Singapore telah lebih tiga tahun melakukan kampanye ‘ Smile “ dan hasil survey membuktikan bangsa Singapore belum berhasil menjadikan “ Smile “ sebagai culture. China dalam rangka menyambut Olympic 2008, sejak tiga tahun lalu mulai gencar mengkampanyekan budaya “smile “ agar menjadi tuan rumah yang ramah. Sampai sekarang belum berhasil membangun budaya smile itu. Ternyata tidak semudah membangun sarana olah raga yang berharga billion dollar. Inilah yang menjadi kegelisahan para pemimpin China dan juga Singapore. Padahal negeri itu telah berupaya semaksimal mungkin mensejahterakan rakyatnya dengan segala fasilitas social kelas satu. Tapi mengapa senyum terlalu sulit didapat dinegeri ini.
Senyum itu pahala. Demikian yang disampaikan oleh rasulullah. Sangat sederhana ibadah ini dan hampir semua kita tidak ada yang sulit bila diminta untuk melaksanakan ibadah ini. Tapi nyatanya senyum itu tidak begitu mudah didapat diera sekarang ini. Wajah kita adalah cermin dari suasana hati kita. Hati yang dicekam “ketakutan” tentu jauh dari senyuman. Dulu orang takut tersenyum karena tekanan politik dan kebebasan. Negara begitu kuatnya mengendalikan hajat hidup orang banyak hingga kesalahan akan dibayar dengan kematian. Tapi kini di era kebebasan dan demokrasi ketakutan digantikan oleh sikap kompetisi dan disiplin. Orang kini diburu rasa ketakutan ; telat masuk kantor, telat bayar tagihan, telat capai target penjualan, telat mendapatkan komisi, telat beli mobil, telat beli rumah mewah, telat sukses, telat kawin, telat , telat.
Dulu orang Indonesia dikenal negeri yang murah senyum. Banyak sanjungan dari bangsa asing bahwa keramah tamahan bangsa Indonesia jauh lebih benilai dibandingkan dengan sember daya alam berlimpah dan keindahan panorama alam. Tapi peristiwa jatuhnya Soeharto yang diiringi oleh amuk massa dengan sosok kegaganasan diluar batas kemanusiaan, juga dengan berbagai pertikaian dibelahan wilayah lain , telah mengaburkan wajah Indonesia yang gemar senyum. Tidak ada lagi keramahan. Senyuman menjadi mahal. Makanya tidak aneh bila pelawak yang dapat membuat orang tersenyum dan tertawa dibayar mahal. Namun setelah itu , keseharian kita tetap saja dalam mencekap dan jauh dari senyuman. Inilah menjadi pertanyaan mendasar. Mengapa budaya senyum secepat itu mengabur?
Sesungguhnya senyuman itu adalah bahasa jiwa kita. Didalamnya terdapat tiga unsur dimana bersemayam Akal (Aql), Qalb ( hati ), Bashirah ( Hati nurani ). Kalau dianalogikan maka Akal ( Aql) adalah raja dalam diri kita. Qalb ( hati) adalah Perdana Menteri dan nurani ( bashirah ) adalah hakim agung. BIla orang menjadikan akalnya sebagai pusat otoritas bersikap maka akal ikut berperan menciptakan ketidak seimbangan ketiga unsur yang terdapat dalam diri kita Dan ini akan terpancar dari sikap yang arogan, , mudah cemas, mudah tersinggung, mudah marah. Akal hanya dapat melihat dan merasa dan tidak pernah berhasil menentukan cara bersikap yang benar. Akal bersikap relative.
Namun yang yang paling bertanggung jawab mendorong akal (aql) larut menjadi diktator adalah Qalb. Qalb (hati), merupakan perdana menteri dari sistem nafsani. Dialah yang memimpin kerja jiwa manusia. Ia bisa memahami realita, apa yang aqal mengalami kesulitan. Sesuatu yang tidak rationil masih bisa difahami oleh qalb. Di dalam qalb ada berbagai kekuatan dan penyakit; seperti iman, cinta dengki, keberanian, kemarahan, kesombongan, kedamaian, kekufuran dan sebagainya. Qalb memiliki otoritas memutuskan sesuatu tindakan, oleh karena itu segala sesuatu yang disadari oleh qalb berimplikasi kepada pahala dan dosa. Apa yang sudah dilupakan oleh qalb masuk kedalam memory nafs (alam bawah sadar), dan apa yang sudah dilupakan terkadang muncul dalam mimpi Sesuai dengan namanya qalb, ia sering tidak konsisten.
Agar wajah kita berseri berhias senyuman yang senantiasa terpancar maka seyogianya kita harus menggunakan Bashirah ( hati nurani ) kita sebagai hakim agung dalam diri kita untuk menentukan cara kita bersikap terhadap pendapat akal (Aql) dan Qalb ( hati). Karena didalam hati nurani ( Bashirah) inilah bersemayam kehaikan dan nur Allah yang senantiasa menyuarakan kesabaran, ketulusan, kesederhanaan dan cinta kasih. Peliharalah nurani kita dengan sebaik baiknya dengan selalu mengingat Allah sang maha pengatur dan pemberi sumber kasih sayang. Mungkin inilah yang terlupakan oleh bangsa China dan Singapore , juga oleh kita di Indonesia dimana senyum tidak lagi menjadi keseharian kita.
Senyum itu pahala. Demikian yang disampaikan oleh rasulullah. Sangat sederhana ibadah ini dan hampir semua kita tidak ada yang sulit bila diminta untuk melaksanakan ibadah ini. Tapi nyatanya senyum itu tidak begitu mudah didapat diera sekarang ini. Wajah kita adalah cermin dari suasana hati kita. Hati yang dicekam “ketakutan” tentu jauh dari senyuman. Dulu orang takut tersenyum karena tekanan politik dan kebebasan. Negara begitu kuatnya mengendalikan hajat hidup orang banyak hingga kesalahan akan dibayar dengan kematian. Tapi kini di era kebebasan dan demokrasi ketakutan digantikan oleh sikap kompetisi dan disiplin. Orang kini diburu rasa ketakutan ; telat masuk kantor, telat bayar tagihan, telat capai target penjualan, telat mendapatkan komisi, telat beli mobil, telat beli rumah mewah, telat sukses, telat kawin, telat , telat.
Dulu orang Indonesia dikenal negeri yang murah senyum. Banyak sanjungan dari bangsa asing bahwa keramah tamahan bangsa Indonesia jauh lebih benilai dibandingkan dengan sember daya alam berlimpah dan keindahan panorama alam. Tapi peristiwa jatuhnya Soeharto yang diiringi oleh amuk massa dengan sosok kegaganasan diluar batas kemanusiaan, juga dengan berbagai pertikaian dibelahan wilayah lain , telah mengaburkan wajah Indonesia yang gemar senyum. Tidak ada lagi keramahan. Senyuman menjadi mahal. Makanya tidak aneh bila pelawak yang dapat membuat orang tersenyum dan tertawa dibayar mahal. Namun setelah itu , keseharian kita tetap saja dalam mencekap dan jauh dari senyuman. Inilah menjadi pertanyaan mendasar. Mengapa budaya senyum secepat itu mengabur?
Sesungguhnya senyuman itu adalah bahasa jiwa kita. Didalamnya terdapat tiga unsur dimana bersemayam Akal (Aql), Qalb ( hati ), Bashirah ( Hati nurani ). Kalau dianalogikan maka Akal ( Aql) adalah raja dalam diri kita. Qalb ( hati) adalah Perdana Menteri dan nurani ( bashirah ) adalah hakim agung. BIla orang menjadikan akalnya sebagai pusat otoritas bersikap maka akal ikut berperan menciptakan ketidak seimbangan ketiga unsur yang terdapat dalam diri kita Dan ini akan terpancar dari sikap yang arogan, , mudah cemas, mudah tersinggung, mudah marah. Akal hanya dapat melihat dan merasa dan tidak pernah berhasil menentukan cara bersikap yang benar. Akal bersikap relative.
Namun yang yang paling bertanggung jawab mendorong akal (aql) larut menjadi diktator adalah Qalb. Qalb (hati), merupakan perdana menteri dari sistem nafsani. Dialah yang memimpin kerja jiwa manusia. Ia bisa memahami realita, apa yang aqal mengalami kesulitan. Sesuatu yang tidak rationil masih bisa difahami oleh qalb. Di dalam qalb ada berbagai kekuatan dan penyakit; seperti iman, cinta dengki, keberanian, kemarahan, kesombongan, kedamaian, kekufuran dan sebagainya. Qalb memiliki otoritas memutuskan sesuatu tindakan, oleh karena itu segala sesuatu yang disadari oleh qalb berimplikasi kepada pahala dan dosa. Apa yang sudah dilupakan oleh qalb masuk kedalam memory nafs (alam bawah sadar), dan apa yang sudah dilupakan terkadang muncul dalam mimpi Sesuai dengan namanya qalb, ia sering tidak konsisten.
Agar wajah kita berseri berhias senyuman yang senantiasa terpancar maka seyogianya kita harus menggunakan Bashirah ( hati nurani ) kita sebagai hakim agung dalam diri kita untuk menentukan cara kita bersikap terhadap pendapat akal (Aql) dan Qalb ( hati). Karena didalam hati nurani ( Bashirah) inilah bersemayam kehaikan dan nur Allah yang senantiasa menyuarakan kesabaran, ketulusan, kesederhanaan dan cinta kasih. Peliharalah nurani kita dengan sebaik baiknya dengan selalu mengingat Allah sang maha pengatur dan pemberi sumber kasih sayang. Mungkin inilah yang terlupakan oleh bangsa China dan Singapore , juga oleh kita di Indonesia dimana senyum tidak lagi menjadi keseharian kita.
No comments:
Post a Comment