Tahukah anda, berapa miliar umat Katolik ingin makan semeja makan dengan Paus, dan mereka tidak bisa. Jangankan makan bersama, bersalaman saja sulit bukan main. Tetapi secara vulgar Paus mencium kaki para pengungsi dan nara pidana muslim, saat upacara Misa Kamis Putih setiap tahun, hingga membawa pengungsi Muslim masuk Vatikan dan makan bersama di satu meja makan di kediamannya. Itulah perjuangan panjang Paus untuk menghentikan permusuhan karena perbedaan agama. Ia tidak meninggikann dirinya tetapi merendahkan dirinya. Lambat namun pasti , sejak tahun 2013 berangsur angsur Umat islam, terutama bangsa Arab bisa menerima pesan damai dari Paus itu.
Bulan desember ini, Paus berkunjung ke Uni Emirat Arab, yang memang sudah lama beliau dambakan. Sejak tiba di bandara, dijemput dengan musik khas Arab, salute para serdadu, dan penjemputan di istana dengan atraksi jet-jet tempur di langit UAE dengan semburan asap berwarna kuning dan putih melambangkan bendera Vatikan. Setiap tatapan mata, setiap rangkulan, setiap gandengan tangan, setiap kata, setiap isyarat, setiap simbol menjadi tanda istimewa syarat makna, syarat pesan. Di berbagai kesempatan, beliau menyerukan pembangunan “jembatan“ dan bukan “tembok“, kerukunan, perdamaian, dan berbagai opsi kemanusiaan lainnya.
Tadinya setelah Perang Dunia Kedua, Eropa dibagi-bagi antara Uni Soviet ( komunisme) dan negara-negara Barat ( Kapitalisme). Soviet kemudian mendirikan "Tirai Besi" yang memisahkan Timur dari Barat. Tembok pemisah Jerman Barat dan Timur dibangun. Tapi 9 November 1989, tembok itu runtuh. Bukan karena perang. Tetapi karena komunisme gagal mentunaikan janjinya memakmurkan rakyat. Paska krisis Lehman dan berujung terjerembabnya Wallstreet tahun 2008, tembok Kapitalisme juga runtuh, ditandai dengan di amandemen nya UU Glass-Steagall. Tidak ada perang yang sesugguhnya, Kapitalisme dikalahkan oleh dirinya sendiri. Sama halnya dengan runtuhnya tembok Berlin sebagai simbol runtuhnya komunisme.
Perang sentimen Agama di Suriah, antara Suni-Syiah, islam -Kristen, akhirnya tidak ada yang menang. Yang ada adalah korban dari semua pemeluk agama. Padahal masalah Suriah awalnya karena krisis pangan dan ekonomi , yang terseret arus glombang Arab spring. Agamanya hanyalah sebagai pemicu terjadinya perang proxy yang memakan korban tak terbilang. Tetapi perang Suriah menandakan runtuhnya politisisasi Agama. Suriah adalah panggung drama kolosal yang mempertontonkan kerakusan perang atas nama agama, dan kini menyadarkan semua orang. Politisasi agama harus ditinggalkan. Harus !!!
Paus Fransiskus dalam pertemuan lintas agama di Masjid Founder’s Memorial di Abu Dhabi dan di hadapan petinggi UAE serta wakil-wakil dunia Islam dan Katolik, berpidato tentang hidup damai, dan menandatangani sebuah deklarasi dan dokumen bersama tentang Persaudaraan Manusia Universal demi kerukunan dan perdamaian manusia sejagad. Itu sama dengan pidato Dengxioping tahun 1979, yang mengatakan “ mau kucing hitam ( agama) , atau merah ( komunis) , yang penting bisa berproduksi. “ Untuk bisa produksi tentu hidup harus damai. Sama dengan sikap Obama ketika meremove UU UU Glass-Steagall dan sikap Mikhail Sergeyevich Gorbachev, yang menerima runtuhnya tembok Berlin.
Pesan dari deklarasi dan dokumen bersama tentang Persaudaraan Manusia Universal, adalah berhenti menggunakan nama Tuhan untuk menghalalkan kekerasan, terorisme dan pembunuhan, tetapi juga berhenti menginstrumentalisasi agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Berhenti pula menekan orang lain dengan menggunakan kuasa yang bekedok agama. Lebih lugas, lebih jelas dan lebih terang dari ungkapan-ungkapan seperti ini tidak ada lagi. Anak-anak kecil hingga kakek dan nenek, orang bersekolah dan orang buta huruf bisa memahaminya. Tidak butuh interpretasi, tidak butuh penjelasan. Berhenti artinya berhenti. Dikotomi Komunisme dan Kapitalisme dalam sistem idiologi sudah lama pudar, dan tahun ini dikotomi agama berangsur angsur akan pudar. Dunia mengarah kepada kehidupan yang lebih baik, lebih damai..
No comments:
Post a Comment