SAYA bisa bayangkan pagi hari 17
Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta:
menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu
yang luar biasa. Hari itu memang
ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan
politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang
menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.Sebuah wacana adalah
sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan
lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya
membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan
takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu
menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah
”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.
Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung
Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni
wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa
Indonesia” kian menegaskan diri. Sebulan
kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun
menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia”
mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik
orang ramai di Lapangan Ikada itu. Dua
tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika
ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini
”Hindia Belanda” kembali.
Dari medan perang itu Pramoedya
Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang
terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”. Walhasil, sebuah subyek
(”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring,
tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti
disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai
sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata
Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah
tindakan heroik, bukan seorang hero. Dalam
hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar
biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah
seorang manusia yang luar biasa.” Tan
Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh
tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi
timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.” Itulah Revolusi Agustus.
Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan
yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero”
atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan
+ keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan
ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan
oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses
untuk melaksanakan agenda itu.
Sekitar seperempat abad setelah
1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”,
mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan.
Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni
sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar
Revolusi”. Tan Malaka tak punya
rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan
perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan
rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”. Bahwa ia percaya kepada
revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”,
menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara
dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau
”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata
Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.
Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu
menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.
Tak
begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa d ikuti adalah yang terjadi
sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.
Beberapa pekan setelah 17 Agustus
1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin
itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug
dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis
berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap
seorang sosial-demokrat sejenis Yudas. Tapi
seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah
dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di
Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan
Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis
pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5
persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.
Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga
menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu
sebelum ambil sikap. Jika benar
penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia,
April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang
”radikal” tak cocok dengan sang ”pragmatis”. Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang
”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan
Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus
berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat
seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama,
tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.
Bagi Trotsky, di negeri yang
”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk
menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi
pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah
yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh
melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”. Ini
tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun
1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara
atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih
pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada
gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat
dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis
yang lemah. Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga
benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh
Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang
Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis
pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena
adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”. Tapi
haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar
dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap
menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman
disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996,
setelah 70 tahun dipendam. Dari
sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam
”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka
yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin
dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.
Tentu, ada baku pengaruh antara
dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran
seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács,
di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya
adalah Partai Komunis. Tapi
seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai
itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela,
sesosok hero? Ternyata, sejarah
Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan
bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus
bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan
berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno.
Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden
itu. Pada 1965 terbukti strategi ini gagal.
PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan
pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang
selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung
Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.
Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal
tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah
minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum
buruh.
Tan Malaka sendiri mencoba
mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika
pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum
”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna
mengalahkan imperialisme. Tapi ia
juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda
tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan
titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda. Sebuah legenda memang memikat. Tapi
dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati.
Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.@GM
No comments:
Post a Comment