Seusai bersibuk dengan aktifitas
keseharian ,saya pulang mendekati dini hari. Walau malam telah menjemput namun Jakarta
masih ramai. Masih ada beberapa tempat yang terhalang macet. Entah apa
sebabnya. Ketika lampu merah , mata saya tertuju kepada wanita yang duduk di
pinggir jalan. Di sampingnya ada baskom tempat dia menjual sesuatu. Di
sampingnya nampak juga anak balita yang tertidur beralaskan kain. Wanita itu
menatap saya dan mendekati kendaraan saya. Saya bukan kaca jendela kendaraan.
Dengan tersenyum, dia menawarkan dagangannya. Saya membalas senyumnya seraya
menanyakan namanya. Dia menyebut dirinya Markiah. Singkat saja nama itu. Ya,
Markiah seperti wanita lainnya yang terseret arus kota yang sulit ramah kepada
seorang janda miskin. Kemana suaminya? entahlah. Ketika saya beli susu kedelai
yang dia tawarkan, dia tampak lelah namun tegar. Tentu. Ketika saya beri uang
tanpa membeli daganganya, dia menolak dengan halus. Saya merasa terjatuh
berkeping keping. Ya Tuhan maafkan aku. Aku salah menilai wanita ini sehingga
aku menduga dia pengemis.
Tuhan, engkau tunjukan kepadaku
wanita perkasa melawan nasip. Dia tidak menadahkan tangan. Ketika saya rasakan
susu kedelai memang enak. Dengan harga 5.000 satu kantong plastik saya
merasakan susu kedelai terbaik. Dia tidak hanya menjual untuk makan tapi memang
menjual karena cinta, tahu berterimakasih kepada konsumen yang telah membeli
produknya. Hidup memang tidak sempurna. Sekeras apapun kamu berpikir utopis dan
berharap datang namun yang terjadi terjadilah. Seorang pengusaha sukses nan
filantropi akhirnya hancur karena badai krisis moneter yang tak pernah dia
bayangkan akan terjadi. Wanita soleha tak pernah meminta uang belanja kepada
suaminya namun dia harus bertanya mengapa dia harus di madu? Seorang jenderal
yang tak henti beriklan bertahun tahun dan di dukung sederet ulama hebat
akhirnya hanya dapat sujud syukur palsu terpilih sebagai presiden. Nyatanya dia
dikalahkan oleh tukang kayu yang bukan jenderal dan bukan pula pimpinan partai.
Ya inilah permainan Tuhan. Kalau
hidup tanpa surprise, semua sempurna? Padahal ketidak sempurnaan adalah fakta
yang memaksa kita rendah hati. Saya masih ingat Markiah tadi, kita malu bila
masih berkeluh kesah dengan keadaan. Kadang marah kepada pemerintah yang
membuat keadaan ekonomi semakin tidak menentu. Kadang merasa kawatir tentang
masa depan. Senantiasa mengutuki keadaan yang tidak seperti kita mau, sehingga
bertanya mengapa Tuhan tidak memberi yang aku mau. ? terus berpikir ingin menjadi matahari padahal
untuk menjadi lentera pun kita tidak sanggup. Padahal semua bukan antara kita
dengan keadaan tapi antara kita dengan Tuhan. Untuk menguji keimanan kita.
Bukankah tidak dikatakan seseorang beriman sebelum di uji, dan ujian itu hanya
ada karena kehidupan itu memang tidak sempurna.
Kamu berkata bahwa kita bisa copy
paste dengan kehidupan Madinah di era Rasul memimpin asalkan Al Quran dan
Hadith sebagai pegangan kita. Ya kita harus berpegang kepada kitabullah dan
Sunnah namun kita tidak seharusnya hidup dalam utopia masalalu. Kita manusia biasa yang tidak mungkin sekelas Rasul. Karenanya sadarilah bahwa zaman
ideal era kepemimpinan Rasul di Madinah tak akan pernah terjadi lagi. Walau
kita berusaha mencapainya kita hanya seperti menggapai surya di pangkal akanan.
Kita hanya akan selalu mendapatkan hangat dari cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar
ke sana. Tapi mungkinkah mencapai kaki langit itu, menjangkau terang itu,
dengan doa, dengan laku, dengan darah, dengan pentungan. dengan bomb,
sekalipun? Hidup jadi berarti bukan karena mencapai. Hidup jadi berarti, karena
mencari, memberi dan mengasihi. Itulah nilai agama sesungguhnya. Tuhan ada
dalam dirimu. Di hatimu ! rahasia Allah terlalu luas untuk dipahami kecuali
laluilah hidup ini dengan ikhlas. Itu sudah cukup karena kita akan diadili
sendiri sendiri dihadapan Tuhan.
No comments:
Post a Comment