Tuesday, December 24, 2019

Rakus itu buruk.


Ada teman saya tahun 2000 dia masih kere. Pernah tunggu saya di lobi hotel selama 2 jam hanya untuk dapatkan uang beli susu anaknya. Tapi tahun 2010, dia sudah kaya raya. Bagaimana bisa? dia dapat boss besar, yang membantu dia bisnis kedelai. Kebetulan melalui ormas keagamaan dia dikenalkan dengan menteri perdagangan. Dia dapat izin impor kedelai. Belakangan dia juga dapat izin impor garam. Semua modal dari boss besar. Dia hanya terima fee. Dari fee itu setiap kali impor dia dapat miliaran rupiah. Kerjaannya hanya elus elus telor menteri dan Ketua Ormas keagamaan. Dari itu dia hidup di kawasan mewah dan bergaya hedonis.

Ada juga teman saya yang tadinya hanya pedagang perantara obat dari Singapore. Usaha itu bangkrut karena keagenannya dipegang oleh pabrik obat di Indonesia. Istrinya minta cerai. Anaknya 3 tinggal dengan orang tuanya di Medan. Tahun 2004, dia sudah kaya raya. Itu karena kedekatannya dengan Partai dan Ormas keagamaan, dia punya akses ke pejabat BPPN. Dari sana dia dapat asset dengan harga murah. Uangnya dari cukong di Singapore dan dia dapat fee saja. Belakangan dia dapat bisnis buka hutan untuk kebun sawit. Semua modal dari Singapor. Setelah hutan dibakar, dan sawit ditanam dia dapat fee dari Singapore lewat skema akuisisi, jasa buka lahan. Kini tiga anaknya sekolah di AS.

Cerita lain, teman saya tadinya hanya pedagang hasil bumi antar pulau. Tidak pernah berkembang. Namun ketika booming batu bara , dia kenalan dengan Ketua Partai dan Ormas. Dari sana dia dapat konsesi tambang. Duit dia dapat dari investor di China. Semua alat berat dan biaya exploitasi dari Cina, dan China pula sebagai pembeli. Praktis dia hanya duduk manis, dapat uang sekian dollar dari setiap ton batu bara yang diekspor. Setiap tahun jutaan dollar dia dapat. Terakhir saya ketemu dia, kendaraanya seharga miliaran rupiah. Katanya dia punya 11 mobil mewah di rumah dan selusin jam tangan mewah yang rata rata harganya per unit diatas USD 200.000. Artis tenar dia jadikan kucing piaraan.

Ada juga teman yang kaya raya karena dapat konsesi bisnis infrastruktur. Dia dapat goodwill fee miliaran rupiah dari jual konsesi itu kepada investor asing lewat skema JV dan akuisisi setelah proyek jadi. Makanya dia rajin sekali elus elus telor pejabat. Dari TNI, politisi, ormas dia rangkul mesra agar segala kemudahan dan fasilitas dia dapat. Ada juga yang kaya raya dari melobi BUMN yang pegang duit banyak seperti Dapen dan Asuransi. Dia atur skema investasi, atur pejabat terkait agar meloloskan skema itu. Dari sana dia dapat miliaran uang dengan mudah. Tanpa resiko. Secara legal dia tidak terlibat. Kalau terjadi apa apa dikemudian hari dia hanya senyum. Yang masuk bui direktur BUMN dan pejabat itu.

Celah korupsi di negari ini sangat banyak. Engga perlu ngerampok APBN. Itu cara jadul. Era sekarang caranya canggih, dan selalu ikuti peraturan yang ada. Dari aturan itulah korupsi sistematis terjadi, dan membuat kita tidak pernah mandiri dan tidak pernah bisa mensejahterakan rakyat. Karena dampaknya menimbulkan bubble rente yang semakin memperlebar Rasio GINI. Tahukah anda betapa buruknya korupsi semacam itu. "Seumpama korupsi di bidang pertambangan bisa dihapuskan, setiap kepala orang Indonesia mendapat uang gratis dari negara Rp 20 juta tiap bulan. Begitu kayanya. Belum lagi korupsi di bidang lainnya kehutanan kelautan, wah kaya sekali kita ini," kata Mahfud di Perayaan Natal Kebangsaan Korps Brimob di Mako Brimob, Cimanggis, Depok, Jumat (10/1/2020) malam. Tugas Jokowi sangat berat. Dan tentu sangat mulia bila bisa mengganyang praktek korupsi semacam itu.

***
Suatu saat saya sedang bersama pejabat. Dia minta maaf karena harus terima telp dari luar negeri. Saat bicara via telp, saya perhatikan, itu bukan masalah bisnis atau tugas negara. Itu terkesan bicara dengan kekasih atau WIL. Setelah usai bicara dia tersenyum kepada saya “ Sorry. “ katanya. “ Ya maklumlah wanita. Dia lagi di Swiss. Dia butuh izin saya untuk beli jam limited edition” Katanya tersenyum penuh arti. Saya tahu itu bukan istri tetapi WIL. Bayangkan hanya untuk WIL dia keluar uang puluhan ribu dollar hanya untuk jam tangan. Itu sama dengan gaji tahunan buruh pabrik atau Sarjana baru tamat kuliah.

Kalau anda punya uang cash di tabungan Rp. 2 miliar saja, itu artinya anda termasuk 10% komunitas di dunia. 90% engga ada duit sebanyak itu. Kalau anda punya uang Rp. 10 miliar saja di rekening, itu artinya anda termasuk 1% komunitas dunia. Artinya 99% tidak punya uang sebanyak. Kesenjangan itu dari tahun ketahun , terus melebar. Teman saya sempat engga percaya dengan ungkapan saya. Saya analogikan secara sederhana. Berapa kamu keluar uang sehari untuk bayar bill makan dan minum? rata rata Rp. 2 jutaan sehari. Nah itu sama dengan 50% gaji UMR Jakarta. Begitulah timpangnya penghasilan.

Bandingkanlah gaji Direktur BUMN dengan gaji Manager. Itu puluhan kali beda. Kalau dibandingkan dengan buruh, itu ratusan kali. Belum lagi financial freedom yang dinikmati orang berduit. Dari kemudahan KPR, Credit Card dan beragam side business yang mendatang passive income yang tak kecil. Bayangkan pejabat TGUPP DKI punya jabatan rangkap sebagai dewas di beberapa rumah sakit daerah. Kader partai jadi komisari di BUMN. Tokoh ormas hanya kenalin pengusaha dengan elite politik untuk melancarkan deal bisnis, dapat uang miliaran sebagai donasi yang tak tercatat. Uang sebanyak itu mungkin umatnya tidak pernah liat, tak mampu bermimpi mendapatkannya.

Mengapa kesenjangan pendapatan itu terus melebar. Tidak hanya di negara kapitalis, di negara komunis dan sosialis juga sama saja. Mengapa ? karena politik by design menciptakan fenomena bahwa “ kalau anda punya uang banyak, anda cenderung mendapatkan kebebasan untuk dapatkan lebih banyak. Kalau anda punya uang sedikit, jangankan bertambah banyak, lambat laun kolor pun sudah susah beli. Kalau tadi ganti setiap hari, mungkin besok harus ganti dua hari sekali “ Engga percaya. Kalau anda punya utang di bank di bawah Rp. 1 miiar , anda akan dikejar oleh bank. Kalau engga bayar maka aset disita. Tetapi kalau anda punya utang ratusan miliar, bank bermanis muka dengan anda dan berusaha memberikan solusi lewat pemberian utang baru. Begitulah.

Begitu rakusnya design politik dan memang ujungnya tidak ada keadilan. Salah? tentu tidak bisa seenaknya kita menyalahkan ini. Kalau ingin tahu keadilan Tuhan, jangan kamu lihat realitas kehidupan. Tapi lihatlah ekosistem di alam semesta. Setiap materi dan makhluk selain manusia, punya sistem saling mengendalikan , saling mempengaruhi , saling beradabtasi untuk mencapai keseimbangan dan kokoh. Hewan predator tidak akan memangsa kalau dia tidak lapar. Kalaupun dia memangsa, tidak pernah melebihi dari isi perutnya. Senyawa kimia semacam natrium klorida (NaCl) yang terdiri dari Natrium ( Na) dan Clor (Cl), itu terbentuk karena susunan elektron keduanya sama. Sama sama gas mulia. Terjadinya ikatan Na dan Cl itu karena faktor mencari keseimbangan. Keadilan. Karena itu engga enak makan tanpa garam.

Namun manusia, tidak punya sistem keseimbangan seperti alam dan makhluk lain. Manusia memangsa melebihi isi perutnya. Manusia bukan hanya butuh makan tetapi juga butu rasa aman dari lapar. Maka stok pangan harus ada. Pada saat anda stok pangan di gudang, dan kebun, ada orang lain yang tidak punya kesempatan bisa makan lebih. Ketika anda menyimpan uang di bank karena ingin terus makan tanpa kawatir, ada orang lain yang bingung gimana makan pada hari ini dan besok. Setiap jengkal tanah yang anda miliki ada sekian orang yang tidak punya tanah. Ketika anda membeli satu rumah, ada orang yang tidak punya ramah. Ketika anda menambah rumah, ada orang yang bingung cicil rumah.

Mengapa ? karena manusia bukan bagian alam tapi alam diciptakan untuk manusia. Makanya kalau ada teori Darwin mengatakan bahwa manusia itu berasal dari hewan, maka jelas dia tidak paham hakikat manusia. Mengapa ? hewat terikat dengan ekosistem. Sementara manusia tidak. Sebagian sifat Tuhan ada manusia. Yaitu free will. Karenanya manusia bisa menjadi mesin perusak ekosistem di bumi. Lingkungan rusak demi bekerjanya mesin kapitalis. Hewan punah bukan karena tidak ada makanan, tetapi dimakan oleh manusia. Kuda hanya makan rumput. Tetapi manusia makan segalanya.

Tapi skenario Tuhan tidak pernah salah. Manusia tetaplah diciptakan untuk memakmurkan bumi. Untuk mengawal terjadinya keseimbangan di alam semesta. Itu sebabnya manusia diberi akal dan hati. Dengan akal manusia bisa menterjemahkan pesan Tuhan dari adanya hukum alam, hukum ekosistem. Dengan hati manusia diberi kebijakan untuk beriman dan melaksanakan pesan Tuhan itu dengan rendah hati.  Saya bersyukur walau berteman dengan orang orang seperti cerita diatas, saya tidak kaya dengan cara seperti mereka. Walau karena itu saya bukan konglomerat tapi saya bahagia dengan hidup sederhana. Memang saya belum bisa berbuat banyak untuk negara tetapi setidaknya saya tidak ikut merusak negara.

Apapun di dunia ini bisa kita beli. Tetapi tidak akan bisa membuat kita puas dan merasa hidup. Kecuali tiga hal kita bisa lakukan. Pertama, kita bisa makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Kedua, mendapatkan kedamaian dengan cara sederhana. Ketiga, menemukan Cinta di saat kita memberi. Apabila ketiga hal itu bisa kita lakukan dengan suka cita, maka fungsi akal dan hati akan bisa membuat kurang menjadi cukup. Membuat panas menjadi sejuk. Membuat perbedaan menjadi rahmat. Membuat pahit menjadi manis. Membuat sempit menjadi lapang. Keadilan? Kalau dunia ini serba adil, tentu otak tidak diperlukan. Justru karena ketidak adilan terjadi, orang memaksa pakai otaknya. Lantas gimana mengatasinya? jadilah orang smart. Pintar boleh tapi jangan bego. Mengapa ? Bagi orang cerdas, orang pintar jadi mesin uang. Beriman boleh tapi jangan bigot. Mengapa ? bagi orang cerdas, orang beriman bisa jadi mesin uang. Cerdaslah! Rakus itu adalah kebodohan yang sia sia.  Semesta ini tidak cukup untuk satu orang rakus. Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed.” Hiduplah berakal agar mati beriman.


No comments:

Kualitas elite rendah..

  Dari diskusi dengan teman teman. Saya tahu pejabat dan elite kita   berniat baik untuk bangsa ini. Namun karena keterbatasan wawasan dan l...