Kalau ada orang bercerita tetang seseorang yang bernuansa negatif maka kakek saya segera berlalu. Ketika dia berlalu , dia tak ingin mengucapkan salam. Wajahnya segera dipalingkan dari orang yang berbicara itu. Karena sifatnya itu kakek saya bukanlah teman diskusi tentang orang lain. Seluruh keluarga besar tahu persis sifat kakek itu. Tapi tidak ada yang bertanya khusus mengapa dia bersifat seperti itu. Saya bersyukur karena ketika remaja diberi kesempatan oleh Allah mendampinginya dalam keadaan sakit. Walau sakit , kakek tidak pernah mengeluh. Pada saat itulah saya bertanya kepada Kakek tentang sifatnya itu. Kakek menjawab bahwa bila kamu membicarakan tentang orang lain soal hal yang buruk, maka sebetulnya kamu sedang makan bangkai saudara kamu sendiri. Itulah sebabnya kakek tidak mau menanggapi omongan soal itu. Bahkan kakek segera berlalu. Karena dihadapan kakek orang yang membicarakan itu lebih buruk daripada binatang yang tak mau makan bangkai.
Diera sekarang dalam dunia serba berkompetisi ,baik itu dunia politik, dunia bisnis, maka propaganda menjadi alat untuk menang. Saling menjatuhkan orang lain dengan informasi apa saja sudah menjadi ilmu tersendiri. Dunia bisnis senang menyebut dirinya terbaik dalam segi produk. Dan menyebut produk lain buruk atau dengan istilah mereka ” tinggalkan yang lain dan beralih kepada kami ” Pembicara menjadi hidup bila sudah berbicara tentang keburukan orang lain. Masing masing mencoba menganalisa seakan dia lebih baik dari orang yang dibicarakan itu. Di cafe, di pengajian, di arisan, pengguncingan tentang orang lain sudah menjadi budaya. Bila ada yang kesusahan karena musibah ,maka beredarlah cerita bersambung tentang orang itu.. Kalau sudah begini tak penting lagi itu benar atau tidak. Yang penting memang mengasyikan untuk dibicarakan.
Memang hampir sebagian besar kita suka sekali membicarakan orang lain. Apalagi soal keburukan. Tengoklah berita selebritis di televisi sangat tinggi ratingnya. Karena bicara gosip. Entar benar atau tidak berita itu. Namun publik suka sekali membicarakan aib orang lain. Dampak dari pembicaraan aib orang lain itu memang dahsyat. Orang baik bisa menjadi buruk dan bahkan hancur reputasinya. Orang buruk, bisa semakin kalap bertambah buruk. Karena merasa dilecehkan oleh orang ramai. Maka jadilah komunitas gosip atau tukang asal omong sebagai komunitas yang saling meresahkan. Sulit ada kedamaian. Saling berprasangka negatif menjadi kebiasaan. Saling mencari cari kesalahan orang lain semakin membudaya. Koran tak laku kalau tidak ada gosip. Keseharian berita di koran memang mengerikan tentang hal yang buruk.
Kenangan tentang kakek tak pernah hilang dalam diri saya. Kesederhanaannya dalam bersikap dan bertindak telah memberikan inspirasi kepada diri saya. Pernah kakek saya berkata. Semua orang bisa berbuat salah dan tak ada orang yang suci seratus persen. Walau begitu manusia tetap saja merasa malu bila dibicarakan keburukannya. Ini juga sudah sifat manusia kebanyakan. Dan lagi, bila kita bicarakan keburukan orang lain, bukan tidak mungkin dia telah bertobat dan Allah telah mengampuni dosanya. Sementara kita terus saja membicarakan keburukannya. Apakah kita lebih hebat dibandingkan Allah ? Apakah kita akan selalu baik ? Ingat ! kita bukan malaikat dan setiap saat kita bisa juga berbuat salah. Cobalah merasakan kepada diri sendiri sebelum kita melemparkannya kepada orang lain. Tentu tak nyaman bila dibicarakan orang lain tentang keburukan kita. Begitu juga orang lain. Sakit dikita , sakita juga di orang. Demikian nasehat kakek saya.
Dari itu saya teringat akan sabda Rasul ” Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW pernah bertanya, "Tahukah kamu, apa itu ghibah?"
Membicarakan orang lain itu berdosa karena menggiring kepada perbuatan rendah etika. Benar atau tidak yang dibicarakan itu tetap saja tak bermoral.