Pagi itu dia datang kepada saya. Dengan santai dia berkata bahwa seorang neo-liberal adalah
orang yang jengkel kepada “Negara”. Mengapa masih harus percaya dengan negara? Sangat lucu demo yang ada
di media social atau di bundaran HI, mereka meneriakan tuntutan dari delapan
penjuru mata angin: Hapus system out sourcing. Naikan gaji buruh. Habisi egoism.
Lawan kapitalisme brengsek. Singkirkan
para bedebah yang buat aturan untuk kepentingan pemodal. Jadikan agama sebagai satu satunya sumber
kebenaran dan telanjangi para ustadz yang bertarif bak selebritis. Banyak lagi tuntutan itu datang. Negara senang karena diharapkan dan dituntut agar mereka terus bebas memajaki rakyat. Jangan bicara soal pajak, kemana hasil Tambang ? kemana?? Kami butuh konpensasi atas SDA kami tapi subsidi BBM dikurangi. Kalian brengsek. Harus diakui, ada nada simpati
terhadap Negara—dan mungkin itu yang membedakannya dengan mereka yang disebut
“neo-liberal” atau siapa saja yang dianggap penganut pemikiran ekonomi Milton
Friedman. Jangan berharap negara jadi malaikat atau Tuhan yang bisa memenuhi semua tapi jadikan negara sebagai perantara untuk menguras semua yang ada dan memakmurkan kita , bukan para buruh, tani, nelayan. Beri negara sedikit, kuasai banyak. Beri buruh gaji untuk makan namun jangan buat mereka kaya sehingga menjadi pemodal.
Negara adalah “sosok yang
misterius, dan yang pasti sosok yang paling banyak menerima permintaan, yang
paling tersiksa, paling sibuk, paling dinasihati, paling disalahkan, paling
dituntut, dan paling diprovokasi di seluruh dunia”. Mengapa “Negara”
diperlukan. Manusia, adalah makhluk yang menampik kepedihan dan penderitaan.
Tapi manusia juga dihukum akan menderita kekurangan jika ia tak bekerja buat
hidup. Maka ia menemukan cara: menikmati hasil kerja orang lain. Perbudakan
bermula dari sifat itu. Tapi juga perang, perampasan, penipuan, dan hal-hal
lain yang mengerikan tapi cocok dengan akal manusia untuk mengatasi dilemanya.
Dengan kata lain: tak aneh. “Kita harus membenci dan melawan penindas, tapi
kita tak bisa mengatakan mereka absurd, edan, dan tak masuk akal.”. Apalagi
dalam perkembangannya, si penindas tak lagi berhubungan langsung dengan si
tertindas. Dewasa ini antara penindas dan korbannya ada “perantara”, yaitu
Negara. Dari sini definisinya yang orisinal: “Negara adalah satu entitas
imajiner yang dipakai tiap orang untuk hidup dengan ongkos (dépens) orang
lain.”. Definisi ini menohok tajam. Umumnya orang tak ingin mengakui secara
terbuka bahwa, ia hidup dengan memanfaatkan kerja orang lain. Orang lebih suka
menunjuk ke Negara dan menyuruh, “Hai kamu, yang bisa mengambil dengan adil dan
terhormat, ambillah dari masyarakat dan bagikan kepada kami!”.
Mengaitkan Negara dengan hubungan
eksploitatif—yang tak selamanya tampak—adalah juga yang tersirat dalam pikiran
Marx. Saya tak yakin bapak sosialisme modern itu terilhami oleh Frédéric
Bastiat, (1801-1850), yang meninggal hampir dua dasawarsa sebelum terbit Das
Kapital. Tapi Marx juga melihat Negara bukan sebagai sebuah bangunan suci,
melainkan sebagai instrumen represi dari satu kelas terhadap kelas lain. Hanya
Bastiat sedikit lebih jeli: ia tak melihat Negara sebagai “sistem” atau
“instrumen” semata-mata. Negara, dalam prakteknya, terdiri atas “para menteri
kabinet, birokrat, orang-orang yang, pendek kata, seperti umumnya orang,
menyimpan dalam hati mereka hasrat untuk memperbesar kekayaan dan pengaruh, dan
dengan bersemangat menangkap kesempatan untuk itu”. Yang menarik tentulah
pandangan yang sejajar tentang Negara itu: di satu sisi Marx, di sisi lain
Bastiat yang punya gema dalam pemikiran kubu sebelah “kanan”: Hayek dan
Friedman. Tak mengherankan: baik Marx maupun Bastiat bertolak dari pengalaman
dalam ruang dan waktu. Marx menampik Hegel yang memandang Negara sebagai
penubuhan dari ide; ia merumuskan Negara dari apa yang berlangsung dalam
sejarah. Bastiat demikian pula: ia seorang pencatat, bukan teoretikus, bukan
filosof. Schumpeter menganggapnya “wartawan ekonomi yang paling cemerlang yang
pernah hidup”. Maka ia menemui fakta dan mencemooh “ilusi ganjil” tentang
Negara.
Di atas saya kutip ia menyebut
Negara sebagai “entitas imajiner”. Saya kira Bastiat melihat Negara sebagai
proses politik, bukan satu bangunan yang mandek di atas pergulatan politik di
mana ia berdiri. Sebab itu ia punya keterbatasannya sendiri: Negara tak
terbentuk untuk bisa memuaskan semua orang di semua sudut sekaligus. Tiap
politik punya utopia dan punya kalkulasi—dan di antara itulah hadir Negara. Bastiat memang seorang “liberal” dalam
pengertian politik Eropa—dan ia berbicara dengan nada yang ringan. Ia masih
mengakui Negara sebagai “kekuatan polisi bersama” dengan cukup optimisme:
baginya, kekuatan itu bisa dipakai bukan untuk merampok dan menindas, melainkan
untuk “menjamin tiap orang haknya sendiri dan membuat keadilan dan keamanan menang”.
Memang hanya seorang yang dogmatis yang bisa melihat Negara tanpa ambiguitas.