Kemarin
waktu makan malam dengan teman , dia mengutarakan sebuah kisah dan menurut saya
tepatnya adalah sebuah analogi tentang kearifan. Anda tahu apa itu kodok ?
tanyanya. Saya hanya tersenyum. Menurutnya kodok itu jenis binatang yang sangat
sombong. Bila mereka berkumpul maka masing masing akan mengeluarkan suara.
Mereka akan berlomba lomba berteriak paling keras. Terkesan bertautan. Mungkin
yang dikatakan masing masing kodok itu adalah dialah yang terbaik dan terbesar
diatara lainnya. Saya tertawa. Menurutnya benar adanya begitu. Buktinya lambat
laun kodok yang berukuran kecil akan pergi berlalu dari kerumunan itu. Suaranya
tak terdengar lagi. Yang tersisa hanyalah kodok yang berukuran besar. Bila tersisa
hanya dua kodok maka kodok itu akan bertarung untuk menentukan siapa yang
paling kuat. Anehnya setiap pertarungan
terjadi, tidak pernah ada yang menang. Dua duanya kalah. Karena keduanya saling
memakan kaki lawannya. Bayangin aja kalau kodok tak ada kaki maka dia tidak
bisa melompat dan tak bisa mencari mangsa dan mudah dimangsa predator.
Begitulah
Tuhan menciptakan binatang sebagai contoh dan pembelajaran kepada manusia. Sejarah
memang mencatat buram tentang manusia yang tak ubahnya sepeti kodok. Ribuan tahun manusia selalu bertikai untuk menjadi penguasa
terhadap lainnya Setiap pertikaian memakan korban mati tak terbilang. Setiap
kemenangan yang didapat dari kesombongan selalu dibangun diatas ilusi,
keserakahan, fitnah, penindasan dan kemunafikan. Segala sifat buruk dengan
iblis sebagai mentor terbentuk begitu saja. Sehingga manusia tak ubahnya
binatang dan menjauh dari sifat ilahiah yang mengutamakan kasih sayang dan
cinta. Kedamaian menjadi mahal. Kehidupan menjadi kelam. Yang miskin meradang
dendam kepada sikaya. Sikaya ketakutan jatuh miskin. Penguasa kawatir jatuh
dari singgasana. Rasa malu terhalau dan kemanusiaan menjadi komoditi. Tidak ada
lagi keiklasan.
Teman
saya mengulang ungkapan kearifan bahwa bila kita menghadapi kesombongan maka
jangan dilawan. Karena tidak ada gunanya. Tanpa dilawanpun mereka akan mati
dengan sendirinya. Lebih baik menghindar dan menonton proses kehancuran
dirinya. Lihatlah sejarah,para pemimpin dan penguasa yang sombong hancur dengan
sendirinya. Lihatlah AS, tidak ada tentara berlapis dan pesawat tempur
menghantam AS tapi karena kesombongan mereka sendiri membuat mereka menjadi
manusia terendah didunia, seperti layak Negara kalah perang. Apakah ada yang
lebih rendah dibanding penerima hutang? Kata teman saya. Saya maklum adanya
karena dalam Islam orang terlilit hutang memang pantas di zakati karena dia
lemah. Begitulah kenyataannya kini bagi AS yang tadinya begitu sombong namun
akhirnya menjadi pengemis kepada Negara lain dan dibicarakan oleh setiap
lembaga keuangan international sambil mencibir betapa brengseknya Negara itu
dikelola.
BIla
kerumunan manusia bertarung untuk mengatakan dialah yang paling hebat dan dapat
dipercaya, maka yang merasa kecil dan orang baik akan pergi menjauh dari
kerumunan itu. Kalau dia tidak pergi menjauh maka dia lebih bodoh dari Kodok. Kata teman saya itu. Saya tertawa mendengar
analogi ini. Bagaimana dengan sytem demokrasi yang menang yang berkuasa ? Tanya saya. Menurutnya itulah yang
konyol dari system demokrasi yang kini banyak
digandrungi oleh masyarakat modern. Bila Pemilu digelar maka satu sama
lain bertarung untuk mengatakan dialah yang paling baik dan yang lain jelek.
BIla ternyata menang dalam Pemilu , pertarungan tidak selesai begitu saja. Akan
ada putaran berikutnya pertarungan di Parlemen. Satu sama lain terus bertikai
sehingga tida ada yang menang. Yang memimpin tak bisa bergerak karena terus diganggu
oleh yang kalah. Yang kalah tidak pernah aman karena terus terancam oleh
rekayasa pengadilan ala penguasa.
Siapapun
dia, akan hancur dengan sendirinya bila membuka diri dengan kesombongannya
untuk menjatuhkan pihak lain. Itu
sebabnya Nabi dengan wanti wanti mengingatkan bahwa mencari kekuasaan itu
adalah penderitaan diakhirat kelak. BIla niat untuk tampil sebagai pemenang
maka pada waktu bersamaan niat mengalahkan orang lain juga ada. Pada momen
itulah segala cara dihalalkan atau dalam kata lain disebut strategi dan taktik untuk meraih kemenangan.
Padahal yang dimaksud taktik dan strategi itu tak lain bermain main dengan
Allah, seakan Allah itu mudah dipermainkan. Padahal Allah itu tidak tidur dan
Allah maha mengetahui atas apa yang tersembunyi. Pada akhirnya sebuah
perjuangan bukanlah diukur dari hasil yang dicapai tapi proses mencapai
kemenangan itulah yang jadi ukuran , walaupun hasilnya tidak sesuai dengan keinginan. Bila prosesnya
benar menurut Allah maka rahmat Allah akan sampai: Semuanya akan menjadi mudah
dan lapang dalam situasi apapun.