Monday, September 16, 2013

Negara ...?

Pagi itu dia datang kepada saya. Dengan santai dia berkata bahwa seorang neo-liberal adalah orang yang jengkel kepada “Negara”. Mengapa masih harus percaya dengan negara? Sangat lucu demo yang ada di media social atau di bundaran HI, mereka meneriakan tuntutan dari delapan penjuru mata angin: Hapus system out sourcing. Naikan gaji buruh. Habisi egoism. Lawan kapitalisme brengsek.  Singkirkan para bedebah yang buat aturan untuk kepentingan pemodal.  Jadikan agama sebagai satu satunya sumber kebenaran dan telanjangi para ustadz yang bertarif bak selebritis.  Banyak lagi tuntutan itu datang. Negara senang karena diharapkan dan dituntut agar mereka terus bebas memajaki rakyat. Jangan bicara soal pajak, kemana hasil Tambang ? kemana?? Kami butuh konpensasi atas SDA kami tapi subsidi BBM dikurangi. Kalian brengsek. Harus diakui, ada nada simpati terhadap Negara—dan mungkin itu yang membedakannya dengan mereka yang disebut “neo-liberal” atau siapa saja yang dianggap penganut pemikiran ekonomi Milton Friedman. Jangan berharap negara jadi malaikat atau Tuhan yang bisa memenuhi semua tapi jadikan negara sebagai perantara untuk menguras semua yang ada dan memakmurkan kita , bukan para buruh, tani, nelayan. Beri negara sedikit, kuasai banyak. Beri buruh gaji untuk makan namun jangan buat mereka kaya sehingga menjadi pemodal.

Negara adalah “sosok yang misterius, dan yang pasti sosok yang paling banyak menerima permintaan, yang paling tersiksa, paling sibuk, paling dinasihati, paling disalahkan, paling dituntut, dan paling diprovokasi di seluruh dunia”. Mengapa “Negara” diperlukan. Manusia, adalah makhluk yang menampik kepedihan dan penderitaan. Tapi manusia juga dihukum akan menderita kekurangan jika ia tak bekerja buat hidup. Maka ia menemukan cara: menikmati hasil kerja orang lain. Perbudakan bermula dari sifat itu. Tapi juga perang, perampasan, penipuan, dan hal-hal lain yang mengerikan tapi cocok dengan akal manusia untuk mengatasi dilemanya. Dengan kata lain: tak aneh. “Kita harus membenci dan melawan penindas, tapi kita tak bisa mengatakan mereka absurd, edan, dan tak masuk akal.”. Apalagi dalam perkembangannya, si penindas tak lagi berhubungan langsung dengan si tertindas. Dewasa ini antara penindas dan korbannya ada “perantara”, yaitu Negara. Dari sini definisinya yang orisinal: “Negara adalah satu entitas imajiner yang dipakai tiap orang untuk hidup dengan ongkos (dépens) orang lain.”. Definisi ini menohok tajam. Umumnya orang tak ingin mengakui secara terbuka bahwa, ia hidup dengan memanfaatkan kerja orang lain. Orang lebih suka menunjuk ke Negara dan menyuruh, “Hai kamu, yang bisa mengambil dengan adil dan terhormat, ambillah dari masyarakat dan bagikan kepada kami!”.

Mengaitkan Negara dengan hubungan eksploitatif—yang tak selamanya tampak—adalah juga yang tersirat dalam pikiran Marx. Saya tak yakin bapak sosialisme modern itu terilhami oleh Frédéric Bastiat, (1801-1850), yang meninggal hampir dua dasawarsa sebelum terbit Das Kapital. Tapi Marx juga melihat Negara bukan sebagai sebuah bangunan suci, melainkan sebagai instrumen represi dari satu kelas terhadap kelas lain. Hanya Bastiat sedikit lebih jeli: ia tak melihat Negara sebagai “sistem” atau “instrumen” semata-mata. Negara, dalam prakteknya, terdiri atas “para menteri kabinet, birokrat, orang-orang yang, pendek kata, seperti umumnya orang, menyimpan dalam hati mereka hasrat untuk memperbesar kekayaan dan pengaruh, dan dengan bersemangat menangkap kesempatan untuk itu”. Yang menarik tentulah pandangan yang sejajar tentang Negara itu: di satu sisi Marx, di sisi lain Bastiat yang punya gema dalam pemikiran kubu sebelah “kanan”: Hayek dan Friedman. Tak mengherankan: baik Marx maupun Bastiat bertolak dari pengalaman dalam ruang dan waktu. Marx menampik Hegel yang memandang Negara sebagai penubuhan dari ide; ia merumuskan Negara dari apa yang berlangsung dalam sejarah. Bastiat demikian pula: ia seorang pencatat, bukan teoretikus, bukan filosof. Schumpeter menganggapnya “wartawan ekonomi yang paling cemerlang yang pernah hidup”. Maka ia menemui fakta dan mencemooh “ilusi ganjil” tentang Negara.

Di atas saya kutip ia menyebut Negara sebagai “entitas imajiner”. Saya kira Bastiat melihat Negara sebagai proses politik, bukan satu bangunan yang mandek di atas pergulatan politik di mana ia berdiri. Sebab itu ia punya keterbatasannya sendiri: Negara tak terbentuk untuk bisa memuaskan semua orang di semua sudut sekaligus. Tiap politik punya utopia dan punya kalkulasi—dan di antara itulah hadir Negara.  Bastiat memang seorang “liberal” dalam pengertian politik Eropa—dan ia berbicara dengan nada yang ringan. Ia masih mengakui Negara sebagai “kekuatan polisi bersama” dengan cukup optimisme: baginya, kekuatan itu bisa dipakai bukan untuk merampok dan menindas, melainkan untuk “menjamin tiap orang haknya sendiri dan membuat keadilan dan keamanan menang”. Memang hanya seorang yang dogmatis yang bisa melihat Negara tanpa ambiguitas.

No comments:

HAK istri.

  Ada   ponakan yang islamnya “agak laen” dengan saya. Dia datang ke saya minta advice menceraikan istrinya ? Apakah istri kamu selingkuh da...