Minggu lalu setelah usai makan
siang dengan relasi di restoran rumah daun, saya bertemu dengan teman lama. Dia
sudah hampir enam tahun tinggal di Singapore karena alasan mendampingi putranya
sekolah disana dan juga karena alasan business nya lebih mudah berkembang
disana. Menurutnya hal yang paling aman bagi keluarga adalah apabila
mendapatkan lingkungan pendidikan yang baik. Singapore memang dikelola dengan
moral hukum yang tinggi. Hukum tegak karena para aparat hukum bekerja secara
professional. Mereka dibayar mahal dari uang pajak dan rakyat mendapatkan hasil
dari pekerjaan mereka itu. Di Indonesia, hal tersebut masih sangat jauh. Aparat
hukum tidak merasa hidup dari uang rakyat. Mereka bergelimang harta dari para criminal.
Bagaimana mungkin, tanyanya, seorang yang jelas jelas terbukti sebagai produsen
narkoba yang terancam hukuman mati, oleh hakim agung dibebaskan menjadi hukuman
15 tahun penjara. Apakah hakim itu tidak tahu bahwa akibat dari produksi
narkoba itu telah mengakibatkan kerusakan moral dan phisik yang sangat parah
bagi pengguna. Umunya korban narkoba adalah mereka usia produktif.
Narkoba sangat berbahaya bagi pemakai. Karena dia merusak susunan syarat dan merusak organ dalam tubuh manusia. Sekali manusia masuk dalam dunia narkorba maka untuk keluar sangat sulit. Tidak ada sifat baik yang ditimbulkan akibat Narkoba. Korban bagaikan zombi. Ketika di China saya tanyakan kepada teman mengenai
hukuman bagi pengguna maupun pengedar. Teman itu mengatakan dengan tegas bahwa sangsinya adalah hukuman mati. Mengapa? Karena tugas utama Negara adalah membangun karakter
bangsa. Karakter yang sangat potensi bagi masyarakat adalah adanya rasa kesetia
kawanan, rasa hormat dan kasih sayang. Dengan karakter tersebut maka
kebersamaan akan terbangun. Yang sulit menjadi mudah dan yang sempit menjadi
lapang. Namun bila orang sudah terkena narkoba, karakternya sebagai orang
beradab hilang. Potensinya sebagai asset bangsa hilang. Dia menjadi beban
keluarga dan masyarakat. Bagi pengedar maupun pemakai tidak ada cara terbaik
untuk mengatasinya melainkan eliminate dari kehidupan. Negara tidak mau ambil
resiko karena akibat ulah mereka bisa mengganggu orang lain. Negara harus keras
soal ini bila ingin tetap membangun diatas kekuatan moral masyarakat beradab. Ya Bandar Narkoba dan Koruptor bernasip baik tinggal di republik ini. Karena bila di china mereka sudah dihukum mati dengan proses pengadilan yang cepat.
Seorang teman yang pengacara
pernah berkata kepada saya bahwa apapun kejahatan yang melibatkan putaran uang
besar maka itu akan menjadi wahana seia sekata oleh para penegak hukum. Semua
punya kuasa untuk menentukan berapa porsi uang yang harus didapatnya atas
kejahatan itu dan pelaku harus sadar soal kekuasaan itu. Pakem inilah yang
dimainkan oleh pengacara untuk membuat hukum yang memang sudah grey area
menjadi semakin grey. Ketika Polisi menangkap pelaku, polisi mengumpulkan
segala bukti untuk pantas diajukan ke Jaksa penuntut. Disini proses transaksi diawali.
Bukti kesalahan yang terkait dengan pasal kejahatan dibuat lemah. Ketika sampai
di meja Jaksa, dakwaan di buat lemah agar Pengacara lebih mudah membela dipengadilan.
Maklum di Indonesia , hakim hanya boleh mengadili apa yang dituntut oleh jaksa.
Pengacara hanya boleh membela apa yang didakwakan oleh Jaksa. Ketika disidang,
hakim punya kuasa dan pengacara mengelola sidang untuk memudahkan hakim membuat
keadilan versi pengacara. Pelaku menang. Hasilnya Produsen Narkoba dibebaskan
dari hukuman mati menjadi kurungan badan. Tak ada koruptor yang di hukum mati.
Menurut teman saya masalah di
Indonesia adalah rumitnya system hukum dan perundang undangan yang ada. Banyak
pasal pidana berada di grey area. Sehingga baik polisi, jaksa maupun pengacara,
hakim bisa bermain main dengan pasal pasal grey area tersebut untuk menghasilkan keputusan korup. Masing masing
lembaga punya kekuasaan yang diatur dalam undang undang berbeda. Itu sebabnya KPK dan polisi tak akur. Sementara
pengacara yang ikut andil dalam peradilan hanya diatur dalam kode etik. Jadi
harus ada restruktur hukum yang menyeluruh mengenai peran hakim, jaksa, polisi ,
pengacara dalam satu kuridor yaitu undang undang system Peradilan. Disamping itu
harus ada keberanian dari pemimpin yang dipilih rakyat entah itu president atau DPR untuk
melakukan rasionalisasi aparat hukum secara terprogram. Qualifikasi tidak
hanya didasarkan kepada pendidikan akadamis tapi juga oleh kemampuan spiritual
emotion dalam memaknai tugas yang diemban ini. Semua lembaga peradilan harus
tunduk pada satu system pengawasan untuk memastikan para aparat hukum tetap berjalan dijalur yang
benar sesuai amanat undang undang untuk keadilan dan kebenaran.
Bagi saya pengawasan yang
paling ampuh adalah diri manusia itu sendiri. Dalam ajaran Islam ada istilah
trilogi ajaran Ilahi yakni iman, islam dan ikhsan. Ketiga-tiganya tidak dapat
dipisah satu sama yang lain, bahkan ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang
utuh atau saling tumpang tindih. Dalam satu di antara ketiganya ada dua istilah
yang masuk, sehingga dalam Islam ada iman dan ihsan. Dalam iman ada islam dan
ikhsan serta dalam ikhsan terdapat islam dan iman. Namun puncak dari ketiganya
adalah ikhsan. Ikhsan inilah yang merupakan sifat yang terwujud dalam tindakan
sehingga ikhsan yang berarti "berbuat kebaikan dan memperbaiki" akan
selalu mengutamakan the truth diatas segala galanya. Berarti
kebaikan yang diinginkan oleh Islam harus dilandasi dengan akhlak karena
kebaikan atau "al-birr" adalah sikap yang baik, sikap ketaatan, sikap
yang benar, sikap yang saleh serta didasari oleh hati nurani namun tetap tangguh menegakkan keadilan. Bila para penegak hukum adalah mereka yang
beriman, islam dan ikhsan maka kebenaran , kebaikan dan keadilan akan tegak.
Inilah yang langka di republic ini. Makanya system dikorup oleh mental korup, untuk semakin mewabahnya budaya korup. Hal ini sangat mengkawatirkan karena berdampak kepada kepercayaan publik semakin rendah kepada pemerintah.
No comments:
Post a Comment