Sang dictator berorasi didepan public. Orang mendengar , rasa takut menyelimuti untuk tidak siap mendengar. Walau sebetulnya tak ada yang patut didengar. Karena semua tahu bahwa tak ada kata sang dictator yang dapat dipercaya kecuali keculasannya , arogansinya. Sebab sang diktaror bicara tanpa data yang dapat dipercaya. Data bagi sang dictator tidak diperlukan kecuali kata kata dan ancaman. Kebencian kepada sang dictator lebih kepada keinginan untuk kebebasan. Dari kebebasan ini tentu akan lahir keterbukaan. Sehingga aspirasi kolektive terbangun untuk saling berbagi saran , juga koreksi. Maka lahirlah namanya demokrasi.
Para menteri dan pejabat di era demokrasi kini suka sekali berbicara tentang data dan informasi yang mereka kutip dari berbagai sumber. Kemudian dari data tersebut, mereka bicara tentang indeks pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan ,angka produksi, angka inflasi, dan lain sebagainya. Dari data inipun mereka bicara bahwa mereka berhasil atau kalaupun ada masalah merekapun berkeyakinan dapat mengatasinya karena lagi lagi didasarkan oleh data. Ketika mereka berbicara maka tak ubahnya sang dictator berbicara. Hanya bedanya sang dictator ditakuti karena suka memukul namun politisi democrat dicibirkan karena suka melawak lewat data dagelan.
Demorkasi adalah Keterbukaan ( disclose ) tentang data dan informasi. Tidak ada artinya sebuah keterbukaan bila data dan informasi tidak benar. Bagaimana suatu inisiatip lembaga demokrasi dapat menjawab segala tuntutan rakyat bila data dan informasi yang dipakai untuk mengambil kebijakan tidak akurat ? Diatas banyak symbol tentang berbagai hal yang bernama demokrasi tak lebih hanyalah bentuk lain untuk melegalkan dictator cara lama bila keinginan untuk membangun system data dan informasi tidak diterapkan secara tepat.
Komunitas dari petani, nelayan, pedagang, industriawan dan lain sebagainya bicara tentang demokrasi maka itu adalah keterbukaan segala hal yang berkaitan dengan lingkungan, kesehatan, pendidikan, resource , distribusi, produksi. Pertanahan, kependudukan, perburuhan/ketenaga-kerjaan dan moneter, fiscal, hukum. Semua program demokrasi soal pembangunan komunitas hanya mungkin bila didukung oleh system data center yang qualified and up date. Data dan informasi ini tidak hanya diperlukan untuk lahir berbagai program tapi juga sebagai alat interaksi untuk lahirnya pengendalian langsung antar rakyat dengan rakyat, antar pemerintah dengan rakyat,antar lembaga pemerintah.
Tak akan nampak sebuah idealisme tentang nilai nilai demokrasi bila data dan informasi tidak terbangun dalam sebuah system yang terintegrasi. Tidak akan ada sebuah kebijakan yang bisa dikatakan legitimate sesuai nilai demokrasi bila tidak didukung data dan informasi yang benar. Karena sekecil apapun data dan informasi tentang apa saja, harus menjadi bagian tak terabaikan dan menjadi amanah. Walau itu hanya sekian permil data dan informasi dari total data komunitas nasional. Setiap data adalah pesan yang sacral untuk diperhatikan , dipikirkan , dilaksanakan dengan berbagai kebijakan untuk rakyat.
Sejak awal reformasi , program e goverman sudah dicanangkan. Tujuannya adalah membangun data center nasional ( e-government ) yang terintegrasi dalam UU dan aturan disemua tingkatan pemerintahan ( multi sectoral). Dengan system ini maka siapapun, dimanapun, kapanpun, dapat mengakses data tersebut secara ontime, real time untuk lahirnya perencanaan , pengendalian, pelaksanaan yang accountability, legitimate lahir batin. Tapi sepuluh tahun berlalu , system ini tidak pernah terealisir. Kalaupun ada maka sifatnya tidak terintegrasi dan E governman hanya digunakan sebagai alat memudahkan kerja , bukan sebagai bagian dari sytem pengelolaan untuk lahirnya transparency .
Semua itu kita pahami karena sebuah bukti menjelang pemilu demokrasi bahwa Data Pemilih tidak akurat. Tidak ada satupun pihak yang dapat disalahkan. Lagi lagi itu membuktikan system demokrasi yang kini kita banggakan memang hanya sebuah symbol tanpa ada kemauan untuk lahirnya disclose ( keterbukaan) secara sytematis. Maka jangan pernah berharap akan ada nilai nilai demokrasi yang dapat kita hasilkan dan rasakan dalam pemilu , seperti menerima kalah secara terhormat; Nilai nilai persatuan terancam, kemarahan menanti, kekecewaan terhampar, semuanya karena yang kuat yang menang. Bukan kejujuran dan kebenaran yang menang. Mengerikan dan menyedihkan.
Para menteri dan pejabat di era demokrasi kini suka sekali berbicara tentang data dan informasi yang mereka kutip dari berbagai sumber. Kemudian dari data tersebut, mereka bicara tentang indeks pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan ,angka produksi, angka inflasi, dan lain sebagainya. Dari data inipun mereka bicara bahwa mereka berhasil atau kalaupun ada masalah merekapun berkeyakinan dapat mengatasinya karena lagi lagi didasarkan oleh data. Ketika mereka berbicara maka tak ubahnya sang dictator berbicara. Hanya bedanya sang dictator ditakuti karena suka memukul namun politisi democrat dicibirkan karena suka melawak lewat data dagelan.
Demorkasi adalah Keterbukaan ( disclose ) tentang data dan informasi. Tidak ada artinya sebuah keterbukaan bila data dan informasi tidak benar. Bagaimana suatu inisiatip lembaga demokrasi dapat menjawab segala tuntutan rakyat bila data dan informasi yang dipakai untuk mengambil kebijakan tidak akurat ? Diatas banyak symbol tentang berbagai hal yang bernama demokrasi tak lebih hanyalah bentuk lain untuk melegalkan dictator cara lama bila keinginan untuk membangun system data dan informasi tidak diterapkan secara tepat.
Komunitas dari petani, nelayan, pedagang, industriawan dan lain sebagainya bicara tentang demokrasi maka itu adalah keterbukaan segala hal yang berkaitan dengan lingkungan, kesehatan, pendidikan, resource , distribusi, produksi. Pertanahan, kependudukan, perburuhan/ketenaga-kerjaan dan moneter, fiscal, hukum. Semua program demokrasi soal pembangunan komunitas hanya mungkin bila didukung oleh system data center yang qualified and up date. Data dan informasi ini tidak hanya diperlukan untuk lahir berbagai program tapi juga sebagai alat interaksi untuk lahirnya pengendalian langsung antar rakyat dengan rakyat, antar pemerintah dengan rakyat,antar lembaga pemerintah.
Tak akan nampak sebuah idealisme tentang nilai nilai demokrasi bila data dan informasi tidak terbangun dalam sebuah system yang terintegrasi. Tidak akan ada sebuah kebijakan yang bisa dikatakan legitimate sesuai nilai demokrasi bila tidak didukung data dan informasi yang benar. Karena sekecil apapun data dan informasi tentang apa saja, harus menjadi bagian tak terabaikan dan menjadi amanah. Walau itu hanya sekian permil data dan informasi dari total data komunitas nasional. Setiap data adalah pesan yang sacral untuk diperhatikan , dipikirkan , dilaksanakan dengan berbagai kebijakan untuk rakyat.
Sejak awal reformasi , program e goverman sudah dicanangkan. Tujuannya adalah membangun data center nasional ( e-government ) yang terintegrasi dalam UU dan aturan disemua tingkatan pemerintahan ( multi sectoral). Dengan system ini maka siapapun, dimanapun, kapanpun, dapat mengakses data tersebut secara ontime, real time untuk lahirnya perencanaan , pengendalian, pelaksanaan yang accountability, legitimate lahir batin. Tapi sepuluh tahun berlalu , system ini tidak pernah terealisir. Kalaupun ada maka sifatnya tidak terintegrasi dan E governman hanya digunakan sebagai alat memudahkan kerja , bukan sebagai bagian dari sytem pengelolaan untuk lahirnya transparency .
Semua itu kita pahami karena sebuah bukti menjelang pemilu demokrasi bahwa Data Pemilih tidak akurat. Tidak ada satupun pihak yang dapat disalahkan. Lagi lagi itu membuktikan system demokrasi yang kini kita banggakan memang hanya sebuah symbol tanpa ada kemauan untuk lahirnya disclose ( keterbukaan) secara sytematis. Maka jangan pernah berharap akan ada nilai nilai demokrasi yang dapat kita hasilkan dan rasakan dalam pemilu , seperti menerima kalah secara terhormat; Nilai nilai persatuan terancam, kemarahan menanti, kekecewaan terhampar, semuanya karena yang kuat yang menang. Bukan kejujuran dan kebenaran yang menang. Mengerikan dan menyedihkan.