Jonan ketika dia sampai dipuncak
karirnya sebagia TOP executive Citibank , dia memilih mundur dan mewakafkan
hidupnya untuk negara. Dia bekerja di PT.KA , gajinya hanya 10% dari gajinya di
CItibank tapi karena itu PT.KA sukses. Kini dia jadi Menteri gajinya hanya 20%
dari gajinya di Citibank dan dia akan menjadikan Insfrastutkur transfortasi
Indonesia berkelas dunia. Ridwan Kamil sebelum menjadi walikota ,honornya sudah
6 digit sebagai arsitek kelas dunia. Jabatannya sebagai walikota tidak membuat
income nya bertambah malah defisit. Tapi pengabdiannya sebagai walikota Bandung
menghasilkan prestasi lebih baik dibandingkan walikota sebelumnya.Ibu Susi, sebelum jad Menteri Kelautan
adalah pengusaha sukses dibidang perikanan dan penerbangan. Walau gaji menteri hanya 5% dari gajinya sebagai CEO kelompok usahanya namun dia
tidak menolak untuk diangkat sebagai menteri. Mengapa? Jokowi tidak memberikan
janji gaji dan fasilitas tapi Jokowi memberikan jalan baginya untuk
melaksanakan visi dan misinya ujntuk berbuat sesuatu bagi nelayan pada
khususnya dan negara pada umumnya. Liatlah prestasinya ketika menjabat Menteri.
Jokowi sebelum jadi walikota Solo akhirnya jadi presiden adalah pedagang
berkelas dunia yang punya outlet perdagangan dibeberapa negara. Mereka , Jonan,
Ibu Susi, Ridwan Kamil, Jokowi, bukanlah tergolong konglomerat tapi
mereka mapan secara materi. Karena itulah mereka tidak ragu untuk berbuat baik
dan tidak mungkin bisa disuap.Mereka sudah selesai dengan dirinya.
Mereka pekerja keras sejak usia muda.Mereka
kreatif dan mandiri. Pada usia relatif muda mereka sudah mapan. Pada usia
produktif bagi ukuran orang Indonesia karena
belum masuk usia pension, mereka menentukan sikap untuk memilih jalur
pengabdian lewat kepemimpinan di Pemerintahan. Ini merupakan langkah yang
sangat ekstrim bagi ukuran manusia pada masa kini. Dimana orang berlomba lomba
untuk mengejar kesenangan diri dan menumpuk harta. We should live and labor in
our time that what came to us as seed may go to the next generation as blossom,
and that what came to us as blossom may go to them as fruit. This is what we
mean by progress. Demikian yang ditulis oleh Henry Ward Beecher dalam bukunya.
Mungkin ini pula yang menggerakkan hati mereka untuk keluar dari kehidupan yang
menjanjikan kemewahan kepada kehidupan yang lebih banyak menuntut pengorbanan. Mereka
ingin membentuk masa depannya dengan lebih berarti. Setidaknya dengan kemampuan
yang dimilikinya mereka bisa memberikan harapan kepada rakyat khusus yang duafa
bahwa masa depan bukanlah yang
mengkawatirkan. Inilah salah satu berkah dari sistem demokrasi dimana orang
baik akan mendapatkan ruang untuk berbuat dengan umur dan pontesinya, dan
mereka membuktikan itu.
Sikap mereka tersebut
mengingatkan saya tentang seoranag sahabat yang dalam satu kesempatan pernah
mengungkapkan kepada saya bahwa masa depan tidak mencuatkan paralelisme antara
ruang, jarak, dan waktu. Tentu masa depan bukan reproduksi kehidupan kelampauan
dan ke-masa-mendatangan yang unpredictable. Bagaimanapun masa depan merupakan
kausalitas perjalanan tentang substansi ''keberadaan'' (eksistensi) dan
beraktualisasi tentang hidup itu sendiri. Pun rekonseptualisasi mengenai masa
depan, tiadalah nilai kesejarahan hidup masa silam yang diterima. Sebagai masa
depan, manusia dituntut -mengutip Dr Zhivagonya dalam novel Boris Pasternak-
untuk membentuk kembali hidup. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang meng
“nol” kan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru dalam dimensi baru. Sikap mereka
seakan menegaskan tentang semangat juang untuk berbuat lebih untuk orang lain ,
yang mereka yakini sebagai wahana yang lebih bernilai dari apa yang sudah
mereka capai. Memang bahwa manusia dilahirkan buat Hidup, bukan untuk
bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan
kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya. mempertimbangkan masa depan adalah
membentuk kembali hidup. Berdasarkan pertimbangan semacam itulah, permenungan
masa depan dimulai agar tidak menghadapi kecemasan, dus merugi. Bukankah dalam
rentang waktu, kehidupan manusia senantiasa merugi, ''Wal ashr. Innal insaana
lafii khusrin.''
Bangsa Indonesia sebagai
komunitas dunia , seharusnya memandang masa depan dengan mata hati dan bukannya
mata gelap. Di tengah kepayahan yang menimpa bangsa ini akibat rezim masalalu diperlukan
kearifan tersendiri untuk memandang masa depan. Setidaknya bagi mereka yang
sudah terlalu kaya karena korupsi atau manipulasi tanpa tersentuh hukum untuk
meng “nol” kan dirinya ; memulai sesuatu yang baru dan lebih bernilai. Agar
masyarakat bangsa ini memandang masa depan bukan sebagai penantian waktu yang
tak kunjung selesai. Tentu kita tidak ingin, maka waktu yang makin absurd seperti
diperlihatkan tokoh Estragon dan Vladimir dalam lakon Menunggu Godot (Waiting
for Godot) Samuel Beckett. Atau, masa depan bangsa ini seperti lentingan Bob
Dylan dalam lagu ballada Blowing in the Wind: How many times must a man turn
his head/and pretend that he just doesn't see/How many ears must one
have/before he can hear people cry/How many deaths will it take till he
knows/that too many people have died. Setidaknya dari sosok Jonan, Menteri
Perhubungan, Susi,Menteri Kelautan, Ridwan Kamil, Walikota Bandung, Reza
Pahlevi, Walikota Payakumbuh, Nurdin Abdoelah, Bupati Bantaeng, dan Jokowi kita punya hope...
No comments:
Post a Comment