Dua hari lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Ini bulan yang selalu dinantikan oleh seluruh umat muslim sedunia. Dibulan inilah terbuka segala pintu rahmat, berkah dan ampunan dari sang pengcipta. Dibulan inipula umat islam ditantang dengan ujian menahan lapar, haus dan hawa nafsu dari sejak fajar sampai matahari terbenam. Dalam kurun waktu 12 jam kita diminta menghadapi proses berjalannya waktu itu dengan khusu memuji kebesaran Allah dan menerima segala cobaan dengan ikhlas. Maha suci Allah yang selalu menuntun kita untuk mencapai kesempurnaan akhlak agar kita menjadi pemimpin dimuka bumi dan penyebar rahmat bagi alam semesta.
Memang benarlah bahwa hidup adalah perjuangan untuk menegakkan asma Allah untuk mencapai kemuliaan. Hubungan hablulminallah dan Hablubminnnas terjalin erat dalam ritual ramadhan ini. Dalam hubungan hablulminallah kita diminta tunduk atas perintah puasa. Puasa memang hanya kepada orang yang beriman. Puasa tidak diperuntukan bagi orang yang tidak percaya kepada. Akhir dari ritual ini adalah reward berupa menjadi orang yang bertakwa. Namun implikasi dari ritual Ramadhan inilah yang kadang terlupakan oleh kita yaitu peka terhadap pesan kemanusiaan , kebersamaan, perdamaian dan keadilan serta peduli kepada mereka yang miskin.
Sejak krisis ekonomi terjadi ,negeri kita menghadapi bencana kemanusiaan yang teramat menyedihkan. Kasus busung lapar yang diderita anak-anak di NTB, NTT, dan provinsi lainya terjadi sejak krisis melanda negeri ini tahun 1997, gizi buruk, busung lapar, dan kematian anak balita akibat busung lapar sudah menjadi berita. Sampai kini itu terus berlanjut. Berita tentang bantuan dari semua pihak hanya terjadi sesaat dan setelah itu terlupakan. Ini adalah tragedi tapi kita menepisnya dengan bersandar berjuta alasan yang terkait dengan alam dan iklim. Dengan cara pandang seperti itu, nasib jutaan anak Indonesia yang menderita gizi buruk dan satu per satu meninggal, tak akan pernah dianggap signifikan untuk menjadikannya sebagai tragedi nasional yang menuntut penanganan serius. Sebab dalam sistem ekonomi global sekarang ini, keberadaan dan penderitaan kaum miskin tak akan tampak. Mereka tersembunyi di gubuk-gubuk di pelosok-pelosok pedesaan dan di sudut-sudut kumuh perkotaan, yang ruang hidupnya tak pernah terhitung dalam sistem ekonomi formal.
Walau rezim Soeharto telah jatuh dan digantikan pemerintahan yang lebih demokratis, integrasi negara ke dalam tata ekonomi global dan tingginya beban utang, selalu berarti, yang paling miskin tetap saja ditelanjangi hak-haknya, sama seperti saat berada di bawah rezim paling otoriter. Sebab hak asasi yang dilanggar penguasa otoriter yang tampak merupakan satu hal, sementara para pencipta kemiskinan dan kelaparan abadi yang tersembunyi dalam kekuatan ekonomi merupakan hal lain. Pembangunan selama ini lebih berarti mereduksi berbagai bentuk kekayaan alam menjadi uang, yang akhirnya lebih banyak raib di tangan koruptor. Sudah waktunya kita menghitung biaya tersembunyi yang tak pernah bisa diukur oleh indikator-indikator ekonomi global, namun terus ditanggung demikian banyak orang miskin. Upaya melawan kekuatan ekonomi yang tidak memperhitungkan keberadaan kaum miskin, dan yang terus mendesakkan penghapusan subsidi atas kebutuhan pokok, lebih banyak swastanisasi, pembayaran utang dengan bunga tinggi, jauh lebih sulit daripada menggulingkan penguasa politik yang otoriter.
Mungkin kelaparan dan kematian akibat kemiskinan sebagai bentuk kegagalan kita sebagai orang beriman yang tidak punya keberanian untuk melawan atau tidak peduli atau lebih mementingkan keselamatan pribadi. Makanya derita demi derita kaum miskin yang terjadi saat ini adalah peringatan untuk orang beriman agar bangkit berjuang melawan ketidakadilan dari keberadaan system yang membuat kemiskinan terus terjadi. Sudah waktunya kita menghitung kembali nilai nilai spiritual kita, nilai ibadah kita dan nilai puasa kita dibulan ramadhan ini..apakah cukup dengan berzikir, sholat dan menahan lapar saja sementara fungsi kita sebagai rahmatan lilalamin terabaikan.