Ditengah krisis anggaran dewasa ini maka kita menyadari bahwa APBN tidak berdaya secara utuh untuk menopang program kesehatan, pendidikan, perumahan , penyediaan infrastructure. Ekonomi kita bergerak lambat sementara tuntutan pembangunan terus bergerak cepat. Sejak reformasi berbagai upaya yang dilakukan pemerintah nampaknya tidak memberikan perubahan bahkan cenderung situasi semakin menurun. Bagi kebanyakan kita yang frustasi dengan situasi ini , cenderung menyalahkan Orde Baru dan lebih banyak wacana daripada kerja.
Krisis anggaran ini sudah masuk dalam perangkap mematikan dan hampir tidak mungkin diselesaikan tanpa ada revolusi. Sementara revolusi adalah hal yang menakutkan dan tidak boleh terjadi. Apa yang harus dilakukan. ? Benarlah apa kata orang bijak, "Belajarlah sampai ke Negeri China." Maka, kita di Indonesia yang terus menerus dilanda kebingungan, tak ada salahnya mempelajari resep kemajuan China. Pun tidak perlu malu untuk menjadikan China sebagai acuan agar kita mau mengakselerasi pembangunan nasional. Dalam hal ini ada baiknya pemerintah mengakui saja bahwa gagal memenuhi janjinya karena krisis anggaran yang berakibat semakin banyaknya orang miskin, lemahnya daya beli , tidak terbangunnya infrastructure social maupun ekonomi. Akui saja bahwa pemerintah gagal melaksanakan keadilan dan korupsi semakin merajalela dan sulit dihapuskan. Keadaan ini tidak jauh berbeda ketika China dimasa rezim komunis Mao dengan kelompak empatnya bahkan keadaan rakyat china lebih buruk dbandingkan kita.. Para petani dipaksa berproduksi untuk memuaskan partai dan semua kehidupan dikontrol ketat oleh pemerintah dengan banyak aturan yang menyulitkan rakyat untuk bergerak bebas. Nah , disinilah yang patut kita contoh dari rakyat china , khusunya rakyat yang ada di provinsi Zhejiang.
Sebelum liberalisasi ekonomi Zhejiang adalah contoh kemampuan pemerintah local melawan system komunis. Namun perlawanan ini tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah pusat karena letak daerah ini yang jauh. Provinsi Zhejiang yang berbatasan dengan Taiwan. Kota ini awalnya tidak dirancang sebagai pusat industri tapi pusat pertahanan militer karena berbatasan dengan Taiwan. Hanya selat yang membatasi . Daerah ini sangat sedikit sekali mendapatkan anggaran dari Pusat dan hampir tidak mungkin untuk menciptakan pertumbuhan namun rakyat yang ada di Zhejiang bangkit dengan kemampuan kemandirian. Pembangunan dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan pendanaan dari budaya arisan. Kebiasaan masyarakat china yang suka berkelompok berdasarkan pertemanan serta hobi hidup hemat dan gemar menabung telah menjadikan system arisan ini mampu sebagai amunisi menuju kemakmuran.
Ketika system arisan ini menunjukan keberhasilan maka disinilah yang patut kita contoh dimana mereka mampu berbuat jenius tanpa dukungan penasehat keuangan Wall street dan pengacara di London. Larangan mendapatkan dana dari system perbankan telah mendorong terbentuknya system perusahaan keluarga kolektive ( koperasi ). Kemudian dengan melobi perusahaan Negara untuk menjadikan mereka sebagai anak angkat. Melalui perjanjian dengan manajemen perusahaan Negara tersebut , koperasi itu akan membungkus dirinya dengan nama, dokumen dokumen dan nomor rekening di bank dimana perusahaan Negara itu sebagai nasabah utama, Tentu terjadinya kolaborasi tersamar ini karena didukung adanya jaminan dari system arisan yang mampu memperkuan likuiditas bank. Langkah ini tidak hanya membuat usaha mereka halal menerima kredit bank, tetapi juga membebaskannya dari keharusan membayar pajak. Sementara para petanipun melalui system pertanian kolektive yang ditetapkan pemerintah berhasil mengelabui pemerintah dengan cara yang sama.
Tentu cara ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan tidak langsung dari penguasa partai local dan intelektuak kaum muda yang tersadarkan oleh ambisi rakyat untuk mandiri. Namun melawan secara langsung kekuatan pusat adalah tidak mungkin. Maka tidak aneh bila banyak pemimpin usaha kolektiv tersebut ( koperasi ) itu dimotori oleh pejabat partai local yang gigih memberikan pendidikan untuk menimbulkan semangat kemandirian. Disamping itu para pemuda lulusan universitas Zhejiang secara diam diam melalui program kebudayaan pergi kepenjuru china untuk memasarkan produk dan juga melobi pedagang Hong Kong untuk menjadi perantara mereka masuk kepasar international.
Keberhasilan Zhejiang telah menyadarkan Pemerintah Pusat . Deng menjadikan ini sebagai momentum yang tepat melakukan reformasi ekonomi. Zhejiang pun dijadikan model pembangunan bagi seluruh provinsi. Partai Komunis mulai bersedia memperbaiki kesalahan idiologi radikal pada masa lalu, termasuk kesalahan Mao dan kelompok Empat Maois, perubahan ini menandakan era kepemimpian yang lebih praktis. Dibawah komando Deng , reformasi ekonomi dipantau dari dekat oleh Partai Komunis dan pemberatasan korupsipun dilakukan dengan cara praktis dan sistematis sebagai bagian tak terpisahkan dalam system pengawasan era reformasi. Hasilnya, hampir 40 ribu industri milik Negara yang tidak efisien telah ditutup. Sejak tahun 1996 sampai dengan 2001 sebanyak 53 juta orang yang bekerja di sector pemerintahan diberhentikan. Jumlah ini sama saja dengan seperempat penduduk Indonesia.
Kini provinsi Zhejiang telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi dengan melahap sebagian besar lahan pertanian menjadi pusat industri dari segala jenis produk. Di provinsi Zhejiang , 90 persen usaha dan penyediaan infrastructure ( tenaga listrik, jalan toll dll) adalah dikelola oleh masyarakat/swasta. Suatu persentase yang tertinggi dibanding provinsi lainnya. Perjalanan dari bandara kepusat kota , terlihat jelas iklan berbagai produk seperti kamera digital, telephone genggam dan berbagai alat permesinan. Semua itu adalah produk local yang dibanjiri oleh pedagang besar dari eropa dan amerika untuk berbelanja. Yang pasti masyarakat Zhejiang dan begitupula dihampir semua provinsi di china telah menjadi momok yang menakutkan bagi pencinta paham kapitalis tentang teori penguasaan modal ,yang ternyata telah dijungkir balikan oleh kekuatan system komunitas yang bergerak bagaikan roket dan hampir tidak bisa ditemukan dalam teori ekonomi kepitalis (yang menempatkan kekuatan konglomerasi sebagai pendorong pertumbuhan)
Salah satu pejabat china berkata pada saya bahwa “ pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat dan pencapaian kemakmuran disemua kota dan desa adalah sangat mengejutkan kami. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ini bukanlah hasil kerja dari pemerintah pusat, Semuanya datang dari antusias masyarakat yang sadar untuk memperjuangkan kehormatan keluarga dan negaranya, berdasarkan cara cara yang kami yakini dan bukan meniru cara Amerika , eropa atau Negara lainnya.”
Dari teman saya yang pernah bekerja di Credit Suisse dan sekarang memimpin satu perusahaan securitas mengatakan bahwa “ Munculnya perlawanan system di provinsi Zhejiang sebetulnya karena tekanan kemiskinan dan rendahnya dukungan anggaran dari Pemerintah. Apa yang mereka lakukan adalah revolusi system tanpa melalui revolusi phisik dengan cara menggerakan semangat kebersamaan untuk melawan ketidak adilan dbibidang ekonomi dan politik.
Bagiamana dengan Indonesia ?
Apakah kita masih terus berharap dari pemerintah tentang kemakmuran ?? Dan terus menantikan suatu keajaiban dari datangnya nya sang ratu adil.. Sementara itu kita terus larut dalam budaya konsumerisme, individualisme, yang diimport dari Barat. Seharusnya kita kembali kepada akar budaya kita yang gemar bergotong royong sebagai ujud kebersamaan senasif sepenanggungan, hidup hemat, ramah tamah, gemar bekerja. Hanya dengan kembali kepada akar budaya yang turun temurun itulah yang dapat membuat kita keluar dari mimpi kosong dari janji janji para politisi. Kita membayangkan ada salah satu provinsi di Indonesia yang dapat meniru Zhejiang…agar dapat menyadarkan pemerintah untuk kembali kepada jatidiri bangsa sebagaimana yang dicita citakan oleh Muhammad Hatta dan… inilah reformasi yang sesungguhnya.