Dulu zaman Soekarno , Soerhato memanglah cinta bangsa dan semangat patriotisme itu selalu dipropaganda disetiap kesempatan. Tapi dizaman reformasi ini , semangat itu sudah semakin berkurang. Jargon globalisasi dan demokratisasi menenggelamkan patriotisme seperti kata kata usang didalam tumpukan buku buku kono. Tapi keliatannya kembali semangat kebangsaan ditampilkan didepan public baru baru ini sebelumnya semangat itu ditampilkan ketika pertandingan bola Piala Asia disenayan. Semangat merah putih berkibar dengan gagahnya walau akhirnya harus menerima lapang dada suatu kekalahan dirumah sendiri.
Peristiwa kekerasan yang dilakukan Polisi Diraja Malaysia kepada TKI menyentuh rasa kebangsaan dan membakar semangat patriotisme kita. Dari Ormas sampai kepada Politisi disenayan bersuara keras , mengecam tindakan kesewenangan Polisi Diraja Malasysia. Kita marah dan marah. Seakan siap bertempur kapan saja untuk memaksa pemerintah Malaysia mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada kita. Tentu Malaysia tidak akan mengakui kesalahan atau maaf kepada pemerintah Indonesia karena status TKI disana adalah sebagai penduduk Negara yang mempunyai posisi sama dengan penduduk lainnya dihadapan hukum Malaysia.. Ungkapan maaf yang tepat adalah langsung kepada pihak yang menjadi korban kekerasan tersebut. Dan ini sudah dilakukan oleh Dubes Malaysia di Indonesia dengan langsung mendatangi korban berserta keluarganya sambil menyampaikan surat permintaan maaf dari Kepolisian Diraja Malaysia.
Anehnya, kita begitu gagah bila melihat ada ketidakadilan terhadap prilaku pejabat negeri lain terhadap rakyat kita sementara setiap hari kita melakukan sikap kesewenangan dan mempermainkan keadilan kepada rakyat kita sendiri. Cobalah disimaki dengan seksama bahwa keberadaan para TKI berpendidikan rendah tersebut adalah akibat system yang ada dinegeri kita , membuat mereka miskin secara structural. Lantas mengapa ini tidak dijadikan semangat patriotisme kita untuk memperbaiki sikap kita terhadap rakyat agar mereka tidak perlu menumpang hidup dinegeri orang. Ketahuilah bahwa keberadaan para TKI diluar negeri tidak lebih hanyalah bagian dari komoditi global untuk kepentingan para juragan yang menikmati kemakmuran dari system negaranya. Tidak akan pernah ada kebijakan sosial humanis bagi sang komiditi ( TKI) dan kita menutup mata atas situasi ini.
Ungkapan emosional Politisi senayan yang meminta pemerintah menarik pulang semua TKI yang ada di Malasyia, menyiratkan seakan tanpa TKI , malaysia akan hancur. Sebetulnya bagi Malaysia yang sudah beranjak menjadi negara maju yang makmur keberadaan TKI sudah mulai mengganggu stabilitas nasional mereka.. Karena memang mereka tidak begitu lagi membutuhkan tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Tingkat upah yang mereka berikan kepada TKI adalah standard diatas rata rata upah yang diterima oleh para buruh yang ada di Indonesia, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina Jadi seandainya TKI kita semua keluar maka ini adalah berkah bagi malaysia yang bisa dengan mudah menggantinya dari Thailand dan Filipina yang jauh lebih berkualitas. Sementara bila TKI itu kembali ke Indonesia , apakah kita sanggup memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka. ? Jumlah TKI di Malaysia diatas 100,000 orang dan ini bila kembali tentu akan menimbulkan masalah sosial bila kita tidak bisa memberikan lapangan pekerjaan.
Keberadaan para buruh yang ‘’terlempar ‘’ dinegeri orang adalah cerita lain dari sisi gelap kegagalan semangat patriotisme. Walau kegagalan ini ditutupi dengan memberikan embel embel jargon sebagai ‘’ pahlawan devisa ‘’ bagi para buruh yang berkerja di luar negeri. Kita memanglah sangat pandai menari dari banyak kesalahan dan kemudian mencoba menghibur diri untuk selanjutnya melupakan semua kepedihan atas derita nestapa yang dialami para buruh migran itu.. Padahal mungkin kitalah satu satunya negara didunia yang menempatkan nasionalisme dan patriotisme hanya kepada ‘’ ibu pertiwi’’. Suatu ungkapan nasionalisme dan patriotisme yang sangat romantis dimana menjadikan sosok ibu sebagai repleksi kecintaan , kesetiaan, kehormatan yang harus dibela sampai mati. Lantas apa jadinya bila kini kita melihat ribuan para ibu yang terpaksa meninggalkan sanak keluarganya menjadi jongos dinegeri orang….
Bertikai dengan Malaysia dengan mengusung patriotisme adalah cara terbaik mentertawakan kebodohan kita sebagai bangsa yang gagal menjadikan slogan ‘’ lebih baik hujan batu dinegeri sendiri daripada hujan emas dinegeri orang.’’
Peristiwa kekerasan yang dilakukan Polisi Diraja Malaysia kepada TKI menyentuh rasa kebangsaan dan membakar semangat patriotisme kita. Dari Ormas sampai kepada Politisi disenayan bersuara keras , mengecam tindakan kesewenangan Polisi Diraja Malasysia. Kita marah dan marah. Seakan siap bertempur kapan saja untuk memaksa pemerintah Malaysia mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada kita. Tentu Malaysia tidak akan mengakui kesalahan atau maaf kepada pemerintah Indonesia karena status TKI disana adalah sebagai penduduk Negara yang mempunyai posisi sama dengan penduduk lainnya dihadapan hukum Malaysia.. Ungkapan maaf yang tepat adalah langsung kepada pihak yang menjadi korban kekerasan tersebut. Dan ini sudah dilakukan oleh Dubes Malaysia di Indonesia dengan langsung mendatangi korban berserta keluarganya sambil menyampaikan surat permintaan maaf dari Kepolisian Diraja Malaysia.
Anehnya, kita begitu gagah bila melihat ada ketidakadilan terhadap prilaku pejabat negeri lain terhadap rakyat kita sementara setiap hari kita melakukan sikap kesewenangan dan mempermainkan keadilan kepada rakyat kita sendiri. Cobalah disimaki dengan seksama bahwa keberadaan para TKI berpendidikan rendah tersebut adalah akibat system yang ada dinegeri kita , membuat mereka miskin secara structural. Lantas mengapa ini tidak dijadikan semangat patriotisme kita untuk memperbaiki sikap kita terhadap rakyat agar mereka tidak perlu menumpang hidup dinegeri orang. Ketahuilah bahwa keberadaan para TKI diluar negeri tidak lebih hanyalah bagian dari komoditi global untuk kepentingan para juragan yang menikmati kemakmuran dari system negaranya. Tidak akan pernah ada kebijakan sosial humanis bagi sang komiditi ( TKI) dan kita menutup mata atas situasi ini.
Ungkapan emosional Politisi senayan yang meminta pemerintah menarik pulang semua TKI yang ada di Malasyia, menyiratkan seakan tanpa TKI , malaysia akan hancur. Sebetulnya bagi Malaysia yang sudah beranjak menjadi negara maju yang makmur keberadaan TKI sudah mulai mengganggu stabilitas nasional mereka.. Karena memang mereka tidak begitu lagi membutuhkan tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Tingkat upah yang mereka berikan kepada TKI adalah standard diatas rata rata upah yang diterima oleh para buruh yang ada di Indonesia, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina Jadi seandainya TKI kita semua keluar maka ini adalah berkah bagi malaysia yang bisa dengan mudah menggantinya dari Thailand dan Filipina yang jauh lebih berkualitas. Sementara bila TKI itu kembali ke Indonesia , apakah kita sanggup memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka. ? Jumlah TKI di Malaysia diatas 100,000 orang dan ini bila kembali tentu akan menimbulkan masalah sosial bila kita tidak bisa memberikan lapangan pekerjaan.
Keberadaan para buruh yang ‘’terlempar ‘’ dinegeri orang adalah cerita lain dari sisi gelap kegagalan semangat patriotisme. Walau kegagalan ini ditutupi dengan memberikan embel embel jargon sebagai ‘’ pahlawan devisa ‘’ bagi para buruh yang berkerja di luar negeri. Kita memanglah sangat pandai menari dari banyak kesalahan dan kemudian mencoba menghibur diri untuk selanjutnya melupakan semua kepedihan atas derita nestapa yang dialami para buruh migran itu.. Padahal mungkin kitalah satu satunya negara didunia yang menempatkan nasionalisme dan patriotisme hanya kepada ‘’ ibu pertiwi’’. Suatu ungkapan nasionalisme dan patriotisme yang sangat romantis dimana menjadikan sosok ibu sebagai repleksi kecintaan , kesetiaan, kehormatan yang harus dibela sampai mati. Lantas apa jadinya bila kini kita melihat ribuan para ibu yang terpaksa meninggalkan sanak keluarganya menjadi jongos dinegeri orang….
Bertikai dengan Malaysia dengan mengusung patriotisme adalah cara terbaik mentertawakan kebodohan kita sebagai bangsa yang gagal menjadikan slogan ‘’ lebih baik hujan batu dinegeri sendiri daripada hujan emas dinegeri orang.’’
No comments:
Post a Comment