Prancis, di pertengahan Oktober 1989, tiga
potong kain kepala mengguncang republik itu. Kepala Sekolah Collège de Creil di
Osie memutuskan untuk mengeluarkan tiga gadis yang memakai jilbab dari sekolah.
Para guru mendukung keputusan itu. Bagi mereka, yang hendak dipertahankan
adalah ide tentang ”Prancis”, yang lahir sejak Revolusi 1789, persis 200 tahun
sebelum insiden kerudung itu—yakni sebuah Prancis yang sekuler, yang menganggap
pemisahan agama dari wilayah publik merupakan pembebasan, yang juga menghendaki
persatuan dan kesatuan yang kuat, sehingga perbedaan budaya harus dilarutkan
dalam asimilasi. ”Sekolah ini Prancis,” ujar si kepala sekolah, ”Ia terletak di
Kota Creil, dan sifatnya sekuler. Kita tak akan membiarkan diri kita direcoki
soal-soal agama.” Bagi para aktivis yang
memperjuangkan persamaan hak antara kelompok dalam masyarakat, tindakan kepala
sekolah itu diwarnai keras oleh sikap melecehkan minoritas Islam di Prancis.
Bagi kalangan agama, tindakan si kepala sekolah merupakan contoh semangat
sekularisme yang militan dan sewenang-wenang. Kardinal Lustiger, Uskup Agung
Paris, berseru: ”Janganlah kita berperang melawan anak-anak itu!” Juru bicara
Federasi Protestan juga mengatakan: ”Kalangan Protestan menganggap tak ada
alasan untuk melarang jilbab di sekolah,” dan ia memperingatkan agar Prancis
bangun dari mimpinya untuk memerangi agama. Tokoh rohaniwan Yahudi Kota Paris
bicara lebih tegas lagi bahwa ”mereka yang melarang anak-anak muslim memakai
jilbab itu...menampakkan tidak adanya toleransi di kalangan mereka.”
Mengapa tokoh non muslim membela Islam di Prancis yang dikenal sangat sekular? Karena kalangan umat islam
seperti da’i, ilmuwan, sastrawan,
seniman muslim berusaha menampilkan wajah rahmatan lil ‘alamin Islam, mulai
dari kesantunan, intelektualitas, produktivitas, dan keterbukaan mengajarkan
Islam dengan semua cara yang elegan. Mereka berusaha menciptakan atmosir damai ditengah Islamophobia yang sangat kental di Prancis. Ini tidak mudah. Karena pada waktu bersamaan bermunculan berbagai golongan Islam yang
menampakan wajah vulgar permusuhan dengan non muslim. Cara mereka bersikap
menakutkan, cara mereka berpikir penuh permusuhan dan dari itu semua, mereka
menawarkan posisi perang kepada siapapun yang berbeda. Namun perjuangan puluhan tahun dengan pesan damai itu, hasilnya masyarakat Prancis mulai merasakan
kehangatan kehadiran muslim yang jauh berbeda dengan stigma yang mereka punya
sebelumnya. Sekolah-sekolah SD hingga SMA muslim mulai bermunculan dan terbukti
meraih banyak prestasi dan menunjukan kepada warga asli Prancis bahwa
anak-anak muslim tidak berbeda dengan semua anak kulit putih eropa dalam
kemampuan pendidikan. Universitas dan lembaga-lembaga kajian muslim bermunculan
dan memjawab kebutuhan masyarakat muslim dan Perancis. Even-event akbar
diadakan, seperti Rencontre annuelle des musulmans de France dan sangat terbuka
mengundang non-muslim berpartispasi. Perjuangan puluhan tahun mereka yang
ikhlas dan dalam kesabaran melakukan syiar islam di Francis hancur begitu saja ketika terdi aksi
teror di kantor majalah Prancis, Charlie Hebdo di Paris yang menewaskan 14
orang , termasuk 2 polisi,
Dampak kejahatan ini sangat signifikan dan
sangat berhasil menghancurkan citra Islam cinta damai. Diprediksi fenomena
islamofobia setelah aksi terror ini akan kembali bangkit di seluruh Perancis.
Dan dampaknya akan sangat terasa khususnya oleh muslimah dan oleh anak-anak
muslim. Ruang gerak mereka akan lebih sempit kedepan, seperti dipersulit,
dicemooh, dilecehkan, dll. Apalagi beberapa media-media mainstream memanfaatkan
isu ini seperti menyoroti dengan sengaja kaitan ‘membela nabi dan pembunuhan’. Saya
yakin mereka yang melakukan aksi terror itu bukanlah Islam tapi musuh senyata
nyatanya islam. Mereka musuh Islam yang bersembunyi dibalik dalil dan simbol Al Quran dan Hadith. Mereka bersorban,
berjanggut, fasih berhasa Arab, dan hafal AL Quran namun mereka menebarkan
kebenciaan , kemarahan, dendam, hujatan dengan mudah mengkafirkan orang lain,
ekslusif, paranoid. Padahal upaya yang terbukti efektif melakukan syiar islam
adalah melalui akhlak mulia dan Nabi telah mentelandankan betapa agung
akhlaknya sehingga bisa merubah mental kaum Arab yang jahiliah menjadi
berakhlak Al Quran. Islam tidak dibesarkan oleh retorika, kehebatan pidato
diatas panggung tapi oleh akhlak cinta dan kasih sayang para pengikutnya. Ikuti
sunah rasul , tentu harus ikuti akhlaknya.
Walau ISIS yang terus mengibarkan
bendera teror dan menumpahkan darah kebumi dan aksi teror di mana mana membawa
rasa takut, dan juga segala retorika kebencian kepada pihak tidak seiman, namun
saya yakin citra Islam yang cinta damai tidak akan rusak asalkan siapapun kita harus punya kepedulian
untu terus berjuang dengan keteladanan akhlak mulia. Yang penting. "Dont
tell them that Islam is the best but show them that Islam is the best. Dengan
demikian akan banyak pengikut
agama lain yang bisa
kita yakinkan bahwa Islam bukan ancaman dan mereka akan membela Islam
dengan akal sehat. Seperti
ungkapan teman saya di Ausi paska penyanderaan café yang dilakukan ISIS, dia bilang"
tidak ada alasan yang bisa diterima demi agama orang mengancam dan akhirnya
membunuh. Islam yang saya kenal adalah kamu sebagai
sehabat saya, dan menyenangkan...
No comments:
Post a Comment