Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. Ini kata kata yang terkesan motivasi juga satire yang keras terhadap pencapaian pria minang yang hidup hanya mementingkan diri sendiri. Jadi gimana seharusnya ? “ Anak dipangku, ponakan dibimbing dan orang kampung dipikirkan dan dipertimbangkan.”
Orang kampung ini maksudnya luas sekali, termasuk juga masyarakat atau negara pada umumnya. Sementara ponakan bukan hanya anak dari keluarga sendiri tetapi juga orang lain. Merantau lah, kata orang tua saya. “ Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang dahulu di rumah paguno balun” (jika di kampung belum bisa berbuat banyak untuk orang banyak, sebaiknya merantau dahulu).
Merantau ini sebenarnya maknanya dalam. Bukan sekedar pergi keluar kampung. Tetapi esensinya adalah ijrah dari roadblock comfort zone. Dengan merantau itu memaksa kita berpikir kosmopolitan. Engga puritan. Open minded. Saya hanya setahun kerja. Setelah itu berhenti untuk berwirausaha. Itu hijrah pertama kali saya. Saya tahu diri. Dengan kerja hanya bekal Pendidikan SMA, akan sangat sulit saya mengemban tanggung jawab sebagaimana tradisi minang.
Lewat bisnis, saya berproses lewat belajar mandiri dari pengalaman jatuh bangun dan kerja cerdas. Hidup berakal mati beriman. Kerja keras dan cari uang berdasarkan visi budaya yang jelas. Ya, bisnis bukan hanya sekedar cari uang dan harta tapi memang berdimensi moral. Bukan aktualisasi diri. Mengapa disebut berdimensi moral? Orang minang punya tradisi. Bahwa setiap pria minang hanya punya hak menggarap lahan namun hak mendapat manfaat ada pada bundokandung atau wanita.
Bundo kanduang ini bukan berarti istri saja tetapi itu tamsil terhadap ibu pertiwi, masyarakat luas. Tidak ada alasan budaya bagi pria minang untuk menepuk dada dengan apa yang dia miliki dan berharap orang menghormatinya. Karena dia memang hanya undertaker bukan owner. Menjadi palang pintu rumah dan sekaligus pasak rumah gadang. Dengan harta dan pengetahuan dia mengajak orang berpikir apa yang mungkin dan membimbing orang ke mata air. Menjadi bahu tempat bersandar. Tidak memberikan ikan tetapi kail.
Itu sebabnya wanita minang sebagai istri tidak pernah menjadikan pencapaian suami sebagai kebanggaan dengan gaya hidup konsumerisme. Dia tahu bahwa apa yang suaminya lakukan dan dapatkan, itu bukan hanya untuk dirinya tetapi juga orang lain. Dia tidak berhak 100% atas suaminya. Karena secara budaya, pria minang sudah jadi value resource dalam social safety network. Istri tidak mau menjadi penyebab collateral demage. Itu akan sangat memalukan.