Dalam rapat persiapan Lebaran
tanggal 26 April 2016 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta harga-harga
pangan jungkir balik turun, berbeda dengan Lebaran tahun-tahun sebelumnya. Ini
adalah pemerintah seorang kepala negara kepada semua jajaran pemerintah
baik di pusat maupun di daerah. Tapi
kekuasaan presiden tidak bisa menjangkau pasar. Karena sejak reformasi kita
menganut ekonomi pasar. Dulu era Soeharto ada BULOG ( badan usaha logistik )
namun di era reformasi di ganti statusnya dari badan menjadi persero atau badan
hukum perusahaan yang wajib laba. Lantas mengapa Jokowi sampai meminta agar
harga komoditas turun? karena ketika di masih menjabat walikota solo dan
gubernur jakarta di berhasil mengendalikan harga pangan termasuk daging. Gimana
caranya. ya karena memang sejak tahun 2008, Pemda berada di garis depan
mengendalikan inflasi melalui pengendalian harga di pasar, terutama harga
sembako. Caranya ? pemda di beri
wewenang untuk membentuk badan usaha yang bertindak sebagai penyangga dan
sekaligus melakukan intervensi bila harga bergerak liar karena permintaan
tinggi.
Walau setiap PEMDA dapat
berkoordinasi dengan Daerah lain berdasarkan potensi wilayah yang ada untuk
mengontrol jalur distribusi barang namun ini tidak mudah. Karena skema bisnis
pangan sudah menggurita sedemikian rupa sehingga menjadi sangat rumit. Ini dampak
dari liberalisasi pasar. Business pangan adalah business yang akrab dengan
politik. Henry Kissinger pada tahu 1970 pernah berkata “control food and you control the people. Dalam system
kapitalis pengendalian terhadap pangan adalah segala galanya. Dibidang pangan, Pengusaha domestik dan
international saling terkait untuk menciptakan pasar yang oligopolistis. Di
pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut ABCD, yaitu
Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka
menguasai sekitar 90% perdagangan serealia atau biji-bijian dunia. Di pasar
domestik. Importir kedelai hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan (menggunakan PT
Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill. Di industri pakan unggas yang hampir 70%
bahan bakunya adalah jagung , empat perusahaan terbesar menguasai sekitar 40%
pangsa pasar.
Sementara itu, empat produsen gula rafinasi terbesar
menguasai 65% pangsa pasar gula rafinasi dan 63% pangsa pasar gula putih. Kartel juga terjadi pada industri gula
rafinas yang memperoleh izin impor raw sugar (gula mentah) 3 juta ton setahun
yang dikuasai delapan produsen . Untuk distribusi gula di dalam negeri diduga
dikuasai enam orang. Mereka adalah Acuk, Sunhan, Harianto, Yayat, Kurnadi, dan
Piko. Sebelumnya, pasar gula ini dikuasai ‘sembilan samurai. Perdagangan daging sapi juga di kuasai kartel.
Ada 32 perusahaan feedlot yang terkena sangsi oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) dengan tuduhan melakukan praktik kartel atau persekongkolan usaha.
Tiga puluh dua feedloter tersebut dianggap melakukan kartel lewat kesepakatan
di dalam Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo). Apakah ini
efektif ? Tidak ! Mengapa ? Karena segala bentuk program pemberdayaan atau
swasembada yang bisa mengurangi kontrol Kartel itu terhadap business komoditas
pangan, tentu akan berhadapan dengan jaringan loby kartel yang hampir semua
elite politik telah mereka kuasai. Cara Jokowi meminta seorang taipan mengimpor
daging agar turun,menurut teman saya itu tak lebih satire politik tingkat
tinggi. Dan terbukti janji akan menurunkan harga juga tidak tercapai.
Lantas bagaimana solusi
mengendalikan harga ? Harga tidak bisa dikendalikan dengan kebijakan memaksa
karena negara tidak dibenarkan lagi sesuai UU menentukan harga pasar. Sistem
pengedalian kuota yang dinilai ekeftif mengendalikan supply and demand, justru
menciptakan ladang business rente dan tempat subur para mafia bermain main
bersama elite politik. Yang dapat di lakukan pemerintah adalah dengan cara
menekan ongkos logistik. Contoh biaya logistik untuk produk pertanian masih di
atas 40 persen. Akibatnya jangan kaget bila harga panen yang awalnya sangat
rendah menjadi begitu tinggi di pasaran karena biaya transportasi dan logistik
cukup besar. Bahkan, tak jarang harga sayuran dalam negeri justru lebih mahal
ketimbang produk hortikultura impor, seperti wortel , bawang dari China atau
Thailand, Malaysia. Itu sebabnya impor daging lebih murah di bandingkan beli
sapi dari dalam negeri. Padahal bahan
makanan menyumbang sekitar 35 persen
sumber inflasi.
Itulah mengapa sekarang
Pemerintah focus membangun infrastruktur jalan ,pelabuhan dan lain lain agar
dapat menekan ongkos logistik. Apabila logistik sudah efisien maka petani dan
produsen punya akses langsung ke pasar tanpa harus terjerat dengan kartel
distribusi yang melibatkan channel sampai kedesa desa. Ini perjuangan panjang.
Kata kuncinya adalah perbaikan dan perluasan sarana tranfortasi darat, laut dan
udara serta system administrasi logistic yang cepat dan murah. Tanpa perbaikan system
logistic maka sampai kapanpun yang paling di untungkan adalah para kartel yang
juga adalah predator konsumen. Tapi setiap upaya pembangunan insfrastruktur selalu di tanggapi sinis oleh sebagian orang. Padahal membangun masyarakat modern adalah membangun keadilan bagi siapa saja dan itu adalah koneksitas wilayah yang efektif melalui perbaikan sarana dan prasana jalan darat, laut dan udara. Dulu kenaikan harga di sikapi dengan subsidi dan Bantuan Tunai lansung tapi kini dengan kerja keras membangun sarana umum agar by system harga bisa bersaing , yang akhirnya menguntungkan konsumen...
No comments:
Post a Comment