Dua puluh delapan tahun yang
lalu saya bersanding dipelaminan dengan istri saya. Ketika itu usia saya 22
tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa. Istri saya nampak tersenyum bahagia. Tak nampak gamang sedikitpun ia bersanding dengan pria miskin seperti saya. Iapun tak menempatkan banyak kriteria untuk pria yang pantas dijadikannya sebagai penghulu kecuali agama. Hanya berbekal keimanan kepada Allah membuat ia tak ragu saya persunting. Baginya menikah adalah ibadah yang harus
dilaksanakannya. Baginya menikah adalah menuruti nasehat orang tuanya untuk
menerima saya sebagai suami. Baginya menikah adalah pengabdian kepada suaminya.
Baginya menikah adalah sebagai caranya menerima takdir. Ketika menikah saya
sudah bekerja sebagai penata buku diperusahaan swasta dan dari itulah saya
menanggung biaya hidup rumah tangga dan biaya kuliah. Diawali dirumah mungil yang kami sewa
bulanan, kami lewati hari hari dengan keceriaan sebagai keluarga muda. Setahun
setelah itu putra kami lahir. Maka semakin lengkaplah kebahagiaa kami.
Tanggal 28 oktober kemarin
atau tepatnya hari ulang tahun saya yang ke 50, kami kembali bersanding
dipelaminan. Tapi tidak untuk menikah kembali tapi mendampingi putra kami
bersanding dengan istri pilihannya. Istri saya sempat berkata kepada saya bahwa
dulu waktu kami bersanding dipelaminan , saya kuliah belum selesai. Kini ketika
putra kami dipalaminan bersanding dengan istrinya, ia sudah sarjana Stratra dua
dan jabatannya sebagai direktur perusahaan. Istri saya nampak sedikit
bermurung. Ada kekawatiran diwajahnya. Padahal dulu ketika kami menikah tak
nampak sedikitpun diwajahnya kekawatiran. Tapi mengapa kini dia kawatir? Saya
tak ingin bertanya banyak. Namun seusai pesta perkawinan istri saya berkata
dengan suara lirih “ Akankah dia mendapatkan hikmah dari kasih sayang kita
selama ini. Bahwa apa yang kita lakukan selama ini bukanlah untuk
memanjakannya. Bukanlah untuk menjadikan dia sebagai kebanggaan. Bukan pula
menjadikannya sebagai reward masa tua kita. Bukan.! Tapi tak lebih sebagai ujud
rasa cinta kita kepada Allah untuk mengemban amanah dengan sebaik baiknya yang
kita mampu perbuat sebagai orang tua.
Saya genggam jemari istri saya
sambil berkata bahwa dia tidak perlu terlalu banyak kawatir. Tugas kami sudah
selesai mengantarkannya memasuki mahligai rumah tangga. Setiap anak punya
takdir sendiri sendiri. Tugas kami selanjutnya adalah mendoakannya dan memberi
kepercayaan kepadanya untuk mengembang amanah dari Allah.Kepada Putra saya dan
istrinya saya berpesan bahwa jadikanlah rumah tangga sebagai ladang ibadah
untuk bertakwa kepada Allah. Rumah tangga bukanlah tempat untuk bermegah megah
untuk aktualisasi diri dihadapan manusia. Tapi rumah tangga adalah wahana
aktualisasi dihadapan Allah dengan ditandai hadirnya suasana keluarga
sakinah, ma waddah wa rahmah. Visi rumah tangga sebagai ibadah haruslah
menyatu sebagai ujud kecintaan kepada Allah. Bila visi ini menjadi pegangan
dalam berumah tangga maka apabila ada yang kurang akan bersama sama dicukupkan,
bila sempit akan bersama sama dilapangkan, bila
ada yang berlebih akan bersama sama disyukuri. Baik buruk akan terus
bersanding dan ini harus dilewati untuk mencapai kesempurnaan dihadapan Allah.
Nak, kamu tidak harus merasa
berhutang terhadap kami. Apa yang selama ini kami lakukan untukmu, berkorban
siang dan malam , bukan untuk mengharapkan apapun darimu. Bukan. Kami berkorban
karena Allah dan berharap karena itu engkaupun akan melakukan hal yang sama kepada
keluargamu. Lakukanlah apapun yang pantas kamu lakukan sebagai kepala keluarga,
sebagai suami, sebagai ayah kelak dengan dasar kecintaanmu kepada Allah. CIntailah
istrimu sepantasnya agar Allah tetap yang utama. Cintailah anak anakmu sepantasnya
agar Allah tetaplah yang utama. Cintailah semua yang dekat denganmu namun
tetaplah Allah yang utama. Mengapa? Karena istri, anak , jabatan, juga apapun
didunia ini yang kita sukai tak lebih adalah cobaan dari Allah untuk menguji
keimanan kita. Ini ujian teramat berat karena ia berhubungan dengan
kecondonganmu kepada dunia. Allah membentangkan kesenangan dunia ini sebagai
cara agar kita bersyukur kepadaNya namun pada waktu bersamaan Iblis
mencondongkan hati kita untuk tidak mensyukuriNya.Setiap detik, setiap waktu selagi engkau masih hidup, engkau ada ditengah tengah itu. Tak usah gamang, Bila engkau perbaiki batinmu , Allah tentu
akan memperbaiki lahirmu. Bila engkau memperbaiki akhiratmu , Allah tentu akan
memperbaiki urusan duniamu. Bila engkau memperbaiki hubunganmu dengan Allah,
maka Allah akan memperbaiki hubunganmu dengan manusia.
Tetaplah istiqamah. Karena bila
engkau menempuh jalan kebenaran tentu engkau akan sampai ketujuan yang
sebenarnya. Untuk itu sepanjang hidup ibumu akan terus mengkawatirkanmu dan akan
terus mendoakanmu agar engkau tak pernah jauh dari Allah dan selalu mendekat
kepada Allah. Hanya itulah keyakinanya agar engkau selamat. Karena pemilik
dirimu sesunguhnya adalah Allah, dan ibumu inginkan Allah menjagamu siang malam
sebagaimana ibumu menjagamu siang dan malam ketika kau masih dekapannya.
Selamat menempuh hidup baru, putraku..Pesan papa, jadilah sebaik baiknya dirimu
saja yang bermanfaat bagi orang lain.