Friday, March 16, 2012

Tidak jauh dari kita...

Herawati (42)  menyayat urat nadi sebelah kirinya setelah sebelumnya dia membenamkan anaknya Andika berusia 4 tahun kedalam selokan. Demikian berita minggu lalu yang saya baca di Repubika. Menurut keterangan polisi bahwa motif bunuh diri karena factor kesulitan ekonomi. Ujungnya adalah kematian yang sia sia dan kita semua bersalah. Kita harus mengaku. Kita mungkin ikut membunuhnya, atau kita berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita sampai tak tahu bahwa ada ibu berumur 42 tahun yang begitu berputus asa hingga ia menghabisi nyawanya sendiri dan nyawa Andika , anaknya yang berumur 4 tahun, yang tak berdosa , tak mengerti mengapa dia terlahir ditengah kelam kedua orang tuanya. Kita bersalah karena kita sudah jarang menengok. Kita tak pernah ingat dan merasakan sebagian besar mereka yang berjuang dalam kelam.

Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Herawati dan Andika tak hidup di negeri yang jauh. Ia mati tak di tempat yang jauh. Kejadian itu, di Kampung Cigebar RT06/01 Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang. Sebenarnya terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau dari tempat Anda. Bojongsari  bukan di seberang lautan dan di balik benua. Kecamatan itu hanya beberapa puluh kilometer saja dari Cikeas Bogor atau Istana Negara. Tak jauh dari mereka yang  menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta, menyogok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk mesjid sebesar 70 juta, naik haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10 orang teman ke Mekkah, berjudi di Macau  sampai kalah USD 100.000 , atau hanya menyimpan uang beberapa miliar di bank seraya menunggui bunga sekian persen?. Daftar itu bisa diperpanjang. Dan bersama itu, kesalahan kita kian jelas.

Inilah daftarnya, meskipun tak lengkap: karena orang kaya, para tetangga berlebih  yang tak pernah mengulurkan bantuan ke rumah orang miskin, karena  President hanya memikirkan GNP dan statistic  , karena pejabat di executive, yudikative,legislative  yang menggerogoti APBN yang selalu difisit, karena wartawan-wartawan  yang menerima suap dari  penguasa  atau pejabat dan sebab itu lalai untuk menceritakan putus asa di kekumuhan itu kepada publik, juga karena para wakil rakyat yang setelah beranjangsana ke luar negeri dengan uang ribuan dolar, tak menegur kepala daerah yang tak banyak berbuat. Kita  tambah bersalah bila kita tak tahu itu. Apalagi berpura-pura tidak tahu bahwa kenaikan harga BBM akan membuat simiskin semakin lemah untuk menjangkau kebutuhannya.

Anda  akan berkata, tentu, “Ah, apa hubungan dengan saya!” Anda akan bertanya kenapa anda  disangkutkan ke dalam “salah”. Maaf, beribu-ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita tidak tahu, jika kita tidak merasa bersalah karena kematian di Bojongsari  itu, jika kita merasa tak berurusan dengan  Herawati dan Andika  yang putus asa, itu berarti kita dungu atau tak punya hati. Anda  tahu bahwa sebuah kota, sebuah negeri, bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar, dengan kekayaan yang berlimpah-ruah. Tak ada bagian dunia yang bebas dari kelangkaan dan kekurangan; itulah sebabnya ekonomi terjadi: orang berproduksi terus, tukar-menukar tak henti-henti. Dan jika kita berbicara tentang Indonesia, kita akan lebih tahu apa artinya kelangkaan dan kekurangan itu. Bahkan kita akan tahu apa yang ada di baliknya: kekayaan yang begitu timpang, kesempatan yang begitu selisih. Dari sini  anda tahu apa yang menyebabkan seorang ibu putus asa dalam kemiskinan.

Mereka itu yang benar mengalami: kota begini sempit. Tiap jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masyarakat–apalagi masyarakat ini. Ada seorang yang mengatakan bahwa pada saat seseorang memaklumkan, “Inilah tempatku di bawah cahaya matahari,” itulah bermula perebutan tak sah seluruh muka bumi. “Kematian orang lain memanggilku untuk ditanyai,” kata Emannuel Levinas, “seakan-akan, karena sikap acuh tak acuh yang mungkin aku ambil kelak, aku bersekongkol dengan kematian yang dihadapkan kepada orang lain, kematian yang tak dapat diketahuinya.

Kita bersalah, tapi harus saya tambahkan memang kesalahan kita lebih besar ketimbang  para mahasiswa muda belia walau tak mampu memberi namun tak henti berteriak didepan penguasa ,  berkata lantang tentang  keadilan untuk mereka yang miskin. Mereka tahu apa dibalik kemiskinan bahwa KORUPSI harus dihentikan. Mereka lebih tahu ketimbang para ulama yang hidup nyaman dikawasan real estate dan tak mau datang berceramah tanpa dibayar. Mereka lebih baik ketimbang kita yang hanya sibuk berdiskusi dicafe sambil berbisik bisik. Mereka lebih baik dari kita walau mereka tetap kalah dan dikalahkan oleh penguasa yang zholim.  Namun suara mereka , memaksa kita untuk tidak pura pura tidak tahu, mengingatkan kita tentang apa yang disebut oleh Allah dalam Surat Al Maun tentang pendusta agama, juga mengingatkan penguasa yang inkar akan amanat UUD 45 pasal 34.

Herawati dan Andika , telah tiada menambah daftar panjang korban akibat kemiskinan. Hari-hari yang sudah cacat, memang. Herawati dan Andika memang bukan siapa siapa sampai kita mencintainya, mereka  juga bukan siapa siapa sampai kita peduli.  Tapi apa hendak dikata, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga sembilan bahan pokok, tentu bertambah  banyak yang akan senasip dengan Herawati dan Andika , mereka miskin harta juga miskin cinta  dari kita , dari pemimpin yang culas dan korup.

No comments:

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...