Kemarin terjadi debat antar dua orang teman tentang
sesuatu yang berhubungan dengan agama. Masing masing mengajukan dalilnya dan
akhirnya terjadilah perang dalil. Saya yakin ini tidak akan ada titik temunya. Apalagi
diskusi itu diliputi hawa nafsu: ego merasa paling benar dalilnya, yang lain
salah. Makanya saya tidak mau ikut
terlibat dalam diskusi, dan hanya masalah waktu sayapun akan keluar dari
diskusi itu. Mengapa ? Keduanya sebetulnya tidak ada yang salah karena keduanya
bersumber dari Al Quran dan hadith. Namun ketika ia menjadi dasar keluarnya dalil
untuk keyakinan bersikap maka terbelah lah pandangan. Bagaimana seharusnya? Jangan pegang dalil yang hanya menguntungkan kita tapi pegang dalil yang membuat kewajiban terlaksana dan orang lain merasa damai karena itu. Bahwa saya tahu dalil
bagaimana seharusnya istri bersikap terhadap suami, dasarnya Firman Allah “ Ar
rijaalu wqawwamuun ‘alaa nisaa -Q 4:34 – (Lelaki adalah pemimpin bagi kaum
wanita) dan kemudian Hadis Nabi “Lau kuntu aamiran ahadan an yasjuda liahadin,
la amarty al mar ata n tasjuda lizaujiha - HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim - (Kalau
sekiranya aku (diizinkan Allah) memerintahkan seseorang agar sujud kepada orang
lain, niscaya aku akan perintahkan seorang istri agar sujud kepada suaminya). Perhatikanlah
firman Allah dan hadis menguatkan betapa pria itu bergitu istimewanya dihadapan
agama. Sehingga suami punya dasar memaksa istri patuh tanpa syarat kepada suami.
Harus melayani seperti yang suami suka. Harus menjadikan suami sebagai prioritas.
Harus membuat suami nyaman seperti layaknya escort. Tapi dalil itu tidak
pernah saya jadikan pegangan dalam memimpin rumah tangga.Tidak pernah !
Dalil yang saya gunakan adalah Al Jannatu tahta
aqdaamil ummahaat (Surga dibawah telapak kaki ibu) bahwa istri saya adalah ibu
dari anak anak saya. Ia adalah manusia yang sangat dihormati didunia ini oleh
anak anaknya dan kewajiban anak anak kepada ibumya jauh lebih banyak dibandingkan
kepada saya ayahnya. Juga hadis Rasul yang dirawikan oleh turmudzi “ Akmalul
mukminiena iemaanan ahsanuhum khusluqan wakhiyaarukum khiyaarukum linisaaihim (
Mu'min terbaik adalah yang terbagus
akhlaqnya. Yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik terhadap
isterinya). Itulah dalil sebagai dasar saya memimpin rumah tangga, sebagai suami. Karena dalil itu membuat saya bersabar dengan kekurangan dan kelambanan istri dan mendidiknya dengan sabar untuk seperti yang saya suka. Saya
tidak akan kecewa bila istri saya jarang berias dirumah karena sibuk dengan
anak anak. Saya juga tidak mengeluh bila istri minta tolong dipijitin. Saya juga tidak akan membentaknya hanya karena dia bawel. Karena dalil
itu juga walau saya tahu suami boleh menikah lagi sampai empat ( An-Nisa (4):3) namun itu tidak pernah saya gunakan atau jadi pegangan saya. Sebaliknya, istri
sayapun tidak pernah menggunakan dalil akan haknya tapi dalil yang menjadi
kewajibannya kepada suami. Artinya kami berusaha mengambil dalil yang bukan
menjadi hak kami dan memegang dalil yang menjadi kewajiban kami. Karena itulah mungkin kami bisa berdamai dalam diam, tanpa perlu merasa
siapa yang paling utama,karena yang utama tetaplah Allah.
Begitu juga kita tahu dalil tentang
kepemimpinan dalam Islam “Atie’ullah wa athie ur rasuula wa ulil amri minkum
( taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada RasulNya dan kepada para pemimpin
diantara kalian).Ini kadang dipakai oleh pihak yang membangun haraqah atau
partai atau Negara, yang menegaskan bahwa patuh kepadanya sama saja patuh
kepada Allah dan Rasul. Sehingga tidak aneh bila pengikut yang termakan dalil
ini sudah seperti orang mabuk candu. Siapapun tidak lagi dianggap kecuali pemimpinnya. Bahkan
diluar pemimpinnya adalah kafir. Tidak syari. Seharusnya dalil itu tidak
digunakan oleh pemimpin untuk menghipnotis pengikutinya atau rakyatnya agar setia.
Tapi gunakan dalil berdasarkan firman Allah surah Shad ayat 26, “ Hai Daud,
Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (pemimpin) di muka bumi, Maka
berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…”
Kepemipinan itu adalah pemberian dari Allah,maka ia disebut amanah Allah.
Caranya hanya dua “berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsu”. BIla pemimpin
,siapapun itu , apapun level kepemimpinannya dia menggunakan dalil tentang
kewajibannya “ berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsu” maka rasa hormat dan setia dari pengikutnya
akan datang dengan sendirinya. Persatuan umat menjelma atas dasar kasih sayang dan Allah akan menolongnya. Karena ia menjadi wakil Allah. Makanya para pendiri negara kita menempatkan “persatuan Indonesia” setelah sila
kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya pemahaman Tauhid harus diikuti oleh sifat adil dan beradab. Begitulah
arif dan bijaksananya para pendiri Negara menggunakan dalil dalam membangun negara bernama Indonesia.
Yang sering dilupakan orang ketika melihat
hadith Nabi adalah bahwa jarak kemunculan hadis itu dengan kita lebih dari 1500
tahun, bahwa para imam hadis, seperti Iman Bukhari, Imam Muslim, dan lain lain
hanyalah mengumpulkan hadis dengan sangat sanad-sanadnya- Kemudian dalam
rentang lebih dari 1000 tahun itu , dari kumpulan hadis itu muncullah pemikiran
para ulama hebat dengan membangun dalil tentang Tauhid, economy, politik, dan
lain lain. Semua itu ditulis menjadi karya kitab fenomenal dizamannya. Keadaan ini terus
berlangsung sampai kini. Tanpa disadari dalam perkembangan zaman dari masa
kemasa, Al Quran dan hadis tetap tidak berubah namun dalil berkembang sehingga
membentuk banyak golongan dalam islam. Sebetulnya perbedaan itu adalah rahmat. Namun bila nafsu kepentingan pribadi dan golongan yang dikedepankan maka bisa saja masing masing golongan merasa benar dan
saling mengkafirkan. Selagi islam dimaknai dengan nilai dan "membacanya" dengan
hati tanpa melibatkan hawa nafsu , yakinlah islam itu tidak rumit dan sangat mudah,sangat
menentramkan...ia menjadi cahaya untuk rahmat bagi Alam semesta..