Sehari sebelum pulang ke Jakarta, teman sengaja mengundang saya makan malam bersama keluarganya. Tempat yang dipilihnya adalah Sky dining , yang terdepat di element building, Kowloon. Ini tempat yang sangat berkelas dan tentu mahal sekali. Karena tak banyak orang kaya yang bisa makan malam ditempat ini. Usai makan malam itu, saya melirik bill yang diajukan oleh pelayan restoran. Jumlahnya sama dengan gaji tiga bulan TKW di Hong Kong atau sama dengan gaji Pejabat eselon 1 di Indonesia. Mau tahu berapa bill nya ? HKD 8500 atau Rp. 10 juta rupiah! Ketika membayar bill itu nampak dia melirik kearah saya. Mungkin dia melihat ada sesuatu diwajah saya makanya dia berkata, ini hanyalah uang namun kesenangan dan layanan yang ramah tak bisa dihitung dengan uang. Katanya. Saya hanya tersenyum. Namun setelah usai makan malam, kami berjalan keluar restoran itu, saya berkata bahwa memang hanya uang dan seharusnya memang tidak perlu membeli kemewahan dengan uang. Inilah yang membuat dunia menjadi tidak adil. Kata saya.
Mengapa ? tanyanya. Ada kesan dia kurang memahami soal kata kata saya itu. Menurut saya ,agama saya mengajakan banyak hal tentang kesederhanaan diatas tumpukan harta dunia. Kesederhanaan ini tak lain agar kami semakin dekat dengan orang miskin dan merasakan penderitaan mereka untuk berkorban membantu mereka. Banyak sekali dalam Al Quran berbicara soal membantu orang yang lemah ini. Dia tersenyum sambil berkata , ya suatu ajaran yang agung , yang oleh mereka yang berkuasa di Timur Tengah ditenggelamkan dengan kebisingan benda-benda impor dan dengan suara angker pemuka agama yang hanya mengukuhkan kebekuan pikiran dan kekuasaan oligarki. Menurutnya kata kata saya itu akan antusias didengar oleh orang miskin di sekitar jazirah Arab , Indonesia, juga tidak jauh berbeda dari apa yang dirasakan orang Kristen miskin di benua Amerika. Benarlah, uang adalah sumber ketidak adilan, ketika keikhlasan hilang maka manusia menjadi budak. Katanya.
Dua minggu lalu saya sempat membaca berita lewat media internet. Dua orang bocah berasal dari Pariaman Sumetara Barat, terpaksa makan tanah karena orang tuanya tak mampu memberi makan. Mereka keluarga miskin dan kedua anaknya mengalami penyakit buruk gizi. Tak jauh dari Pariaman, ada ratusan ribu ladang Sawit yang membuat ribuan orang kaya hidup mewah di Jakarta, makan malam berkelas di Orchard Singapore dan memberikan hadiah bagi selirnya jam tangan berlapir emas dan bertaburkan berlian seharga ratusan ribu dollar. Benarlah, bahwa kemiskinan adalah ketidak adilan yang dipertontonkan dihadapan siapapun. Rumah mewah, tempat hiburan mewah, mobil impor mewah dan lain sebagainya kemewahan bersanding dengan kemiskinan. Hebatnya jarak itu semakin hari semakin timpang. Bayangkanlah makan direstoran Jepang di Indonesia sama dengan gaji dua bulan pekerja kelas bawah atau sama dengan gaji kelah menengah di Indonesia dan lima kali dari gaji buruh tani…
Kemiskinan, dan terutama ketidakadilan yang mencekik dalam konteks kemiskinan itu, memang persoalan yang bagi Dunia Ketiga merundung siapa saja yang peka dan prihatin. Dan bagi sebagian para pegiat dakwah tegaknya syariah islam, keadaan itu menorehkan rasa pedih yang lebih, karena sementara umat mereka tertindas, Masjid dan mushollah mereka tegakkan namun ketidak adilan tidak pernah kunjung tegak. Mereka memprotes, mereka ingin menegaskan lagi bahwa Allah dekat kepada mereka yang miskin dan mengecam yang kaya yang tak peduli, dan mereka pun mengerahkan dalil agama untuk memihak kepada yang dianiaya secara lebih tegas. Komunitas islam Indonesia yang sebagian besar adalah lautan buruh tani dan nelayan, harus tampil memimpin perubahan untuk tegaknya keadilan. Nah, kalau begitu harus ada upaya transformasi dari kehidupan beragama sehari-hari menjadi suatu kesadaran baru untuk perlawanan. Katanya.
Teman saya itu mengatakan seakan mengamini bahwa inti persoalannya adalah kemiskinan, atau lebih tepat lagi ketidakadilan. Dan seperti terlihat dalam sejarah dan ekspresi agama manapun, inti itu tak bisa dilepaskan dari soal iman. Saya tegaskan bahwa dalam Islam adalah bagaimana kita berpegang kepada harapan tentang sebuah sumber AL Quran dan hadith untuk menterjemahkah hakikat adil itu sendiri. Saya teringat Firman Allah dari Surat Abasa (Al Quran 80:42) yang sampai menegur Rasul karena asyik mencerahkan para orang pintar dan sempat mengabaikan ( bermuka masam) orang buta yang miskin yang lapar pengetahuan untuk sebuah pencerahan. Mengabaikan mereka yang miskin untuk bertanya saja Allah marah apalagi mengabaikan mereka dari keadilan, dan rasa lapar...