Mana ada pemimpin yang dengan senang hati menaikkan BBM.” Demikian SBY berkata dan Televisi meliput pidatonya. Wajahnya nampak bersedih. Suaranya terkesan mehanan sedih teramat sangat ketika kata kata itu terungkapkan. Andaikan itu adalah pentas teater dan sutradara mengharuskan SBY menangis maka tentu air mata akan mengalir begitu saja. Karena moment nya tepat dan kebetulan sekali memang SBY berhati lembut, romantic. Demikian kata teman saya berkata menanggapi curhat SBY dihadapan Publik. Saya bisa merasakan betapa berat hati SBY untuk berdamai dengan realita. Suka tidak suka dia pihak yang langsung dinilai oleh rakyat tentang salah dan benar suatu kebijakan. Ditambah lagi ada sederet pakar ekonomi yang punya pendapat berbeda bahwa BBM tidak seharusnya naik. Bahwa kenaikan harga minyak international justru menguntungkan pemerintah. Bahwa kenaikan harga minyak international tidak berhubungan dengan Defisit APBN atau apalah..
SBY nemang berada pada posisi yang salah dan moment yang salah. Dia berada dalam sebuah system yang dia sendiri tak berdaya untuk merubahnya.Betapa kekuatan dan distribusi kekuasaan begitu solidnya di negeri ini , sehingga seorang President terpilih langsung oleh rakyat tak berdaya apapun untuk sekedar meyakinkan rakyat tak jadi korban. Itu sebabnya , SBY tak bisa menyembunyikan kegalauan hatinya ketika berbicara tentang rencana kenaikan harga BBM. Teman saya berkata bahwa ada hal yang sebagian public tidak paham dibalik kenaikan harga BBM ini. Tahukah kamu, pemerintah dalam system ekonomi saat ini , yang tercermin dalam bentuk APBN , jelas sekali tidak berkuasa atas barang/produksi yang dihasilkan dari sumber daya alam kita. Negara hanya berhak atas bagi hasil sesuai PSC ( product Sharing Contract ) dalam bentuk PNBP ( pendapatan Negara bukan pajak ). Pajak itu masuk dalam pos penerimaan Negara. Paham, kan.
Dan lagi, kata teman saya. Benat bahwa Pertamina adalah milik Negara. Tapi dia adalah lembaga profit. Perlakuan pemerintah kepada Pertamina sama dengan perusahaan asing lainnya yang juga mendapatkan PSC sama dengan pertamina. Walau Pertamina punya tugas khusus sebagai penyangga logistic BBM nasional namun posisinya tetaplah sebagai lembaga profit. Pertamina akan mendapatkan harga penjualan kepada public seharga international. Bila harga dalam negeri di bawah international maka Pemerintah ( lewat APBN ) harus menomboknya. Semakin tinggi selisih harga domestic dengan international semakin tinggi beban yang harus ditanggung APBN. Bukankah Pemerintah( BP Migas ) juga mendapatkan bagi hasil dari PSC. Bukankah Pemerintahpun mendapatkan bagi hasil itu sesuai harga interntional ? tanya saya. Benar. ! dan itu sudah masuk dalam pos penerimaan Negara. BIla sudah masuk pos penerimaan Negara pada APBN maka penggunaannya tidak langsung untuk cross subsidi BBM.
Walau Pemerintah mendapatkan bagi hasil dalam porsi ( 85%) lebih besar dari kontrator ( 15%) namun itu harus dikurangi terlebih dahulu biaya dan resiko yang dikeluarkan oleh pihak kontraktor. Mungkin biaya bisa diukur dengan tepat oleh para akuntan , tapi soal resiko ? ini tidak mudah. Harap maklum ketika kontraktor bekerja berdasaarkan PSC , mereka menyabung resiko gagal yang begitu besar. Mungkin berkali kali mereka drill perut bumi barulah mendapatkan hasil. Nah seluruh beban resiko yang dialami kontraktor itu akan dibebankan kepada hasil produksi (lifting ) minyak Kadang setelah sekian juta barrel lifting minyak dicapai, belum juga tercapai BEP. Selama itu pemerintah hanya menyaksikan minyak dikeruk dari perut bumi tanpa mendapatkan bagi hasil apapun. Kontraktor selalu punya alasan untuk memperpanjang jangka waktu BEP berdasarkan laporan yang diaudit lembaga independence bereputasi international.
Tapi bagaimanapun dengan kenaikan harga BBM , Pertamina diuntungkan. Kontraktor asing juga di untungkan. Dari keuntungan ini, kan pemerintah dapat pajak. Pemerintah juga dapat bagi hasil ( PNBP). Artinya penerimaan Negara juga semakin membesar. Tentu tidak ada masalah bila menambah pos Belanja Rutin pemerintah dalam bentuk Subsidi. Ya kan. Kata saya. Teman saya itu tersenyum. Kamu juga harus tahu bahwa ini semua berhubungan dengan APBN. Kenaikan harga minyak international mempengaruhi makro APBN,yang berhubungan dengan inflation rate, currency rate, economic growth, posisi hutang pemerintah dll. Semua itu saling mempengaruhi. Yang menjadi prioritas pemerintah adalah menjaga economic growth ( termasuk menjaga rating surat hutang). Karena ini berhubungan dengan dunia usaha ( termasuk investasi ) dan penyediaan lapangan kerja. Walau untuk itu pemerintah harus mengurangi subsidi atau bahkan bisa saja suatu saat menghapus subsidi.
Teman itu tersenyum namun nampak miris. Inilah harga sejarah bagi generasi kini, dan juga beban moral bagi SBY ketika berhadapan dengan realita. Kita berhasil melewati proses pergantian Rezim namun kita gagal memotong sejarah, memotong masa lalu.Kita terjebak dalam proses berkelanjutan bahwa kita perlu economic growth dan APBN perlu hutang , untuk itu public harus bertanggung jawab membayarnya melalui kenaikan haga komoditas agar perusahaan ( private/BUMN) terus menghasilkan laba dan mampu mendatangkan pajak bagi penerimaan Negara. SBY bukanlah pribadi tapi SBY adalah lembaga yang menyatu dalams sebuah system dimana pasar adalah raja sesungguhnya Bukan SBY, bukan kita, bukan DPR. …Kalau kita menyalahkan SBY maka kita juga ikut bersalah karena membiarkan system ini terus berlanjut.
Lantas apa solusinya ? tanya saya. Teman ini berkata, hanya satu yaitu REVOLUSI. Namun revolusi lewat kesadaran bahwa system harus dirubah total, bukan karena provokasi sesaat yang pada gilirangnya hanya memberikan kesempatan pada segelintir orang untuk berkuasa dan melanjutkan proses penjajahan. Rubahlah system dan kembalilah kepada Agama berkata, budaya memakai. Bila system tidak segera dirubah maka hanya butuh waktu revolusi sosial akan terjadi dengan sendirinya. Dendam dan amarah akan menyatu , maka yang terjadi , terjadilah..