Tuesday, January 04, 2022

Berkorban sepanjang usia..

 




Banyak orang berencana namun hanya berhenti dimimpi saja dan terus mengeluh karena merasa tidak ada orang peduli dengan rencananya. Sebenarnya ketika anda punya rencana dan mimpi, itu hanya ada antara anda dengan Tuhan saja. Engga ada urusan dengan orang lain. Sukses dan gagal, itu tergantung anda. Mengapa? Rencana itu bagaimanapun masih dalam bentuk konsep imeginer. Orang lain bukan  Tuhan yang tahu isi kepala dan hati anda yang sebenarnya. Manusia percaya dengan apa yang anda katakan. Tetapi percaya saja belum akan membuat dia mendukung sebelum ada sesuatu yang konkrit memotivasinya mendukung.


Saya belajar dari ibu saya soal ini. Ibu saya itu sejak usia muda sudah jadi aktifis sosial. Ada photo jadul saya digendong ibu saya dalam kegiatan sosial di Pagar Alam. Bahkan saat hamil saya dia masih sibuk ditengah tengah kegiatan sosialnya sebagai aktifis Aisyiah. Pecah ketuban dan nongol saat Ibu saya menghadiri acara sumpah pemuda. Akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Untunglah selamat. “ Kamu tertolong dari kotoron luar karena seluruh tubuh kamu dibalut oleh lemak dan beras. Karena amak waktu hamil kamu suka makan beras.” 


Apa yang dapat saya pelajari dari ibu saya dalam hal berbuat? Modal dia hanya niat saja. Setelah itu dia bergerak. Dia ada niat bangun sekolah TK dan SD. Itu karena banyak anak yang tidak sekolah karena tempat sekolah jauh. Dia organisir teman temannya dalam gerakan Aisyiah. Dari pintu ke pintu mereka ketuk rumah orang untuk bantu apa saja. Ada yang kasih kayu, paku, atau uang. Gerakan itu jadi meluas. Akhirnya TK dan SD itu jadi. Saya salah satu murid TK. Kemudian dia berniat membangun pusat kesehatan Ibu  dan Anak. Begitu juga caranya.Dia langsung bergerak. Jadi juga tuh proyek.


15 tahun lalu ibu saya berniat membangun Panti Asuhan. Niat itu dicertikan kepada saya. Adik dan kakak saya tertawa. “ Amak udah tua. Cukuplah 2 periode jadi pimpinan Wilayah Aisyiah  Lampun. Istirahat sajalah. Mana kuat lagi urus yang begituan” kata Adik saya. Tetapi saya tatap mata ibu saya. Saya kenal betul karakter ibu saya. Kalau dia sudah niat, dia pasti kerjakan. Setahun kemudian saya pulang ke lampung. Panti asuhan sudah berdiri. Tempat sewa. Alat dapur untuk masak disumbang oleh tentangga. Makan makan dibantu donatur dan tetangga.


Saat itu juga saya tergerak untuk ambil bagian dalam proyek itu. Saya tanya rencana dan proposal proyek itu. Ibu saya serahkan proposal. Lengkap sekali. Ada design bangunan lengkap dengan detail engineering. “ Tanah sudan ada. Tanah wakaf” Kata ibu saya. Benar benar cara aktifis lapangan. Sedikit bicara namun konkrit.


“ Siapa yang buat ini Mak” Tanya saya kaget meliat proposal yang sangat rapi.


“ Kampus. Amak datang ke mereka. Amak sampaikan niat amak. Mereka gambarlah. Mereka engga minta bayaran. Itu sedekah aja” Kata Ibu. Atas dasar itu mudah bagi saya untuk membuat jadwal pembangunan dan cash flow project. Setahun jadi tuh Panti. Selesai satu, eh malah ibu saya berencana membangun lagi. Para pengurus minta agar panti yang satu ini menggunakan nama ibu saya. Husni Dinar. Ibu saya minta izin kepada saya. “ Pengurus maunya nama panti nama Amak. Apa zeli setuju. “ Saya diam saja. Karena adik adik saya tidak setuju amak terus sibuk, Kawatir kesehatannya. 


Apakah ibu saya berhenti? tidak. Setahun jadi tuh panti kedua. Padahal tidak ada dukungan dari saya. Darimana ibu saya dapatkan dana? “ Disamping dari donatur, ya dari anak amak. “Kata Ibu saya tersenyum. 


“ Ya zel, amak itu tahu kalau dia minta ke lue, lue engga pernah tanya untuk apa. Main kirim saja. Dia pernah beli tanah tampa setahu kita. Eh tahu tahu tanah itu dia wakafkan untuk sosial.” Kata Kakak saya. Saya senyum saja. Kemudian dari OJK dan BI lampung tertarik untuk membantu pembangunan itu. Itupun setelah ibu saya punya lahan wakaf untuk bangun.


“ Zeli engga marah ke amak kalau amak terus aktif di sosial. Boleh ya Nak.” Kata ibu saya waktu saya datang ke lampung beberapa bulan lalu “ Boleh. “ Kata saya memeluk ibu saya. “ Maafkan aku mak, Kadang karena terlalu sayang aku ke amak,  sampai aku lupa perintah Tuhan bahwa misi manusia itu berbuat baik sampai ajal menjemput. “


Tuhan, sehatkan amakku. Karena diusianya diatas 80 tahun, dia tidak pernah berhenti peduli kepada anak anak miskin dan yatim. IBu saya adalah inspirasi saya.


Friday, December 31, 2021

Takdir itu ada pada hukum sunnatullah.

 


Udin ngobrol dengan Sobarun dan Mahdi usai sholat Isya.  Mereka duduk di teras Masjid. “ Din, bini lue itu putih tapi bersih banget. Wajahnya bercahaya. Engga seperti bini kita. Bini lue pasti orang kaya ya Din” Kata Mahdi. 


“ Engga juga kaya. Tetapi memang dia jarang pakai make up. Kalaupun pergi arisan dan pengajian. Dia pakai bedak aja. Itupun bedak racikan dia sendiri. Itu ibunya yang ngajarin. Hari hari dia tidak pakai make up. Mungkin itu sebabnya kulit mukanya bersih”


“ Ah salah din. Menurut istri gua. Itu karena upik sholat lima waktu dan selalu sholat sunah. ya gimana engga bersih. Dia engga pernah lepas dari wudhu.” Kata  Sobarun.


“ Mungkin juga. Saya engga perhatikan.”


“ Lu pakai pelet ya Din. Dapatin dia” Kata Mahdi.


“ Kenapa kamu berpikir seperti itu?


“ Lah lue keling, kerempeng. Cuman hidung doang agak mancung.” Kata Sobarun. Udin senyum saja.


“ Benar ya din, lue  pelet dia.” tanya ulang Mahdi.


“ Ya engga lah. Dijodohin sama orang tua.” Kata Udin. 


“ Din, gua mau tanya. “ Tanya Anan.” Apa benar gula itu bahaya.”


“ Ah bego lu Nan. Yang bahaya itu merokok. Berhentilah merokok. Fakwa ulama rokok itu haram. Karena tidak ada faedah. “ Kata Sobarun.


“ Yang berbahaya itu adalah jiwa yang tidak tenang atau stress. Orang yang mudah stress walau tidak merokok dan tidak makan gula tetap lebih banyak penyakit daripada orang yang merokok dan makan gula. “


“ Maksud kamu apa itu denga jiwa yang tenang.”


“ Berusaha melangkah tidak melewati bayangan diri. Itu tidak akan bisa. Maksain itu akan buat kita stress. Ya tahu diri. Ikhlas. Hidup tidak perlu pintar tetapi cerdas harus.’ Kata Udin.


“ Maksud lue pintar itu apa? ” Tanya Mahdi.


“ Pintar itu, mengukur dengan angka dan waktu.. Artinya orang pintar selalu berpatokan berapa dapat.? Kapan dapat?. Berapa lama kerja agar sukses. Maunya cepat dan kalau ada jalan pintas dia buru walau tidak bijak. Beragama juga begitu. Berapa pahala saya kalau zikir atau sedekah sekian banyak. Di sorga saya dapat apa..? Karena itu selalu stress mikirkan yang belum terjadi. Akhirnya terperangkap jadi teroris. Padahal tidak ada manusia yang bisa menentukan masa depan. Akibatnya,  dia berpendidikan tapi tanpa karakter, dia berilmu pengetahun tapi rasa kemanusiaan kurang, dan peribadatan dia tanpa pengorbanan”


“ Kalau cerdas apa ? Kata Mahdi.


“ Orang cerdas, focus kepada proses. Percaya bahwa proses baik akan menghasilkan baik dan karena itu dia ikhlas. Tahu diri. Kalau harapan bersua dengan kenyataan, dia bersukur. Kalau tidak, dia bersabar untuk terus belajar dari kegagalan. Terus melangkah dengan suka cita. Pastilah bebas stress. Pengetahuan membuat dia kaya lahir batin. Pengalaman membuat dia bijak.” Kata Udin.


“ Tapi bukankah kaya miskin itu takdir dari Tuhan”Kata Sobarun.


“ Yang dimaksud takdir itu adalah prosesnya. Kalau proses benar maka dia sukses. Kalau prosesnya salah, ya gagal. Jadi kalau boleh disimpulkan bahwa takdir itu hukum ketetapan Allah. Hukum sebab akibat.  Sementara kaya miskin itu soal pilihan. Soal tujuannya salah atau benar,  itu juga piihan“ Kata Udin tersenyum sambil menghembuskan asap rokoknya.  Mereka semua terdiam Udin berdiri pamit.


Saturday, December 18, 2021

Hukum alam...


 


“Pah, kok engga ada pakunya rumah ini. “ kata Oma memperhatikan setiap kontruksi rumah adat itu. “ Aneh, gimana bisa berdiri dan kokoh ya” lanjut oma dengan wajah terpesona. 


“ Rumah adat ini terbukti dalam sejarah tahan terhadap gempa dan bencana alam. Hanya  hancur oleh ulah manusia. Perang yang menghancurkannya. Dan kemudian di bangun kembali. “ kata saya mencoba mencerahkan. 


“ Papa belum jawab pertanyaan gua. Gimana bangunnya? Kata oma penasaran.


“ Rumah itu bangun sama seperti orang bangun kapal kuno. Untuk menghubungkan satu kayu dengan kayu lainnya mereka gunakan pasak. Pasak itu dari sisa kayu. Di tanamkan disela sela kayu yang terhubung secara lock. “


“ Lock itu apa ?


“ Lock itu  sudut sambungan kayu dibuat satu sama lain saling berlawanan. Ya sama seperti menyatunya unsur atom. Sehingga seimbangan dan saling mengikat. “


“ Ya kenapa begitu ?


“ Agar sambungan itu kokoh namun flexible. Dengan sistem itu akan membuat bangunan jadi kokoh terhadap goncangan karena gempa.”


“ Kok flexible jadi kokoh?


“ Hukum mekanika kan begitu. Semakin keras sambungan semakin mudah lepas oleh gesekan. Tetapi kalau flexible, ia akan kokoh walau ada goncangan sekalipon” 


“ Oh gitu ya”

“ Kehidupan juga sama. Kita engga boleh terlalu keras menancapkan hubungan kita  dengan orang lain. Ya seperti mama ke pada papa. Kalau mama engga flexible mana mungkin mama ikhlas izinkan papa bisnis di luar negeri dan jauh dari keluarga. Mana mungkin mama izinkan papa punya direksi dan mitra perempuan. Walau tugas suami menafkahi istri, namun papa beri mama kebebasan cari uang dan mandiri. Ya flexible aja.


Begitu juga dalam hal ilmu pengetahuan dan agama. Karena apa yang menjadi prinsip kemarin, bisa saja sekarang kondisinya berbeda. Kalau kita tetap dengan prinsip kemarin, maka  hari ini hubungan kita dengan sains atau agama akan terpisah. Jadi bigot kita. Ya kita harus flexible hidup. Itu yang disebut hidup berakal mati beriman.” 


“ penjelasannya ngerti tapi maksud hidup berakal mati  beriman itu apa sih. “


“ Rezeki memang ditangan Allah, tetapi kita harus rugi dulu baru untung. Kerja dulu baru dapat uang. Keluar biaya dulu baru dapat laba. Nah itu disebut proses hukum alam. Melewati Proses itu kan butuh akal. Engga bisa modal iman doang. Kalau hanya iman menanti rezeki dari Tuhan itu namanya bego. Engga berakal. Begitu juga. Kalau ingin dihormati dan dicintai orang lain, ya hasus mencintai lebih dulu. Berkorban lebih dulu. Kalau selalu meminta, dan berharap cinta akan kokoh ya itu bego namanya. Engga berakal. Paham ya..”


Hidup berproses.

 


Baru selesai makan malam, Udin kedatangan Malih di rumahnya. Sebagai anak rantau Udin berusaha ramah kepada Malih. “ Maaf Din, minta nasehat. “ Kata Malih setelah Kopi dihidangkan upik.


“ Wah, Bang Malih. Salah alamat kalau minta nasehat. Saya ini bukan sarjana. Bukan terpelajar. Hanya orang kampung. Saya hanya tahu sedikit itupun dari keseringan mendengar, membaca dan meliat. Itu aja” kata Udin.


“ Kemarin waktu lihat Lu Din leraikan Sobarun berkelahi dengan  Anan, saya yakin lue orang yang tepat untuk beri nasehat gua. “ kata Malih. Udin senyum aja. “ Gini Din, kenapa hidup gua blangsat terus. Padahal gua sarjana. Apapun usaha dan kerja udah gua coba. Tetapi kerja engga diterima, usaha bangkrut. Gua pernah ikut rukyah, tetapi hasilnya sama saja. Tetap aja blangsat. Apa nasehat untuk gua Din “ lanjut Malih.



“ Berap usia kamu ?


“ 32 tahun. “


“ Kamu sedang berproses. Kegagalan dalam bisnis dan kerja, itu jalan kamu. Biasa saja. Apalagi usia kamu baru 32 tahun. “ kata Udin.


“ Maksud gua, apa kira kira yang pas untuk jalan hidup gua ?


“ Ya engga tahu. Yang paling tahu adalah diri kamu sendiri. Kalau sampai sekarang kamu tidak tahu. Itu bagus. Karena kamu tahu bahwa kamu tidak tahu. Artinya jalan mencari ladang hidup sedang berproses. Sabar aja. Nanti juga ketemu bisnis atau kerjaan yang pas“


“ Sabar gimana Din ?


“ Pandailah bersyukur. Dibanyak keluhan kamu itu, buktinya sampai detik ini kamu masih bernapas dan sehat. Coba kamu sedikit belajar syukur, kamu akan bisa tenang menemukan ladang yang tepat sesuai bakat kamu. Dan kelak bila kamu temukan, kamu akan bersemangat menjalankannya, tanpa rasa takut apapun “


“ Oh Terimakasih Din. Paham gua. Jadi itu pentingnya bersukur. “


“ Ya. “ kata Udin tersenyum. Senang mendengar malih mengerti apa yang dia katakan. 


“ Din, gua mau tanya. Orang China  itu kan kaya kaya. Kenapa mereka tidak berbaur dengan orang kita. Sepertinya mereka menjaga jarak dengan kita. Maunya bergaul dengan sesama mereka saja “ kata Malih.


“ Engga juga begitu. Mereka mau bergaul dengan orang yang sama mindset nya dengan mereka. Siapapun itu. Mereka engga peduli. Bahkan dalam bisnis, walau anak atau adik sendiri engga satu mindset mereka engga mau bisnis. Walau Jawa atas padang seperti saya ini, mereka senang saja bermitra. Karena dianggapnya satu mindset. Kalau nyatanya kebanyakan mereka bergaul dan berbisnis dengan orang china juga, itu kebetulan saja. “ kata Udin. 


“ Tetapi orang china kaya kaya. “


“ Engga semua. Kamu pergi deh ke sengkawang, banyak sekali orang China hidup  di bawah garis kemiskinan.  Engga usah jauh jauh, di kampung Jawa, Kebon sayur jakarta, banyak orang china miskin. Tangerang di teluk naga juga banyak yang miskin. Jadi sama saja dengan kita. Ada yang sangat kaya dan ada yang blangsat. Kaya miskin itu ditentukan oleh sikap mental atau mindset. “ Udin mencerahkan.


“ Oh kaya miskin itu tidak ditentukan oleh suku ya Din. Semua tergantung mindset ya. “


“ Ya. Betul “


“ Bisa kasih nasehat gimana soal mindset itu “


“ Kalau kamu tak mampu menjadi beringin, yang tegak di puncak bukit, jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau. Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Kalau kamu tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, tetapi jalan setapak yang, menuntun orang ke mata air. Tidaklah semua menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya …. Bukan besar kecilnya harta atau jabatan kamu yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu, Jadilah saja dirimu …. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.”


“ Indah sekali Din. Bijak banget lue “kata malih.


“ Itu bukan kata saya, tetapi itu puisi dari Taufik Ismail atau Douglas Malloch yang berjudul Be the Best of Whatever You Are. Artinya siapapun kamu, jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain. “ Kata Udin.

“ Terimakasih din. Gua senang kenal lue. Jadi semangat untuk berjuang dengan tetap  bersukur dan bersabar.


Tuesday, December 07, 2021

Menerima kenyataan.


 



Saya naik Ojol. Supirnya sarjana. Alih profesi karena situasi dan kondisi. Kena PHK akibat COVID. Setahun setelah itu rumah tangga bubar. Anak ikut istri. Alasannya istrinya selingkuh. Dari wajahnya tidak nampak dia stress. Menjawab pertanyaan pun dengan santai. “Istri tertarik dengan pria lain, akhirnya selingkuh. Itu wajar saja. Dia butuh rasa aman. Kebetulan dia tidak aman bersama saya, yang kena PHK dan miskin. “ Katanya.


Itu sebabnya tidak ada yang pantas disebut korban dalam setiap peristiwa. Karena korban juga tidak ada jaminan bersih dari kesalahan. Yang merasa paling benar, bisa saja justru dia penyebab semua masalah. Kira kira itu yang dipahami supir Ojol. Dia tidak ingin menyebut dirinya korban ketidak setiaan istrinya. Saya yakin ada banyak orang seperti supir Ojol ini. Dia tidak suka mendramatisir hidupnya. Biasa aja.


Saya suka, melihat persoalan hidup ini dengan cara sederhana. Apa itu ? Berdamai dengan kenyataan. Itu artinya saya harus membunuh ego saya dan menghilangkan hasrat memiliki. Karenanya saya bisa senyum dalam menghadapi segala masalah. Koruptor itu memang merugikan negara dan memadamkan harapan rakyat lemah. Investasi tumbuh, APBN ribuan triliun, tetapi masih banyak pengangguran dan kimiskinan. Tetapi tidak ada kelaparan seperti di Afrika atau Venezuela, atau seperti era Orla atau era kolonial. 


Itu karena ruang dan zaman semakin terbuka, dan bebas. Orang kaya atau miskin, itu biasa saja. Karena yang kaya bisa saja jatuh miskin dan miskin bisa kapan saja kaya. Pejabat dan rakyat, itu hanya posisi. Kapanpun pejabat bisa jadi pesakitan masuk penjara. Rakyat bisa kapan saja jadi presiden. Lihat contohnya Pak Jokowi. Jadi soal status sosial bukan lagi bagi segelintir orang, tetapi bisa bagi siapa saja. Peluang untuk terjadinya perubahan bagi siapa saja itu terbuka. Masalahnya siapa yang bisa meliat peluang itu? Lagi lagi ini soal kebebasan memilih.


Lantas mengapa kita merasa kawatir dengan kehidupan ini?  Itu karena kita inginkan hidup seperti kita mau. Maunya kita hidup tanpa ada orang jahat, tanpa ada korupsi, tanpa ada orang kikir,  tak ada kemiskinan, tanpa ada orang maksiat. Itu mau kita, ya seperti mimpi negeri khilafah. Emangnya kita pemilik kehidupan?  Bumi yang kita tempati ini dalam gugusan tata surya hanya se-ukuran debu, dan mereka bergerak karena hukum ketatapan Tuhan. Apalah kita sebagai manusia yang mau mengatur hukum sebab akibat yang sudah ditetapkan Tuhan? 


“ Gunakan saja otak reptil yang ada untuk bertahan, dan gunakan otak mamalia untuk menikmati hidup. Dan gunakan otak intelektual dan spiritual kita untuk berdamai bahwa hidup memang tidak ramah. Kalau kita tidak bisa menerima kenyataan, itu artinya secara intelektual dan spiriual kita sudah mati” Kata teman. Saya tersenyum berusaha untuk paham


Thursday, December 02, 2021

Tahu diri.

 




Waktu merantau ke jakarta. Saya hanya tamatan SMA.  Pertama saya datangi adalah keluarga Ibu saya. Selama tinggal di rumahnya saya tahu diri. Pagi setelah sholat subuh saya pel lantai rumah dari dapur sampai ke depan.  Cuci piring kotor. Tetapi belum seminggu. Saya dibawa kerumah sepupu papa saya. Di rumah paman. Saya juga berusaha menempatkan diri sebaik mungkin. Bersihkan rumah. Suapin anaknya makan. Apapun disuruh saya kerjakan.  Namun belum sebulan, saya diantar ke rumah sepupu papa saya yang lain. Baru datang. Ditanya, kapan pulang.  Saya tidak menyalahkan keluarga besar ibu dan papa saya. Kalau sedara saya  tidak mau dibebani itu karena bagi mereka saya tidak ada masa depan. Hanya tamatan SMA. Tidak lulus PTN. Orang tua tidak mampu. Saya tidak iri dengan mereka yang juga tinggal di rumah sedara saya, yang dapat perlakuan baik. Itu karena mereka kuliah di Jakarta. Orang tua mereka mampu biayai. 


Saya tinggalkan rumah sedara saya. Saya jalan kaki dari Senen ke tanah abang dengan ransel dipunggung saya. Tidak ada tujuan. Sejak itu saya bertekad, untuk kerja apa saja asalkan dapat survival. Saya tetap mencintai sedara saya. Tidak ada prasangka buruk apapun. Itu wajar saja. Mereka pasti ada alasan. Kalau saya tidak mengerti sikap mereka. Maka yang pasti salah adalah saya. Bukan mereka. Saya harus berusaha mengerti sediri. Ini hidup saya, tentu hanya saya dan Tuhan saja. Tidak ada urusan dengan orang lain.


Di tanah abang saya buka notes kecil berisi alamat sedara saya di Jakarta. Dia dagang di tanah abang. Sampai di tokonya, dia beri alamat rumah. Saya disuruh ke rumahnya. Pertama kali saya lihat ketika pintu rumah terbuka adalah anak gadis yang masih pakai seragam SMU. “ Bang Jeli ya. Masuklah. “ Katanya tersenyum. Saya ceritakan bahwa saya dari kampung. Mau kerja apa saja. " Tinggal disini aja. Ayah ada usaha konveksi. Abang bisa jahit kan. " Katanya. Saya mengangguk. Dia adalah adik sepupu saya.  Kelak 3 tahun kemudian, gadis yang buka pintu rumah ini jadi istri saya.


Seperti biasa pagi pagi saya bersihkan rumah dari dapur sampai depan rumah. Pagi saya buka toko di tanah abang. Setelah itu saya kerja jahit pakaian kodian. Hanya setahun saya sudah dapat kerjaan sebagai penata buku dan juga ngajar kursus malam hari. Saat itu saya merasa sedikit ada sayap untuk berproses jadi elang. Tidak lagi tinggal di rumah sepupu. Mandiri. Namun setiap minggu hari libur saya tetap datang ke rumah sepupu saya. Apa saja saya kerjain di rumah. Termasuk ngajarin sepupu saya bahasa inggris dan tatabuku.  Kadang kerjakan PR matematikanya. Begitu cara saya berterimakasih.


Kalau akhirnya saya pindah jalur jadi pengusaha. Itu karena perasaan diskrimasi sebagai anak tamatan SMU. Saya merasa lebih keras kerja. Lebih rajin tetapi tetap tidak ada harganya. Saya tahu betapa tingginya status sarjana. Sementara adik saya 5. Saya anak laki laki tertua. Kalau hanya jadi pegawai penatabuku, memang cukup untuk hidup saya. Tetapi bagaimana saya bisa membantu orang tua saya, menjadi tongkatnya dimasa tua.


“ Kalau sudah tahu engga ada masa depan. Engga ada respek, ngapain terus berharap dari kerja. Rasa hormat itu kita sendiri yang ciptakan, bukan orang lain. Kalau orang lain menghargai kita, itu karena kita memang punya nilai jual. Kalau engga, itu salah sendiri. Wajar saja.  Kami etnis China, jangankan jadi PNS, kuliah di PTN aja walau pintar, tetap saja sulit diterima. Ya jadi pedagang  juga engga buruk. Nikmati sajalah hidup ini apa adanya dan tahu diri siapa kita.” Kata teman saya mencerahkan saya.  Kata katanya itu tercata baik di buku harian saya. Sampai kini kami tetap bersahabat. 


Kemarin saya bertemu dengannya.  “ Jel “ serunya “ Dalam usia menua ini, kita harus bersyukur kepada Tuhan. Nikmat terbesar itu adalah kesehatan. Kita berdua engga ada penyakit yang serius. Saya masih bisa setir jauh. Engga ada asam urat, kolestrol , diabetes. Darah tinggi jelas engga ada. Di Spa saya lihat kamu Treadmill bisa satu jam. Itu nikmat lebih dari harta. Apalag anak anak udah mandiri. Walau kita bukan konglomerat tetapi Tuhan beri kita kesehatan.  Itu lebih dari harta apapun. Kalau kita punya  financial freedom, itu karena hidup kita sederhana. Kesederhanan itu kita dapat berkat pengalaman hidup yang pahit, terabaikan dan bangkrut berkali kali “ Katanya.


Politisasi agama

 




Dulu waktu masih usia 20an saya termasuk yang terprovokasi kebencian kepada Syekh Siti Jenar. Hampir semua ajarannya dianggap sesat oleh Guru ngaji saya. Tetapi usia 30an saya berusaha mendapatkan informasi objectif terhadap Jenar. Buku yang ada tidak didasarkan referensi yang kuat. Bahkan sebagian sejarawan  berpendapat bahwa sosok Syeh Siti Jenar hanyalah legenda yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Soal ajarannya “manunggaling kawulo gusti” itu sebenarnya copy paste atas pemikiran dari Al-Hallaj yang mengatakan “ana al-haq”. Ya semacam satire rakyat yang tidak suka kepada Ulama yang melakukan politisi agama untuk dapatkan akses kepada raja.


Tentang sosok pribadi Syeh Siti Jenar dari referensi yang ada. ia hidup pada abad ke-16 Masehi (1348-1439 H/1426-1517 M). Ia adalah putra Syekh Datuk Saleh, adik sepupu Syekh Datuk Kahfi, seorang penyebar agama Islam terkenal di Jawa Barat. Syekh Siti Jenar memiliki hubungan darah dengan dengan Sunan ampel.  Saat beranjak dewasa, Syekh Siti Jenar pergi ke Persi dan tinggal beberapa lama di Bagdad. Setelah itu, ia pergi ke Gujarat dan kembali lagi ke Malaka. Ia menikahi seorang wanita dan memiliki beberapa orang anak, antara lain Ki Datuk Bardud dan Ki Datuk Fardun.


Dari mentor spiritual saya, saya tercerahkan. Setidaknya saya berhenti paranoid tentang Siti Jenar, baik ajarannya maupun pribadinya. Mengapa ? “ Waktu itu ulama dari para wali sangat besar sekali pengaruhnya kepada kerajaan di jawa. Para raja ini memanfaatkan emosi agama agar rakyat patuh kepada raja. Setiap alun alun pasti ada Masjid raya. Dimana mana dibangun masjid. Itu cara politik ulama untuk memperkuat bargain politik kepada penguasa. Jenar, engga suka itu. Dia inginkan agama itu urusan pribadi antara manusia dengan Allah. Tidak ada definisi dan analogikan yang dipaksakan untuk memaknai Tuhan. “


“ Mengapa ? Tanya saya.


“ Kalau Tuhan bisa dianalogikan dan dikondisikan atas dasar dalil agama, maka manusia tidak lagi berTuhan, Tetapi sudah jadi kerumunan yang dikomado oleh iblis berwajah ulama. Mereka akan mudah jadi mangsa kekuasaan. Mudah jadi buih ditengah lautan. Agama sebagai rahmat bagi semua, menjadi rahmat bagi ulama saja. Itulah yang ditentang oleh Jenar.” 


Kala itu banyak pengikut Syekh Siti Jenar. Mereka tercerahkan akan kebebasan Individu dalam beragama dan bersosial. Umumnya rakyat jelata.  Yang diam diam menolak ulama berpolitik. Itu sebabnya atas provokasi ulama, Sultan Demak berusaha menghabisi pemikiran Jenar. Namun setiap berdebat. Para wali kehilangan narasi melawan Jenar. Mengapa ? karena kehebatan ilmu nalarnya ( Ilmu logika/akal). Dalil tentang syariat gampang sekali dipatahkan oleh Jenar. 


Bahkan dengan satire dia bilang. Manusia tidak perlu sholat kalau ingatan mereka tentang sorga dan takut kepada Tuhan masih ada dibenakannya. Tuhan itu sumber cinta, dan dekati Dia dengan Cinta. Manusia bisa mati karena kebencian dan rasa takut, tetapi tidak akan mati karena kemiskinan dan kezoliman penguasa. Karena cinta membuat manusia terus hidup bersama Tuhan. Cukuplah Tuhan dan aku saja. Ya eling lebih utama daripada ritual, apalagi ritual untuk citra politik.

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...