Sunday, August 30, 2015

Ulysses

ADA seorang perempuan yang mudah dilupakan dunia tapi seharusnya tak dilupakan kesusastraan. Namanya Margaret Anderson.Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap tahun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, taplak, gorden, dan lukisan dinding baru. Margaret tak seperti ibunya, tapi ia punya keresahannya sendiri. Pada suatu malam, ketika ia berumur 21 tahun, setelah seharian merasa murung, ia terbangun dari tidur. ”Pikiran persis pertama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, mengenang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing inspired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah mendapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat: kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan….” Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku akan dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus yang bisa disajikan dunia….”

Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dikenal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago, Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-omong tentang seni”, itulah semboyannya. Tapi tentu saja tak sembarang omong-omong. Nomor pertama majalah kecil itu berbicara soal Nietzsche, feminisme, dan psikoanalisis—hal-hal yang bisa menyentakkan orang Amerika dari tidur borjuis mereka yang tertib dan taklid. Seperti lazimnya majalah seni dan sastra, The Little Review tak laku. Juga sulit mendapat sponsor. Margaret kehabisan uang, diusir dari rumah sewaannya, dan harus menutup kantor majalahnya. Tapi ia tetap menginginkan percakapan yang bersemangat, dan ketika ia ketemu Jane Heap, seorang seniman yang aktif dalam gerakan seni rupa baru Chicago, cita-citanya bangkit lagi. Kedua perempuan itu, yang kemudian berpacaran, meneruskan The Little Review dengan memindahkannya ke New York. Seraya membuka toko buku di Washington Square, di sudut kota tempat inspirasi tak mudah mati itu, kedua perempuan itu membuat sejarah.

The Little Review memuat karya para sastrawan yang kemudian jadi percakapan seluruh dunia: T.S. Eliot, Hemingway, Amy Lowell, Francis Picabia, Sandburg, Gertrude Stein…. Sejak awal, Ezra Pound jadi penasihat dan koresponden majalah itu di London, dan dari Eropa AndrĂ© Breton dan Jean Cocteau mengirimkan tulisan mereka. Juga: James Joyce, dengan Ulysses-nya.

Tapi sejarah sastra tak pernah mudah, terutama di masa ketika modernisme bersedia membenturkan diri menghadapi apa yang ”normal”—yakni segala hal yang ukurannya dibentuk oleh tata sosial yang ada, oleh bahasa yang diwariskan, dan oleh ketakutan terhadap yang tak pasti, yang tak jelas, yang beda. Sejarah sastra memang jadi berarti ketika sastrawan dan karyanya tak memilih kenyamanan yang ditentukan oleh kelaziman sosial. Margaret membuktikan itu dengan dirinya—sejak ia, dalam ketiadaan uang, berani hidup di bawah tenda yang didirikannya sendiri di tepi Danau Michigan, sampai dengan ketika ia berani menerbitkan Ulysses, dalam bentuk cerita bersambung sejak 1918. Joyce baru merampungkan karya besarnya yang setebal 732 halaman ini pada akhir Oktober 1921. Sengaja disandingkan dengan epos Yunani kuno karya Homeros, Ulysses tak berkisah tentang para pahlawan, melainkan tentang kehidupan sehari-hari Kota Dublin, Irlandia, dengan dua tokoh yang berbeda, Stephen Daedalus dan Leopold Bloom.

Novel yang terdiri atas tiga bagian besar dengan 18 episode ini tak mudah dibaca, meskipun tiap bagian memukau, liris, juga ketika ”arus kesadaran” sang tokoh merasuk ke dalam paragraf seakan-akan puisi yang meracau. Joyce sendiri mengatakan—mungkin serius, mungkin main-main—bahwa ke dalam Ulysses ia memasukkan ”begitu banyak teka-teki dan enigma hingga para profesor akan berabad-abad sibuk berdebat tentang apa yang saya maksud”. Tapi di dunia ini ada para profesor, atau para peminat sastra yang bersungguh-sungguh yang menemukan kenikmatan dan kearifan dalam percakapan (”percakapan yang bersemangat,” kata Margaret Anderson), dan ada orang yang tak begitu berminat meskipun teramat bersungguh-sungguh: para sensor. Dalam Ulysses sang sensor merasa menemukan ”pornografi”. Pada 1920, orang-orang yang merasa diri bermoral dan saleh yang bergabung dalam ”The New York Society for the Suppression of Vice” berhasil memenangkan dakwaannya di pengadilan, dan hakim menyetop The Little Review memuat novel itu.

Majalah itu disita. Margaret Anderson dan Jane Heap dihukum sebagai penyebar kecabulan. Masing-masing didenda $ 100. The Little Review yang miskin dana itu pun kehilangan masa depan. Akhirnya kedua perempuan itu memutuskan untuk meninggalkan Amerika—di mana kekuasaan uang dan ”moralitas” dipergunakan untuk mengimpit mereka yang berbeda—dan melanjutkan The Little Review di Eropa. Ulysses juga telantar. Tak ada penerbit baik di Amerika maupun di Inggris yang mau mencetak dan menyebarkan novel itu. Baru pada 1931, di Paris, seorang perempuan lain, Sylvia Beach, berani melakukannya, diam-diam dari toko bukunya yang sampai kini tak mentereng di tepi Sungai Seine, ”Shakespeare and Co”. Sejak itu, zaman berubah, juga ”moralitas” dan kecemasan. Pada 1933, hakim John M. Woolsey mengizinkan novel itu beredar. Porno? Merangsang? Hakim itu telah membacanya dan ia mengatakan bahwa ia, bersama dua orang temannya, tak bangkit syahwatnya karena Ulysses. Pada akhirnya seorang lelaki bisa mengerti kearifan yang dibawa Margaret Anderson, Jane Heap, dan Sylvia Beach: ”moralitas” itu hanya bangunan kekuasaan mereka yang waswas akan libido diri sendiri.@

Nilai persahabatan

Dia tertidur pulas setelah mendapatkan suntikan obat penenang. Dokter mengatakan bahwa dia akan baik baik saja. Saya menungguinya tanpa terpejam mata sejak jam 2 pagi dia masuk Ruang Gawat Darurat rumah sakit. Jam 6 pagi matanya bergerak dan yang pertama kali ditetapnya adalah saya. Dia tersenyum. Dipegangnya lengan saya " kamu nampak lelah. Pulanglah. Istirahat. Aku akan baik baik saja. " katanya. Saya menegaskan akan pulang setelah tahu apa penyakitnya dari dokter. Dia mengangguk tanpa melepas pagangannya dilengan saya. Pandangan matanya nampak kosong.Saya perhatikan dia nampak begitu rapuhnya. Dia sahabat saya yang telah 8 tahun sebagai mitra saya dalam bisnis. Kali pertama saya mengenalnya dia adalah single parent yang berjuang untuk menghidupi anaknya berusia 7 tahun sebagai Sales paket wisata. Enam bulan setelah perkenalan denganyan dia menawarkan bisnis penangkapan ikan dan cold storage untuk melayani ekspor ke Jepang. Bisnis itu berujung gagal karena mitranya yang culas dan kami harus menanggung rugi. Namun entah mengapa setelah itu dia murung berkepanjangan. Semakin saya memaafkan semakin dia tidak bisa memaafkan dirinya. Sampai akhirnya dia nyaris meninggal karena bunuh diri.

"Kamu sahabat saya.Seharusnya saya jaga harta perusahaan dengan baik tapi saya gagal menjaganya Untuk apalagi saya hidup bila saya mengecewakan kamu?" Demikian alasannya.

Berusaha saya memotivasinya untuk bangkit dan melupakan yang sudah lewat. Mungkin sudan jalan Tuhan menguji dia agar mendapatkan peluang yang lebih baik dan tentu menguji kesabaran saya. Saya katakan dirumah sakit bahwa ada mitra bisnis di Thailand bersedia menjalin kerjasama dengan saya dengan memanfaatkan buyer yang saya punya di Jepang. Dia nampak tersenyum ketika keluar rumah sakit. Dia berjanji akan bekerja keras memanfaatkan peluang ini. Saya katakan mungkin kita tidak ahli menangkap ikan tapi ahli menjual. Disinilah kita bisa dapat uang untuk mengembalikan kerugian yang lalu. Dia mengangguk. Sejak itu dia tampil semangat dan benarlah usahanya berkembang pesat. Kerugian yang lalu terbayar. Kamipun berhasil membangun processing fish. Dari akumulasi keuntungan ini dia mengajukan rencana bisnis Travel yang memang digemarinya. Saya mendukung. Bisnis Travel berkembang sampai membuka cabang di Ho cin min and Bangkok. 

Dia semakin sibuk sehingga lupa dia punya putri yang sedang tumbuh remaja yang harus diperhatikannya. Disinilah dilema. Saya minta dia mulai memikirkan mengurangi kesibukannya. Dia menolak dan kami selalu bertengkar soal ini. Akhirnya jalan kompromi diambil bahwa putrinya masuk asrama di singapore.Ternyata sejak putrinya tinggal di asrama dia semakin murung. Sampai akhirnya dia sakit karena depresi.

" Saya akan ikuti saran kamu. Saya akan kurangi kesibukan bisnis. Yuli akan pulang kerumah ya. Saya ibunya, sayalah yang harus menjaga dan merawatnya sampai kelak ada pria yang akan menjemputnya. Ya kan " katanya. Saya hanya mengangguk dengan tersenyum.

" Kamu tahu "'sambungnya " dulu saya punya suami yang sangat saya cintai dan diapun mencintai saya. Tapi dia pergi kewanita lain ketika saya sangat membutuhkannya. Tapi setelah itu saya bertemu kamu. Pria yang saya cintai tapi tidak pernah mencintai saya karena cintanya hanya untuk istrinya namun dia selalu ada untuk saya bahkan disaat tersulit.  Senyumnya meyakinkan saya bahwa dia tidak akan pernah meninggalkan saya. Sentuhan tangannya memastikan dia akan selau menopang saya ketika jatuh. Dia tidak banyak berkata manis namun selalu berkorban untuk saya , menjaga..selalu. " Katanya dengan airmata berlinang.

Saya tesenyum sambil menggenggam jemarinya. " kamu sahabat saya dan akan selalu begitu untuk berbagi dan saling mengerti dan memaklumi. Ya kan Jess "

"Why did you do all this for me?' I don't deserve it. I've never done anything for you.' Katanya dengan terisak..

" You have been my friend,' kataku " that in itself is a tremendous thing.

Memberi...

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga. Dia tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….,” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?”
“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…,” sahut anak itu.

Dia minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki Hati nya semakin merintih melihat kedua anak itu, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Dia tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Dia kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin. Pada pengurus yayasan itu dia mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah dia menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam 8 malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan membeli dua potong kue untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Dia mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun dia menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Panti “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan….,” katanya dengan sendu.Semua guru di sekolah itu menangis….

Dia adalah Bai Fang Li, wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin...
***
Anakku. Ketahuilah nak bahwa kemiskinan didunia ini bukanlah karena tidak ada harta atau sumber daya tapi karena miskin cinta. Kamu,,nak tidak perlu jadi orang kaya untuk menjadi pemberi ,karena bagaimanapun kamu mampu memberi selagi kamu kaya cinta , dan kamu tidak perlu menghormati orang karena tahu dia kaya, tapi karena dia memberi ..sekecil apapun pemberian itu., hormatilah, syukurilah dan berterimakasihlah selalu.. Pahamkan sayang..

Sunday, August 16, 2015

Kamu...

Malam masih seperti malam sebelumnya. Aku disini dan kamu disana. Kita akan selalu berjarak dalam diam. Walau gelora hari kita menembus laut dan benua , namun semua terbang terbawa sekawanan burung yang pergi entah kemana. Kini aku tak ingin lagi bertanya lebih jauh tentang kamu. Biarkan aku cukup membayangkan kegigihanmu menutupi kelemahanku. Melindungiku dari kebodohanku. Menjagaku dalam kealfaan. Menggiring ku kearah cahaya dimana aku harus melangkah ditengah kegegelapan. Setelah itu kamu pergi. Mengapa ? Maaf, ini bukan hendak bertanya kepadamu. Sebegitu indahkah makna persahabatan yang terpatri dalam dirimu.Seperti apakah kira kira makna itu. Katakanlah kepadaku. Katakan.... Kamu diam ,menjauh dan berjarak, Setelah itu semua tinggal misteri bagiku, dalam hening.

Malam masih seperti malam sebelumnya. Dari balik jendela kamar kulihat bulan bulat putih pada hari ini. Tanpa bingkai mega. Dikitari oleh taburan bintang yang berkelip bagaikan kunang kunang. Semakin kupandang semakin jauh kenangan terbawa. Masihkah kamu mengingatku. ? mungkin tidak. Atau setidaknya kamu mengingat dalam kesadaran seperti kesadaran burung yang harus terbang kebenua lain berlindung dibalik musim salju. Tak ada yang istimewa, Bila harus pergi maka pergilah. Setelah itu yang ada hanyalah kepasrahan untuk sebuah pilihan yang tak bisa memilih. Tegarkah kamu ? Ah terlalu bodoh aku bertanya seperti itu. Tapi bulan itu dimalam ini membawaku kepadamu.Tapi aku yakin kamu akan baik baik saja.

Hari ini aku harus berkata satu kepada diriku bahwa kamu bukanlah milik siapa siapa, Kamu adalah milik sang pencipta. Aku tak ingin lagi merisaukan tentang dirimu. Setidaknya doaku akan lebih khusu untuk kamu yang sendiri ditengah orang ramai.Betapa tidak ? Inilah yang tak pernah bisa kulupakan tentang kamu. Kali pertama pertemuan kita di musim semi , di Shanghai. Tidak ada yang istimewa. Aku dengan aku dan kamu dengan kamu. Namun dalam perjalanan waktu , dalam kebersamaan team, kamu tampil memukau sebagai profesional kelas dunia. Aku semakin merasa bodoh dihadapanmu. Namun kamu tak pernah nampak superior dihadapanku. Raut wajahmu begitu bersemangat memancarkan magnit untuk kumengerti bahwa kamu peduli dengan obsesiku, dengan impianku.

Malam masih seperti malam sebelumnya, tak beda dengan diriku yang melangkah terseok seok dijalan berliku dan berduri. Kini , aku lelah dan sangat lelah. Ditengah kegalauanku itulah kamu datang menemuiku. Selalu begitu. Kita saling tersenyum melangkah kekorsi dipinggir dermaga tanpa saling bertatap. Kita asyik dengan lamunan kita tanpa bersetatapan.

“ Masih vegetarian “ tanyamu.
Aku hanya mengangguk dan tesenyum.
“ Besok aku harus kembali. “ katamu. 
“ Secepat itukah ? Tanyaku
“ Ya. Besok jam 2 sore pesawatku.“
Kamu berdiri. Melangkah menjauh kearah pagar dermaga. Angin sepoi sepoi dibulan april ini membuat tubuhmu yang ramping seakan begitu serasinya dalam keindahan senja yang merangkak menuju malam.“ Kamu tahu.. Sulit dipahami sikapmu dulu.Kamu melukaiku dan membuatku harus menangis dimalam sepi. Tapi kini aku sadari kamu benar dengan sikapmu. Maafkan aku”
“ Maafkankan aku juga karena tidak bisa menjelaskan sikapku dan hanya berharap suatu saat kamu bisa mengerti.“
Kamu terdiam dan lambat tubuhmu kembali menghadap dermaga , memunggungiku. Aku tetap diam. Kamu mengalihkan pandanganmu ketempat lain. Kemudian melangkah agak menjauh dari tempat ku duduk. Desiran angin laut membelai halus rambutmu.
“ Brother, kamu tau ..! serumu hingga membuat aku terkejut. “ Aku tahu adalah bukan sifatmu untuk pergi. Aku banyak bergantung padamu. Sementara , kamu selalu senang membantu dan tidak pernah terganggu bila kadang aku mulai mengucilkanmu, melecehkanmu. Ya itulah budaya kami. Ketika kami berpikir itu adalah tidak mungkin dan beresiko, kamu tampa diminta sudah lebih dulu menawarkan diri menghadang resiko itu. Ketika kami kawatir dengan semua ini , kamu hadir dengan senyum hangat untuk meyakinkan bahwa semua akan baik baik saja. . “ Kamu nampak menahan tangis namun airmata nampak mengambang dipelupuk matamu.“ Sekarang…inilah aku. “ katamu. 
Aku hanya tersenyum. “ Aku senang bila pada akirnya kita dapat bertemu lagi. Aku kangen kamu”
“ Aku juga kangen..sangat..”Kulihat kamu menangis dan pergi belalu dari hadapanku. Sambil berbisik ” “Take care your health, my dear” Aku hanya terdiam tanpa berani untuk menghalangimu.

Satu hal yang dapat kuungkapkan kepadamu bahwa Allah memberiku begitu banyak maka ini adalah berkah dan sekaligus beban. Kecintaanku kepada sahabat dan siapa saja hanyalah untuk lebih pandai bersyukur. Semuanya kulakukan hanya karena cinta.. Bukan masalah siapa memanfaatkan siapa tapi lebih kepada kepedulian ketika kita mampu berkorban kepada orang yang terdekat dengan kita. Semoga perjalanan waktu dapat membuat kamu menyadari bahwa kecintaan persahabatan begitu agung ketika kita dapat bersikap dengan jelas tanpa pamrih. Walau karena itu kita harus berjarak.Tapi kataku terbang terbawa angin sore. Kamu telah jauh dari hadapanku dan tak terjangkau lagi.Semoga kamu selalu baik baik saja..

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...