Apakah mungkin dalam Pilkada akan terjadi money politik ? Itu sangat besar kemungkinannay karena untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam UU, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar. Juga, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan UU. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima.
Disamping itu untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa. Dan untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon.
Bila identifikasi di atas benar sebagian atau seluruhnya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah praktik politik uang tersebut? Setidak-tidaknya tiga cara dapat ditempuh, yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri. Cara pertama diadopsi oleh peraturan perundang-undangan, tetapi pengaturannya masih harus dilengkapi oleh KPU provinsi/KPU kabupaten/kota. Masalah tidak sesederhana itu itu. Aturan tetaplah aturan, Audit tetaplah audit namun bila nafsu untuk menang dengan segala cara maka itu semua bisa didobrak. Siapa yang paling suci untuk mengawasi itu? Kalau kenyataanya semakin banyak aturan dan audit justru semakin panjang mara rantai money politik terjadi.
Tak ada jalan lain kecuali system ini harus dirubah. Menyerahkan langsung kepada rakyat untuk memimpin kepala daerah memang sangat ideal tapi dalam masyarakat yang masih sebagian besar terbelakang pendidikan politiknya adalah sangat tidak elok. Bangsa Indonesia dari sejarahnya adalah masyarakat budaya yang masih terikat dengan kepemimpinan adat dan agama dalam menyelesaikan masalahnya. Alangkah baiknya bila peran adat dan agama dijadikan dasar platform bagaimana memilih pemimpin. Bahwa pemimpin itu tidak datang dari pasar tapi datang dari tengah masyarakat yang dikenal lahir batin oleh masyarakat itu sendiri. Tugas pemerintah memberikan aturan yang jelas dan melegitimasi kepemimpinan itu. Harap dicatat dalam Agama islam, orang tidak dibenarkan mengejar kekuasaan , apalagi menyombongkan diri agar dirinya terpilih.
Selagi sistem ini masih tetap dipertahankan maka lihatlah kenyataan nanti. Tidak akan lahir kepemimpinan di tingkat daerah yang amanah. Kalaupun ada hanyalah segelintir.Untuk menyampai tujuan idealnya, sistem ini masih akan membutuhkan waktu yang panjang. Amerika saja sampai sekarang masih bergelut dengan banyak masalah terhadap pemilihan langsung ini. Anehnya, kita masih saja menerima cara cara sulit sementara cara yang mudah melalui kerapatan adat dan agama diacuhkan. Bukankah hukum moral lebih tinggi dibandingkan hukum buatan manusia.
No comments:
Post a Comment