Transformasi dalam arti modernisasi tentu tidak bisa hanya dilihat dari tampilan fisiknya. Tetapi karena Kapitalisme, transformasi adalah visualisasi. Visual mengubah perasaan seperti para istri melihat tas di etalage outlet branded, dia pun jadi konsumen yang ternganga-nganga takjub dan akhirnya memaksa dompet suami keluar. Seperti Jokowi melihat design visual tiga dimensi IKN. Dia terpesona. Ingin segera memilikinya walau harus merengek ke rakyat agar duit APBN disisihkan untuk IKN. Dengan visualisasi, pesona bergeming dengan realitas, bahwa itu hanya ilusi dan persepsi saja namun menguras ongkos sia sia.
Ibukota Negara bernama IKN, dirancang sebagai kota futuristik, yang tidak mungkin mudah dipahami oleh rakyat desa di Jawa, Sumatera atau desa tetangganya di Kalimantan. Jokowi ingin jadikan IKN sebagai transformasi Indonesia mengelola masa kini dan masa depan. Tidak boleh ada kaki lima, bahkan warteg pun tidak boleh ada kecuali jaringan resto international. Pertanyaan nya adalah apakah mungkin bisa terjadi transformasi lewat pembangunan fisik yang divisualisasikan dengan Istana Megah, Hotel Bintang V, MRT tanpa rel, Jalan Tol, High speed train, Fly Taxi, Smart city, dan apalah lagi?
Ketika di Pyongyang, saya melihat Mall yang besar sepi pengunjung dengan SPG tanpa senyum karena digaji ala kadarnya. Tempat wisata sepi pengunjung kecuali hari libur, itupun 80% adalah keluarga tentara. Infrastruktur MRT yang hebat namun sepi penumpang. Jalanan yang lebar dan mulus namun sepi kendaraan. Tida ada geliat kota yang nampak sibuk. Walaupun pemandu dan pejabat pemerintah berusaha menggambarkan Pyongyang sebagai tolok ukur modernisasi Korea Utara yang bergerak menjadi negara makmur, saya mendengarnya hanya tersenyum saja.
Kim Il Song bapak pendiri Korea utara, dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Kim Jong Il, terus ke cucunya, memang tidak hendak membangun Pyongyang sebagai kota kosmopolitan namun dia juga tidak ingin Pyongyang sebagai kota terbelakang. Banyak gedung bergaya retro-futuristik, dengan lengkungan dan kaca, yang kaku. Bangunan tua telah dicat ulang dengan corak permen berwarna merah, hijau laut, dan biru langit. Kalau dari udara memang kelihatan indah. Cara terbaik menyembunyikan kegagalan membangun peradaban.
Politik bisa saja memaksakan anggaran besar dari APBN untuk lahirnya sebuah kota dengan segala infrastrukturnya. Tetapi design kota tidak akan otomatis menjadi design peradaban seperti yang dimimpikan Jokowi terhadap IKN. Di Pyongyang kota penuh icon politik yang bisu tanpa makna. Manusia bergerak tetapi tidak ada transformasi sosial dan budaya, apalagi ekonomi. Juga terjadi di Myanmar pada ibu kota baru Naypyidaw, yang terletak sekitar 320 km di utara Ibukota lama, Yangon. Hampir semua negara yang memindahkan ibukotanya, gagal membangun kota seperti visualisasi design.
Kim, mungkin juga Jokowi lupa, bahwa sebuah kota adalah sebuah peradaban yang terbentuk dari adanya magnitudo kota sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat ekonomi, pusat kebudayaan. Dan magnitudo tidak bisa di create oleh Politik UU, tetapi oleh geografi sebagai hub pelabuhan dan pusat persinggahan yang ramai. Itu sunnatullah. Dari sana social budaya kosmopolitan terbentuk lewat proses panjang dari abad ke abad. Roma tidak dibangun dalam sehari." Setiap proses yang layak dilakukan atau layak dibangun memerlukan waktu.”Tidak ada yang terjadi dalam semalam”. Pahamkan sayang..
No comments:
Post a Comment