemerintah China yang sangat ketat. Menghindari terjadinya bubble asset. Contoh, gagalnya Ant Group IPO di Bursa Shanghai. Padahal nama besar Jack Ma dan Alibaba mendunia. Itu karena dibalik Ant Group ada investor asing sebagai standby buyer. China membatasi investor asing di pasar modal. Akibatnya investor istitusi yang terhubung dengan pengelola Hedge fund asing engga bisa masuk.


Otomatis penguasaan saham oleh  investor institusi di bursa sangat terbatas. Tidak lebih 1%. Sisanya atau 99% dikuasai oleh investor retail. Sebagian motive mereka berinvestasi di bursa karena alasan berjudi dan sebagian lagi karena investasi. Maklum, orang China itu suka berjudi. Makanya   pemerintah awasi ketat praktek short selling dan instrument derivative yang sifatnya cenderung spekulatif. Kawatir skala judi jadi massive dan membesar.


Kalau anda main di bursa Shanghai atau Shenzhen. Jangan kaget bila pada umumnya investor retail engga mempan dengan rumor. Mereka rasional sekali. Pasar jatuh atau naik disikapi biasa saja. Engga ada tuh anggota DPR datang ke Bursa kalau terjadi crash. Engga dipolitisir. Pasar ya pasar.


Disamping itu, pengusaha China memang tidak begitu tertarik mengandalkan pembiayaan dari pasar modal. Umumnya mereka menggunakan saluran perbankan dan Lembaga keuangan seperti venture capital. Mungkin anda tidak percaya. 90% surat utang di China itu berbasis SUKUK, seperti  LGVF  dan sangat diminati investor retail. Tentu basisnya produksi real. Bukan ilusi yang bersifat bubble.


Di dalam negeri china tidak ada pasar Valas. Karena uang tidak dianggap komoditas. Kurs Yuan ditentukan negara. Namun China juga menyediakan pasar RMB lewat offshore tapi sifatnya terbatas. Sehingga China bisa intervensi transaksi dengan mudah kalau ada pihak trader mau permainkan kurs RMB. Artinya, China itu walau terlibat dalam system keuangan global secara modern namun mereka tidak pernah beranjak dari budaya dan agama.


Rasio GINI di AS sangat timpang. Di China juga sama, kata Ira. Saya jelaskan. Tetapi 1% yang menguasai  sumber daya adalah negara (BUMN). Beda dengan di AS, 1% itu adalah private. Artinya peradaban itu terbangun lewat kepemimpinan negara yang kuat dan law enforcement. Tidak bisa diserahkan semua kepada private. Distribusi pendapatan dan keadilan sosial itu hanya mungkin terjadi lewat produksi, tentu produksi berbasis sains. Anggaran R&D China terbesar ke dua di dunia.


Nah kalau AS dan negara lain yang mengikuti mahzab Milton Friedman tidak pernah sepi dari resesi, terjebak hutang, ya wajar. Karena mereka memakan buah terlarang. Itu sama saja berperang dengan Tuhan. Mana mungkin menang, kata saya. Mereka terhenyak.



Saturday, April 12, 2025

Berbisnis di Indonesia itu tidak mudah.

 




Berbisnis di Indonesia itu engga mudah. Anda bangun pabrik. Tentu anda butuh supply chain dari luar negeri guna mendukung proses produksi. Harus ada izin impor. Tanpa izin engga bisa. Izin pun engga bisa cepat prosesnya. Apalagi kalau produk yang terkait dengan pangan. Harus ada sertifikat higienis dari pemerintah. Engga peduli pabrik anda itu afiliasi dari luar negeri dan anda bagian dari rantai produksi global. Urus izin juga enggga cepat dan lama. Cepek engga? Padahal anda berhadapan dengan delivery time yang berkompetisi dengan buyer dari negara lain. 


Kalau bisnis anda bersinggungan industry pengolahan makanan. Anda harus tahan sabar. Karena dari kedelai, jagung, bawang putih, daging, gula, garam, susu dan lain lain  itu di quota. Terus bagiamana dengan industrin lain? Ok lah. Anda punya pabrik downstream baja dan perlu bahan baku impor. Itupun di quota. Pabrik alat  pembersih, dan lain lain yang masuk katagori kimia industry. Bahan baku tidak ada di Indonesia. Harus impor. Siap siap aja pusing dengan adanya quota impor. Bahkan sparepart elektronik juga di quota. Mate engga!


Disamping itu, anda harus dipusingkan dengan aturan sertifikasi, registrasi produk, dan inspeksi. Padahal sertifikasi dan registrasi produk itu tidak ada kaitannya dengan pasar luar negeri.  Logika kalau pabrik anda sudah bisa tembus pasar ekspor, itu artinya produk anda sudah qualified. Ngapain lagi sertifkasi dalam negeri. Emangnya pemerintah bantu carikan pasar ekspor? Kan engga. Bahkan trade fair  misi dagang pemerintah ke luar negeri, pengusaha dimintai uang.


Anda produki barang branded dari luar negeri. Tentu pasar ekspor sudah tersedia. Walau anda melibatkan ribuan buruh. Pemerintah engga peduli itu. Anda harus pastikan memenuhi local konten (TKPDN). Nah gimana kalau supply chain dalam negeri tidak tersedia? Anda harus mikir sendiri. Bila perlu bangun pabrik supply Chain, dan biasanya pejabat sodorkan mitra local yang akan bermitra dengan anda. Tapi duit dari anda sendiri. Belum lagi sumbangan kepada ormas. Mules engga !


Umumnya pabrik ekspor oriented yang teraflliasi dengan luar negeri dibangun dengan skema counter trade off set. Duit dari principal semua. Pabrik hanya produksi aja. Tentu devisa masuk ke pihak principal di luar negeri.  Namun pemerintah buat aturan DHE. Devisa hasil ekspor harus ditempatkan dalam negeri. Padahal Negara ini menganut rezim devisa bebas. Uang bebas masuk dan keluar.  Dan lagi pabrik sudah kena PPN dan PPH. Menampung ribuan buruh. Masih aja diwajibkan memenuhi aturan DHE. Merubah UU Devisa Bebas No. 24/1999 juga engga. Aneh UU  kalah sama Perpres.


Bagi pengusaha local yang tidak ada afiliasi dengan buyer di luar ngeri, tambah runyam lagi. Kredit modal kerja untuk impor bahan baku dibatasi. Alasan pemerintah menghemat devisa. Kampungan caranya. Noh, Vietnam tidak ada batasan kredit impor. Apalagi China. Malaysia juga tidak ada batasan. Ya gimana mau bersaing dengan pihak luar negeri. Sementara kredit bangun mall dipermudah. Padahal sebagian bahan bangun impor, bahkan kotrator boleh impor baja. Mall itu kan non-tradable.


Belum lagi diskriminasi alat transfortasi. Anda sebagai kontraktor mineral tambag. Perlu truk untuk mobilitas dan angkutan. Kalau anda impor dari negara tertentu, walau harganya murah, tetap engga boleh. Kalaupun boleh, anda engga dapat nomor plat kendaraan. Jadi kendaraan engga bisa lewat jalan raya. Capek engga. “ Kita seperti pecundang di hadapan pemerintah. Beda dengan di China dan Vietnam. Kita sangat dihormati dan dibina” kata teman. 


Apa yang saya uraikan diatas hanya sebagian. Belum termasuk dowling time di pelabuhan yang lelet dan costly.  Memang ada industry dibangun dan tumbuh significant. Tetapi itu sebagian besar industry ekstraksi yang penuh rente seperti smelter timah, nikel dan bauksit. Ada juga industry yang berharap captive market dari pasar domestik seperti EV. Dari awal memang dirty business dan bisa tebar dirty money kepada pejabat dan aparat. 


Jadi paham ya. Mengapa buat pabrik terutama pada karya di Indonesia itu sejak 10 tahun lalu benar benar konyol. Bagi yang sudah terlanjur bangun, berusaha relokasi. Bagi yang baru akan bangun, wait and see aja.  Mengapa ? walau ada tekad pemerintah akan terbitkan paket deregulasi tata niaga impor dan ekspor dalam rangka mematuhi kebijakan tarif resiprokal AS. Saya engga yakin. Karena non tarif barrier ini membuat birokrat dan elite kaya raya. Apa mungkin pundi uang mereka ditutup. I don’t think so kecuali ada kesadaran cinta dan kasih sayang kepada negeri ini.

Friday, April 04, 2025

Kenaikan tarif Trumps ?

 






Trump ingin mengurangi defisit Anggaran. Caranya? Dia tidak naikkan pajak penghasilan. Tetapi menaikkan pajak tidak langsung atau pajak impor dan pada waktu bersamaan Trump memangkas anggaran belanja dengan menugaskan Elon Musk melaksanakannya lewat DOGE. Dengan begitu, AS bisa keluar dari defisit APBN. Begitu kebijakan ekonomi Trump dengan agenda Make American Great Again.


Tapi kalau lihat implikasinya sangat luas terutama terhadap inflasi. Sulit dipahami kalau kebijakan tarif resiprokal itu adalah kebijakan ekonomi.  Maklum tarif itu pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen AS. Belum lagi dampak dari adanya tarif balasan dari mitra dagang AS. Yang bisa menyulitkan dunia AS yang beroperasi di luar negeri dan yang bergantung kepada supply chain kepada negara lain. Kan tidak semua AS mampu sediakan. Dunia sudah terintegrasi dalam globalisasi. Kebijakan tarif Trump itu paradox terhadap system WTO dan globalisasi. 


Menurut hitungan AS bahwa Indonesia yang mengenakan tarif 64% kepada barang impor AS. Maka dikenai tarif balasan setengahnya atau 32%. Yang jadi pertanyakan adalah bagaimana hitungannya sampai ketemu angka 64%? Padahal rata rata tarif impor barang dari AS hanya berkisar 4-5%. Katanya berdasarkan rumus : defisit perdagangan AS terhadap Indonesia dibagi dengan total ekspor Indonesia ke AS. Sepertinya cocok logi. Terkesan menyederhanakan.


Karena data rincian hitungan tarif kepada negara lain lebih jelas seperti China, tarif timbal balik 34%, di samping  tarif eksisting 20%, sehingga totalnya  menjadi 54%. Vietnam, Tarif Tambahan (Timbal Balik): 46%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 46% = 56%. Uni Eropa. Tarif Tambahan (Timbal Balik): 20%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 20% = 30%.  Inggris, Australia, Brasil. Tarif Tambahan: 10%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 10% = 20%.


Kalau memperhatikan tarif pada China, Vietnam, dan Indonesia ada tambahan perhitungan yaitu terkait dengan non tariff barrier termasuk manipulasi mata uang ( manipulate currency ).  AS memang mendorong terbentuknya WTO. Namun dalam prakteknya. Banyak negara hanya melaksanakan dari sisi formal WTO itu. Sementara hambatan non tarif terus aja terjadi. Udah lama AS ingatkan negara lain untuk konsisten menjaga kesepakatan  WTO. Namun negara lain selalu berdalih dengan data formal. Dan AS punya bukti data intelligent pelanggaran tarif itu.


Indonesia impor jagung dan Kedelai dari AS. Tarip impor murah. Hanya 0%. Tapi AS tahu, procedure impor itu dengan system quota. Artinya pemerintah Indonesia memberikan konsesi monopoli kepada importir. Secara tak lengsung punya bargain position dalam negosiasi harga.  Petani AS tentu dirugikan. Kalau dihitung dengan tarif barrier, itu lebih 50% AS dirugikan. Dan yang miris, negara Indonesia juga engga untung. Yang untung pengusaha rente.


Sama hal nya juga, kita impor shale gas dari AS. Lagi lagi procedure impor walau monopolisi Pertamina namun dibalik itu terjadi kartel. Walau Indonesia kenakan tarif 5% untuk impor namun karena adanya kartel, harga tidak bisa bargain. Eksportir AS dirugikan. Secara tidak langsung tarif jadinya bisa lebih tinggi diatas 30%. Lagi lagi yang untung bukan pemerintah, tetapi pengusaha atau oligarki doang.


Kita terus berupaya membuat lemah kurs IDR dengan RER dibawah 100. Tujuannya agar eksportir bergairah. Bagi AS itu dianggap pelanggaran WTO  dan korup dalam mengelola kurs atau terkesan manipulasi. AS merasa dirugikan adanya moneter barrier itu dan itu berdampak sulitnya industry dalam negeri AS bersaing dengan produk impor.


China memang melakukan moneter barrier tetapi itu untuk kepentingan industry padat karya. Tapi kita? yang nikmati moneter barrier adalah  eksportir tambang yang nilai tradable nya rendah. Sementara Industri padat karya,  tidak tumbuh malah terjadi deindustriaisasi. BI juga tidak diuntungkan. Terbukti DHE masih banyak nangkring di luar negeri. Dan akhirnya kurs IDR loss control pelemahanya. Yang korban ya industry padat karya.


ASTRA memang produk indonesia. Namun AS tahu, pabrik itu hidup dari proteksi pemerintah sejak berdirinya.  Nah saat Astra ekspor kendaraan ke AS, tentu harga nya bisa bersaing dengan produk buatan AS. Karena produsen mobil AS tidak dapat proteksi dari pemerintah. Nah sekarang kena tarif 32 % ayolah bisa engga bersaing ASTRA. Pasti keok, entar lagi kena PHK tuh buruhnya. Dan lagi selama ini yang kaya raya pemegang saham ASTRA. Negara hanya  dapat secuil.


Dampak kepada perekonomian nasional

Apakah misi team negosiasi Indonesia ke AS akan sukses menurunkan tarif resiprokal. Menurut saya, masalah tarif itu bukan big deal. Kalaupun sukses menurunkan tarif, tidak akan mengurangi PHK terjadi. Karena itu memang sudah terjadi sebelum ada tarif resiprokal. Kalaupun gagal misi tersebut, keadaan tetap saja sama. Ekonomi lesu yang memang sudah terjadi sejak tahun lalu


Jadi apa sebenarnya yang  dikawatirkan oleh Indonesia?  Yang kita kawatirkan adalah kebijakan suku bunga the Fed. Kalau karena tarif resiprokal ini mengakibatkan inflasi di AS, terpaksa Fed naikan suku bunga. Kita pasti resesi. Karena capital outflow akan terjadi di Indonesia. Orang kaya akan pindahkan uangnya ke USD. Rupiah akan jatuh. Krismon terjadi.  Tapi kalau BI tahan kejatuhan kurs Rupiah dengan menaikan suku bunga, gimana? Otomatis suku bunga bank juga naik. NPL akan meningkat. Likuiditas mongering. PHK meluas. Krisis juga yang terjadi akhirnya. 


Nah kalau the fed akhirnya mengalah kepada Trump dengan menurunkan suku bunga. Otomatis terjadi kelebihan likuiditas USD di pasar global. Uang akan mengalir ke emerging market termasuk Indonesia. Rupiah akan menguat. Suku bunga akan turun. Seperti paska kejatuhan wallstreet tahun 2008.  Dunia usaha bangkit. Dunia happy.  Tapi itu tidak pasti.


Terus siapa yang diuntungkan dari situasi ini? Pengelola hedge fund. Kenapa ? Kalau suku bunga the fed naik, mereka cuan dari jatuhnya harga obligasi. Kalau suku bunga turun, mereka cuan dari jual funds kepada negara berkembang. Dapatkan margin tinggi dari excess liquidity. Kan engga ada negara yang engga butuh USD untuk jalankan roda ekonominya. Dan itu semua sudah diantisipasi oleh pengelola hedge fund.


Itu sudah dibuktikan saat krisis lehman. Pengelola hedge fund ada yang cuan 2 kali lipat dari dana kelolanya. Ada juga yang jatuh tetapi cepat recovery. Ketika  COVID, pengelola hedge fund untung 40 kali. Dan  kalau nanti resesi global terjadi akibat tarif trump, bisa jadi mereka cuan diatas 100 kali. Artinya negara yang punya utang luar negeri tinggi akan masuk kubangan jebakan yang mematikan. 


Surrender or die. Geopolitik global berubah.  Game changer. Itu tujuan Trump.  Dia kerja untuk penyandang dana pemilu dia. 3 orang sponsor dia kan semua pengelola hedge fund. Di negara manapun yang menerapkan demokrasi, Presiden kerja untuk penyandang dana kampanye nya. Mana ada mikir untuk rakyat. Kita aja baper engga jelas.


Solusi.

Bagaimana sikap Indonesia seharusnya terhadap AS. Tanya teman. Menurut saya, pertama kita tetap perbaiki tataniaga impor dan ekspor kita. Agar lebih fair dan transfarance. Udahan aja bisnis rente.  Karena non tarif barrier itu hanya nguntungi pengusaha rente. Engga ada manfaatnya bagi negara. Contoh kita quota gula , kedelay, jagung, dengan harapan bisa melindungi petani local dan bisa mandiri.  Nyatanya udah lebih 10 tahun bukannya mandiri malah terus tergantung impor. 


Kita tetapkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dengan harapan bisa mendorong penggunaan produk dalam negeri dan mendukung pertumbuhan industri lokal. Nyatanya selama 10 tahun malah terjadi deindustrialisasai. Malah  semakin membuat kita sulit menggandeng mitra atau vendor tekhnologi high tech yang diperlukan untuk kemajuan. Sebaiknya lepaskan aja TKDN itu.


Kedua, setelah kita perbaiki non tarif barrier, engga perlu negosiasi dengan AS. Karena memang tarif kita udah rendah banget terhadap barang AS, Kebetulan apa yang kita impor dari AS itu memang barang yang kita perlukan dan kita belum bisa buatnya lebih baik.   Biarkan aja AS dengan tariff nya. Toh itu akan membebani dalam negeri AS sendiri.


Ketiga, kalaupun Indonesia masuk negosiasi dengan AS. Itu tidak akan mengubah sikap AS kepada Indonesia. Paling tarif diturunkan. Teman saya di Vietnam beritahu. AS inginkan Vietnam meninggalkan semua kerjasama dengan China. Keluar dari BRICS  dan batalkan SWAP currency settlement dengan China. Karena Vitnam keberatan usulan non tarif itu, maka usulan tarif 0% oleh Vietnam dibuang ke tong sampah oleh Trumps.


Apa iya Indonesia tega dan berani  tinggalkan China. Kita punya hutang besar dengan China untuk pembangkit listrik, pelabuhan dan Kereta cepat.  Investasi China di Indonesia juga besar, di nikel saja 90% adalah investasi China.  Kalau kita paksakan, itu akan membuka masalah baru dan  bisa jadi kena trap seperti presiden Ukraina yang disuruh perang dengan Rusia oleh AS. Setelah babak belur, AS minta  agar Ukraina menyerahkan semua mineral tambang kritis kepada AS.. Kalau engga, AS tidak mau lagi memberikan bantuan uang untuk perang. Itu bisa saja terjadi pada Indonesia yang terprovokasi perang dengan China di LCS.


Jadi kita selow aja. Hubungan dengan AS anggap seperti biasa saja. Begitu  juga dengan China. Biasa aja.  Tapi kalau pro AS apakah PHK akan terhindar? Engga. Tetap aja terjadi PHK. Karena masalah struktur cost industry kita memang engga efisien. Benahi aja strucktur cost industry dengan deregulasi. Pada waktu bersamaan remove semua program populis seperti MSB, pengadaan 3 juta rumah, koperasi merah putih dan IKN. Focus menghadapi badai di depan dan perkuat persatuan dan kesatuan. 


Wednesday, March 26, 2025

Roller Coaster ekonomi dari masa ke masa.

 




Zaman orde baru demokrasi ala pak Harto. Walau kita menganut trias politika, legislative, eksekutif, yudikatif namun kekuasaan tetap terpusat kepada Presiden. Dunia tidak peduli. Apalagi Pak harto tidak pernah pinjam uang untuk APBN dari asing atau pasar uang. Dia hanya pinjam uang untuk proyek. Dan itu uangnya tidak mampir di kas negara tetapi masuk langsung ke proyek.  Tentu yang bayar utang adalah proyek itu sendiri. Seperti Pabrik Pupuk, Semen, Petrokimia, PLN, Telkom dan lain lain. 


Pada tahun 1997 krisis berawal bukan krisis pemerntah, tetapi krisis Moneter. Artinya yang krisis BI. Mengapa ? karena modal BI negative. Apa sebab? Akibat KKN. Banyak bank memberikan kredit tidak sesuai aturan dan dengan mudah aturan dilanggar. Contoh, larangan BMPK atau Batas Minimum Pemberian Kredit, kepada afialiasi atau grup dari bank. Moral hazard effect. Pemberian kredit di mark up. Memberikan relaksasi kepada perbankan untuk menarik utang luar negeri lewat PBG dan SBLC.  Dan lain lain.


Lambat laut, arus kas masuk ke bank tersendat. Karena banyak proyek tidak menghasilkan laba. Sehingga tidak ada uang untuk bayar bunga simpanan dan deposito. Bank terpaksa menaikan suku Bunga untuk menyarap likuiditas dari masyarakat. Moneter terdistorsi. BI memberi Kredit Likuiditas kepada Bank agar bunga turun. Belum lagi tagihan dari bank luar negeri atas utang korporat yang dijamin bank dalam negeri di call. Sementara kurs IDR terus melemah akibat devaluasi. Utang luar negeri jadi bertambah dalam IDR. Korporat tidak bisa bayar. BI terpaksa bailout guna menghidari effect systemic.


Soeharto bisa saja berkelit itu masalah BI. Tetapi dia lupa. Bahwa BI itu tidak terpisah dari pemerintah. Artinya dengan adanya pelonggaran kredit oleh BI, itu sama saja pemerintah menambah uang beredar, yang bagaimanapun harus dibayar lewat fiscal. Sementara sistem fiscal belum solid akibat sistem demokrasi yang terpusat. Jatuhnya kurs, karena jatuhnya trust pasar. Yang tentu berdampak kepada jatuhnya trust politik. Soeharto sadar. Yang dihadapinya adalah sistem yang dia pilih sendiri dan dia dijatuhkan oleh sistem itu sendiri. Dia lengser.


***


Setelah Soeharto lengser. Habibie tampil berkuasa. Yang pertama dia lakukan adalah mengembalikan Trust. Caranya? Inilah nasehat Director IMF, buat undang undang reformasi Politik, yang akan menjadi dasar reformasi keuangan negara. Selama 7 bulan kekuasaannya, Habibi berhasil membuat UU Otonomi Daerah, UU kebebasan Pers, dan UU Independensi BI. Otonomi daerah memastikan tidak ada lagi sentralistik. UU Pers, memastikan negara tidak boleh intervensi kebebasan Pers dan UU BI, menjamin pemerintah tidak boleh intervensi.


Era Gus Dur, IMF minta lagi agar pisahkan TNI dari Sipil. Jadi tidak ada lagi militerisme. Era Megawati, berlaku SAP. KPK sebagai Lembaga adhock dibentuk. Pemberantasan Korupsi segera dilaksanakan dan pada waktu bersamaan reformasi kelembagaan POLRI, Kejaksaan, Hakim Tipikor dilakukan secara terprogram. Agar kelak kalau sistem peradilan sudah solid, maka KPK bisa dibubarkan. juga disahkan UU Keuangan negara dan UU Perbendaraan negara. Agar disiplin anggaran dilakukan secara transrfaan sesuai dengan Government finance statistic reform


Era SBY, Indonesia sudah  clean dari masa lalu. SBY tidak punya beban politik akibat krismon. Karena masalah BLBI sudah diselesaikan lewat Obligasi rekap ( QE). Asset obligor BPPN sudah disita dan dilelang lewat BPPN. Indonesia sudah masuk ke wahana financial resource. Tidak perlu repot cari duit. Tinggal hitung berapa defisit APBN, ya pemerintah terbitkan SUN. 8 tahun Era SBY, PDB meningkat 193%. Dahsat kan. Dari keterpurukan bisa bangkit menuju negara dengan PDB USD 1 trilion dan qualified jadi anggota G20.


Yang disayangkan peningkatan PDB itu bukan karena meningkatnya produksi dan Human Capital, tetapi karena kemudahan berhutang yang sebagian besar dipakai untuk subsidi konsumsi (BBM) dan lain lain. Makanya SBY mewarisi defisit primer kepada Jokowi. Pendapatan dikurangi belanja ( tidak termasuk bayar bunga) hasilnya defisit. 


Di era Jokowi, difisit itu disikapinya dengan rasionalisasi APBN. Mengurangi pos subsidi dan meningkatan tax ratio lewat tax amnesty. Trust market bangkit lagi. Jalan berhutang terbuka lagi. Sampai pada periode pertama. Jokowi selamat. Bisa pertahankan pertumbuhan diatas 4% dengan terbangunnya infrastruktur secara luas. Namun periode kedua. Pandemi COVID melanda. Ekonomi kontraksi. BIaya pandemic menguras anggaran yang dibiayai dari SBN burden sharing. 


Pada saat Pandemi, karena skalanya luas, moral hazard penyimpangan anggaran tidak terelakan. ICOR nakk diatas 6. Juga terjadi perang dagang China-AS dan setelah itu terjadi perang Rusia-Ukraina yang membuat harga pangan dan MIGAS melambung. Kurs IDR melemah terus. Karena banyak devisa terpakai untuk impor. Pada waktu bersamaan kita diuntungkan oleh kenaikan harga ekspor komoditas utama. Kita mengalami windfall. Surplus perdagangan. APBN selamat dan bisa terus berhutang lewat SBN. IHSG meningkat diatas 7000. Pasar modal bullish. Harapan besar. 


Namun dari tahun 2023 likuiditas mulai berkurang akibat terserap SBN. Puncaknya tahun 2024. Asing mengurangi porsinya.  Mengapa ? karena the Fed menaikan suku bunga setelah QE. Akibatnya likuiditas mengalir ke AS. Era suku bunga tinggi memang merepotkan BI dan Menteri keuangan.Apalagi tax ratio tidak meningkat significant. Korupsi skalanya semakin besar dan meluas. Utang meningkat 3,5 kali lipat dari stok utang 2014. Antisipasi berkurangnya Likuiditas, DPR bersama pemerintah mengizinkan BI masuk kepasar Perdana beli SBN.


Era Prabowo. Likuiditas semakin ketat. Porsi kepemilikan SBN oleh BI makin besar yaitu diatas 25%. Yield SBN terus meningkat. Resiko SBN membayangi. Akibat defisif fiscal. Yang menanggung bunga dan hutang jatuh tempo era Jokowi. Engga ada lagi tersisa untuk ekspansi, kecuali pagu utang yang diatur UU diubah. Kalau diubah, pasti yield SBN akan meningkat lagi. SBN jadi jatuhnya murah, dan lama lama bisa jadi sampah. Solusinya? Mendapatkan dana diluar skema APBN. Nah dibentuklah BPI Danantara.


Dalam konteks ngurus negara, saya tidak setuju skema financial resource di luar APBN seperti Danantara. Mengapa? Walau diluar skema APBN kan tetap saja melibatkan  negara sebagai undertaking secara tidak langsung. Sulit dijamin displin penggunaannya. Karena pengawasan dan pengendalian disiplin dana tidak seperti di APBN yang ada Lembaga yang lahir dari Rahim demokrasi seperti BKP, BPKP, KPK dan inspektorat pada setiap kementrian.


Saya setuju kalau keberadaan Danantara ini focus kepada program rasionalisasi BUMN dan Asset menager. Dengan rasionalisasi BUMN, proses  transformasi BUMN berkelas dunia bisa dimitigasi resikonya. Setelah BUMN sehat, biarkan BUMN mencari dana sendiri lewat perbankan, pasar uang maupun pasar modal, untuk melaksanakan penugasan dari negara sebagai agent of development. Itu tidak akan sulit. Mana ada investor engga mau deal dengan korporat yang sehat dan profitable.


Sebagai Asset Manager, Danantara jangan ambil modal dari sumber likuiditas bendahara negara. Cerdas dikitlah. Engga melulu harus tunai. Jadi caranya, saat terima deviden BUMN, saat itu juga belikan SBN. Likuiditas bendahara negara tidak terganggu. Nah kalau Danantara perlu uang merasionalisasi BUMN, bisa gunakan SBN itu lewat pasar repo. Tentu pastikan setiap penarikan dana lewat REPO dengan skema yang secure sehingga bisa rolling. Jangan sampai default. Kalau default itu sama saja makan dari uang negara.


Sebagai asset manager, Danantara bisa provide financial solution mengatasi defisit fiscal. Pos pembiayaan APBN bisa dilempar ke Danantara. Jadi APBN tidak lagi defisit. Misal, pemeritah harus bayar utang jatuh tempo dan menugaskan Danantara untuk melakukan restruktur. Tidak lewat revolving bayar utang pakai utang, tetapi lewat Debt SWAP. Caranya ? Danantara wrap SBN itu menjadi instrument structure back securities. Kemudian instrument structure itu di SWAP dengan Bond negara laib anggota OECD atau BRICS.


Misal, bunga Bond  Jepang 1%. Bunga SBN 6%. Danantara tukar SBN itu dengan instrument back securities yang berbunga 2%. Nah 4% itu jadi income Danantara. Income itu sangat besar. Pertahun kita bayar bunga diatas Rp. 400 triliun. Bisa hemat Rp 300 triliun, itu sangat besar untuk menjamin likuiditas BUMN melaksanakan tugas negara membangun proyek strategis nastional


Atau Danantara bisa memanfaatkan pasar credit carbon. Potensi credit karbon kita sangat besar. Bisa mencapai Rp. 8000 triliun. Caranya? Negara memberikan hak konsesi hutan tropis kepada Danantara untuk dilestarikan dan dijaga. Dari sumber daya itu bisa disekuritisasi untuk dapatkan uang dari pasar credit carbon dan uangnya untuk bayar utang negara.


Apa yang saya jelaskan diatas, bukan hal too good to be true. Tentu harus melewati prosedur risk management, international financial compliance standards yang ketat dan sophisticated,  dan  tidak bisa cepat. Butuh waktu lama berproses. Setidaknya perlu 5 tahun  untuk bisa established.. Tapi tanpa dukungan team professional yang punya dedikasi bela negara dan standar moral yang tinggi, serta  dukungan sistem demokrasi yang sehat hampir tidak mungkin bisa sukses.  


***


Problem utama kita sejak era Soharto sampai era Prabowo adalah buruknya management resiko dalam mengelola sumber daya. Itu karena politik menjadi panglima. Sehingga dengan mudah membuka peluang korporat menguasai bisnis rente yang non tradable dan meningkatkan uang beredar tanpa terkendali lewat bursa dan sistem perbankan. GINI rasio memburuk. Dampaknya terjadi ketidak seimbangan fiskal dan moneter. Hanya masalah waktu, pasti akan tergelincir sendiri. Seharusnya hukum sebagai panglima. Ya Hukum atas dasar sistem demokrasi yang sehat tentunya.


Saya hanya rakyat jelantah. Bukan siapa siapa. Saya mendukung saja setiap upaya yang terbaik untuk negara, tentu dengan sikap kritis. Saya sadar, upaya tetaplah upaya. Tentu tidak ada rencana yang sempurna. Pasti ada proses mitigasi resiko, trial and error. Tapi yang penting selama proses itu pastikan Pak Prabowo sehat. Kalau ada apa apa dengan dia, habis kita. No hope. 


*Ditulis di SQ pada ketinggian 33,000 feet 

Sistem ekonomi China dan AS.

  Apakah bisa jelaskan system ekonomi di China dan AS, tanya Ira dalam diskusi dengan dia di kantornya. Saat itu dia memang mengundang team ...