Tuesday, September 11, 2007

Ramadhan kita...


Dua hari lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Ini bulan yang selalu dinantikan oleh seluruh umat muslim sedunia. Dibulan inilah terbuka segala pintu rahmat, berkah dan ampunan dari sang pengcipta. Dibulan inipula umat islam ditantang dengan ujian menahan lapar, haus dan hawa nafsu dari sejak fajar sampai matahari terbenam. Dalam kurun waktu 12 jam kita diminta menghadapi proses berjalannya waktu itu dengan khusu memuji kebesaran Allah dan menerima segala cobaan dengan ikhlas. Maha suci Allah yang selalu menuntun kita untuk mencapai kesempurnaan akhlak agar kita menjadi pemimpin dimuka bumi dan penyebar rahmat bagi alam semesta.

Memang benarlah bahwa hidup adalah perjuangan untuk menegakkan asma Allah untuk mencapai kemuliaan. Hubungan hablulminallah dan Hablubminnnas terjalin erat dalam ritual ramadhan ini. Dalam hubungan hablulminallah kita diminta tunduk atas perintah puasa. Puasa memang hanya kepada orang yang beriman. Puasa tidak diperuntukan bagi orang yang tidak percaya kepada. Akhir dari ritual ini adalah reward berupa menjadi orang yang bertakwa. Namun implikasi dari ritual Ramadhan inilah yang kadang terlupakan oleh kita yaitu peka terhadap pesan kemanusiaan , kebersamaan, perdamaian dan keadilan serta peduli kepada mereka yang miskin.

Sejak krisis ekonomi terjadi ,negeri kita menghadapi bencana kemanusiaan yang teramat menyedihkan. Kasus busung lapar yang diderita anak-anak di NTB, NTT, dan provinsi lainya terjadi sejak krisis melanda negeri ini tahun 1997, gizi buruk, busung lapar, dan kematian anak balita akibat busung lapar sudah menjadi berita. Sampai kini itu terus berlanjut. Berita tentang bantuan dari semua pihak hanya terjadi sesaat dan setelah itu terlupakan. Ini adalah tragedi tapi kita menepisnya dengan bersandar berjuta alasan yang terkait dengan alam dan iklim. Dengan cara pandang seperti itu, nasib jutaan anak Indonesia yang menderita gizi buruk dan satu per satu meninggal, tak akan pernah dianggap signifikan untuk menjadikannya sebagai tragedi nasional yang menuntut penanganan serius. Sebab dalam sistem ekonomi global sekarang ini, keberadaan dan penderitaan kaum miskin tak akan tampak. Mereka tersembunyi di gubuk-gubuk di pelosok-pelosok pedesaan dan di sudut-sudut kumuh perkotaan, yang ruang hidupnya tak pernah terhitung dalam sistem ekonomi formal.

Walau rezim Soeharto telah jatuh dan digantikan pemerintahan yang lebih demokratis, integrasi negara ke dalam tata ekonomi global dan tingginya beban utang, selalu berarti, yang paling miskin tetap saja ditelanjangi hak-haknya, sama seperti saat berada di bawah rezim paling otoriter. Sebab hak asasi yang dilanggar penguasa otoriter yang tampak merupakan satu hal, sementara para pencipta kemiskinan dan kelaparan abadi yang tersembunyi dalam kekuatan ekonomi merupakan hal lain. Pembangunan selama ini lebih berarti mereduksi berbagai bentuk kekayaan alam menjadi uang, yang akhirnya lebih banyak raib di tangan koruptor. Sudah waktunya kita menghitung biaya tersembunyi yang tak pernah bisa diukur oleh indikator-indikator ekonomi global, namun terus ditanggung demikian banyak orang miskin. Upaya melawan kekuatan ekonomi yang tidak memperhitungkan keberadaan kaum miskin, dan yang terus mendesakkan penghapusan subsidi atas kebutuhan pokok, lebih banyak swastanisasi, pembayaran utang dengan bunga tinggi, jauh lebih sulit daripada menggulingkan penguasa politik yang otoriter.

Mungkin kelaparan dan kematian akibat kemiskinan sebagai bentuk kegagalan kita sebagai orang beriman yang tidak punya keberanian untuk melawan atau tidak peduli atau lebih mementingkan keselamatan pribadi. Makanya derita demi derita kaum miskin yang terjadi saat ini adalah peringatan untuk orang beriman agar bangkit berjuang melawan ketidakadilan dari keberadaan system yang membuat kemiskinan terus terjadi. Sudah waktunya kita menghitung kembali nilai nilai spiritual kita, nilai ibadah kita dan nilai puasa kita dibulan ramadhan ini..apakah cukup dengan berzikir, sholat dan menahan lapar saja sementara fungsi kita sebagai rahmatan lilalamin terabaikan.

Monday, September 10, 2007

Bertikai dengan Malaysia ?

Dulu zaman Soekarno , Soerhato memanglah cinta bangsa dan semangat patriotisme itu selalu dipropaganda disetiap kesempatan. Tapi dizaman reformasi ini , semangat itu sudah semakin berkurang. Jargon globalisasi dan demokratisasi menenggelamkan patriotisme seperti kata kata usang didalam tumpukan buku buku kono. Tapi keliatannya kembali semangat kebangsaan ditampilkan didepan public baru baru ini sebelumnya semangat itu ditampilkan ketika pertandingan bola Piala Asia disenayan. Semangat merah putih berkibar dengan gagahnya walau akhirnya harus menerima lapang dada suatu kekalahan dirumah sendiri.

Peristiwa kekerasan yang dilakukan Polisi Diraja Malaysia kepada TKI menyentuh rasa kebangsaan dan membakar semangat patriotisme kita. Dari Ormas sampai kepada Politisi disenayan bersuara keras , mengecam tindakan kesewenangan Polisi Diraja Malasysia. Kita marah dan marah. Seakan siap bertempur kapan saja untuk memaksa pemerintah Malaysia mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada kita. Tentu Malaysia tidak akan mengakui kesalahan atau maaf kepada pemerintah Indonesia karena status TKI disana adalah sebagai penduduk Negara yang mempunyai posisi sama dengan penduduk lainnya dihadapan hukum Malaysia.. Ungkapan maaf yang tepat adalah langsung kepada pihak yang menjadi korban kekerasan tersebut. Dan ini sudah dilakukan oleh Dubes Malaysia di Indonesia dengan langsung mendatangi korban berserta keluarganya sambil menyampaikan surat permintaan maaf dari Kepolisian Diraja Malaysia.

Anehnya, kita begitu gagah bila melihat ada ketidakadilan terhadap prilaku pejabat negeri lain terhadap rakyat kita sementara setiap hari kita melakukan sikap kesewenangan dan mempermainkan keadilan kepada rakyat kita sendiri. Cobalah disimaki dengan seksama bahwa keberadaan para TKI berpendidikan rendah tersebut adalah akibat system yang ada dinegeri kita , membuat mereka miskin secara structural. Lantas mengapa ini tidak dijadikan semangat patriotisme kita untuk memperbaiki sikap kita terhadap rakyat agar mereka tidak perlu menumpang hidup dinegeri orang. Ketahuilah bahwa keberadaan para TKI diluar negeri tidak lebih hanyalah bagian dari komoditi global untuk kepentingan para juragan yang menikmati kemakmuran dari system negaranya. Tidak akan pernah ada kebijakan sosial humanis bagi sang komiditi ( TKI) dan kita menutup mata atas situasi ini.

Ungkapan emosional Politisi senayan yang meminta pemerintah menarik pulang semua TKI yang ada di Malasyia, menyiratkan seakan tanpa TKI , malaysia akan hancur. Sebetulnya bagi Malaysia yang sudah beranjak menjadi negara maju yang makmur keberadaan TKI sudah mulai mengganggu stabilitas nasional mereka.. Karena memang mereka tidak begitu lagi membutuhkan tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Tingkat upah yang mereka berikan kepada TKI adalah standard diatas rata rata upah yang diterima oleh para buruh yang ada di Indonesia, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina Jadi seandainya TKI kita semua keluar maka ini adalah berkah bagi malaysia yang bisa dengan mudah menggantinya dari Thailand dan Filipina yang jauh lebih berkualitas. Sementara bila TKI itu kembali ke Indonesia , apakah kita sanggup memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka. ? Jumlah TKI di Malaysia diatas 100,000 orang dan ini bila kembali tentu akan menimbulkan masalah sosial bila kita tidak bisa memberikan lapangan pekerjaan.

Keberadaan para buruh yang ‘’terlempar ‘’ dinegeri orang adalah cerita lain dari sisi gelap kegagalan semangat patriotisme. Walau kegagalan ini ditutupi dengan memberikan embel embel jargon sebagai ‘’ pahlawan devisa ‘’ bagi para buruh yang berkerja di luar negeri. Kita memanglah sangat pandai menari dari banyak kesalahan dan kemudian mencoba menghibur diri untuk selanjutnya melupakan semua kepedihan atas derita nestapa yang dialami para buruh migran itu.. Padahal mungkin kitalah satu satunya negara didunia yang menempatkan nasionalisme dan patriotisme hanya kepada ‘’ ibu pertiwi’’. Suatu ungkapan nasionalisme dan patriotisme yang sangat romantis dimana menjadikan sosok ibu sebagai repleksi kecintaan , kesetiaan, kehormatan yang harus dibela sampai mati. Lantas apa jadinya bila kini kita melihat ribuan para ibu yang terpaksa meninggalkan sanak keluarganya menjadi jongos dinegeri orang….

Bertikai dengan Malaysia dengan mengusung patriotisme adalah cara terbaik mentertawakan kebodohan kita sebagai bangsa yang gagal menjadikan slogan ‘’ lebih baik hujan batu dinegeri sendiri daripada hujan emas dinegeri orang.’’

Cuan dibalik impor gula..

  Fasilitas bisnis impor gula itu memang sudah dipastikann rente. Apapun alasannya termasuk stabilitas harga, itu omong kosong. Ini bisnis m...