Saya
teringat dengan kakek saya almarhum. Dulu ketika saya masih kecil acap diajak
oleh kakek saya pergi berdagang. Kakek saya pedagang yang ulet namun sekeras
itu dia berusaha mendapatkan rezeki Allah namun harta berlebih tak kunjung dia
dapat. Kadang usahanya mulai bangkit namun entah kenapa ada saja penyebab
hingga usahanya bangkrut. Kakek saya tak pernah sungkan bila harus memulai dari
nol. Walau dia harus berdagang kaki lima dengan modal ala kadarnya. Wajahnya tetap
cerah. Semangatnya tetap menyala nyala. Tak pernah sedikitpun dia mengeluh
dengan keadaannya dan juga tak pernah terdengar sedikitpun dia menyalahkan
orang lain yang membuat dia bangkrut. Pernah kakek kena penyakit paru paru yang
akut. Badannya mulai kurus dan kalau batuk sampai mengeluarkan darah tapi tak
nampak sedikitpun diwajahnya resah atau mengeluh karena penyakitnya. Tak pernah.
Tak berharta, penyakit datang, kakek tetaplah pribadi yang tegar.
Ketika
saya SMA,saya sempat tanyakan hal ini kepada kakek, dan ini tak pernah hilang
dari ingatan saya. Kakek berkata kepada saya bahwa selemah lemahnya manusia
bila dia berkeluh kesah. Dan lebih lemah lagi apabila dengan keadaannya yang
tak susuai dengan keinginannya dia mulai menyalahkan siapapun. Bila sakit
mendera, kadang dia minta agar ajalnya segera dijemput oleh Allah. Bila
usahanya tak pernah kunjung berhasil maka dia bersegera mengentikan langkahnya.
Manusia seperti ini sangat lemah dan teramat lamah. Mereka harus disayangi. Bila
mereka datang padamu berkeluh kesah , ingatkan kepada mereka makna sabar agar
mereka sadar untuk menjadi manusia kuat. Mengapa begitu ? karena memang sudah
fitrah manusia yang gemar berkeluh kesah ini. Ingatlah firman Allah. Sesungguhynya
manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (keuntungan) ia
amat kikir. (QS. Al-Ma’aarij:19-21).
Lantas
bagaimana agar hidup tidak berkeluh kesah dan tampil menjadi manusia yang kuat
? yang pertama adalah bersikaplah sabar. Makna sabar dalam hal ini sebagai ujud
keimanan kepada Allah bahwa segala sesuatu itu datang dari Allah dan tidak ada
yang sia sia. Tentu Allah lebih tahu mengapa usaha belum berhasil. Tentu Allah lebih
tahu mengapa penyakit datang dan tak sembuh sembuh. Kesabaran kita menerima itu
adalah puncak keimanan kita yang tak pernah henti berprasangka baik kepada Allah.
Bahwa Allah selalu berniat baik dibalik prahara yang menimpa kita. Dengan
keimanan dalam bentuk sabar maka akan melahirkan kesadaran pada diri kita bahwa
pada akhirnya kita hidup hanyalah menjalankan scenario Allah. Untuk sampai pada
titik puncak keimanan tak tertandingi yaitu Ikhlas.
Yang
kedua adalah Istiqamah. Ditanamkan didalam kalbu dan dilaksanakan dalam langkah
dan perbuatan bahwa keimanan kita tak akan goyah untuk hanya mencari ridho Allah.
Biarkan baik dan buruk bersanding. Biarkan badai dan gelombang datang silih
berganti. Biarkan orang lain menghina kita. Biarkan orang lain mengucilkan
kita. Biarkan semua terjadi. Asalkan kehadiran Allah tak pernah surut didalam
kalbu. Langkah tetap diayunkan. Sehingga gelombag akan menjadi ayunan yang
mentramkan. Badai akan menjadi irama kehidupan. Kegagalan dirasa bagaikan bait
bait cinta Allah. Penyakit datang , terasa bisikan cinta dari Allah. Kita tak
tergoyahkan oleh situasi dan kondisi apapun. Karena pada akhirnya kehidupan ini
bukanlah apa yang kita dapat tapi apa yang kita berikan kepada Allah , yang
memang kita tidak berhak apapun terhadap kehidupan ini kecuali Allah. Ketika Allah
meminta sabar kepada kita maka pada waktu bersamaan Allah akan memberikan rasa
syukur.
Hanya
dua syarat itulah yang membuat kita kokoh. Kata kakek saya. Namun kedua hal itu
mungkin mudah dipahami. Mudah. Tapi menjadi sebuah keyakinan dan dilaksanakan, tidaklah mudah. Bagaimana agar mudah ? Al Quran ada solusinya " Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Al Baqarah [2] : 45). Sholat
adalah bentuk dialogh agung antara manusia dengan Ciptaanya. Bentuk tali kasih
yang tak bertepi antara makhluk dengan Allah. Pada sholat itulah getaran
keimanan mengalir kedalam tubuh kita dan merasuk kedalam jiwa kita untuk kita
menjadi sabar dan sadar. Tentu pula tak akan pernah terdengar berkeluh kesah
menyalahkan nasip dan orang lain, apalagi berhenti melangkah melewati proses sunatullah
mengasah keimanan untuk mencapai kesempurnaan.
***
Nasehat kakek saya itu sampai kini menjadi pencerah saya ditengah kehidupan yang kadang tak bersahabat antara keinginan dan kebutuhan.
***
Nasehat kakek saya itu sampai kini menjadi pencerah saya ditengah kehidupan yang kadang tak bersahabat antara keinginan dan kebutuhan.
No comments:
Post a Comment