Minggu lalu saya berkunjung kerumah famili di daerah Bekasi. Dia seorang guru SD yang jujur dengan penghasilan pas pasan. Kesederhanaan sikapnya didukung oleh sang istri yang giat membantu kebutuhan biaya rumah tangga. Sudah lebih 15 tahun istri berdagang kelontongan dan kebutuah hati hari didepan rumah. Hasilnya , mereka dapat menyekolahkan anaknya dan hidup sejahtera. Tapi kini keadaan itu menjadi berubah. Sudah empat tahun kehidupan rumah tangganya terganggu karena usaha yang menjadi tumpuan hidup keluarganya mulai kehilangan darah untuk bertahan. Hal ini disebabkan karena munculnya usaha ritel modern disekitar tempat tinggalnya. Seperti IndoMart, jaya Mart dll. Dia kalah bersaing karena usaha ritel modern ini didukung oleh pasokan barang langsung dari distributor yang tentu dapat mensual harga dengan murah. Sementara dia mendapatkan barang dagangan dari pedagang besar yang ada di pusat perdagangn tradiciona. Ditambah lagi outlet ritel yang modern, yang tentu lebih nyaman untuk pelanggan. Dari segala sisi , pedagang tradicional ini tak mampu bersaing dengan kehadiran outlet network modern ini.
Sekarang kalaupun ada yang berbelanja ketempatnya ,itupun karena mereka ingin berhutang. Maklum outlet ritel modern tidak menawarkan hutang. Semua harus tunai. Yang seperti famili saya ini , ungkin ada ribuan atau jutaan banyak dinegeri ini. Mereka yang tumbuh alami untuk memperkuat basis kehidupan keluarga , akhirnya tersungkur dalam ketak berdayaan. Ditelan oleh pemodal besar.
Dilain pihak posisi pasar tradicional yang tadinya mendukung pengadaan barang untuk pedagangn eceran dirumah rumah , juga mengalami nasip serupa. Tersungkur karena kehadiran pusat perbelanjaan modern berskala raksasa ( hypermarket ), seperti Carrefour. Juga munculnya Mall disetiap kabupaten yang kadang kala tidak berjauhan dengan pusat perdagangn tradicional. Fakta menunjukkan bahwa hampir semua Pusat perdangan tradisonal mengalami omset menurun ketika kehadiran Mall modern.
Keliatannya ada sesuatu yang salah dalam kebijakan pembangunan ekonomi khususnya yang berkaitan dengan perbedayaan usaha kecil dan informal. Berdasarkan undang undang jelas sekali bahwa Mall tidak dibenarkan berdiri berjarak dibawah 2,5 km dari pusat perdangan tradisional tapi mengapa ini dilanggar. Alasannya karena DepDag hanya memberikan izin usaha tapi tidak mengatur mengenai izin lokasi. Karena izin lokasi hak penuh dari PEMDA. Anehnya antara satu peraturan dengan peraturan lain berseberangan dalam pilosopi peraturan itus sendiri. Masalah ini hampir terjadi disemua sector. Secara makro kebijakan sector riel sangat semrawut dan akhirnya melahirkan masalah moneter tambal sulam. Dan rakyat sebagai target pembangunan menjadi bulan bulanan kebijakan yang tak pernah jelas berpihak untuk rakyat.
Kita langsung disadarkan dengan pendapat dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah sesuatu yang (seharusnya) "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).
Sekarang kalaupun ada yang berbelanja ketempatnya ,itupun karena mereka ingin berhutang. Maklum outlet ritel modern tidak menawarkan hutang. Semua harus tunai. Yang seperti famili saya ini , ungkin ada ribuan atau jutaan banyak dinegeri ini. Mereka yang tumbuh alami untuk memperkuat basis kehidupan keluarga , akhirnya tersungkur dalam ketak berdayaan. Ditelan oleh pemodal besar.
Dilain pihak posisi pasar tradicional yang tadinya mendukung pengadaan barang untuk pedagangn eceran dirumah rumah , juga mengalami nasip serupa. Tersungkur karena kehadiran pusat perbelanjaan modern berskala raksasa ( hypermarket ), seperti Carrefour. Juga munculnya Mall disetiap kabupaten yang kadang kala tidak berjauhan dengan pusat perdagangn tradicional. Fakta menunjukkan bahwa hampir semua Pusat perdangan tradisonal mengalami omset menurun ketika kehadiran Mall modern.
Keliatannya ada sesuatu yang salah dalam kebijakan pembangunan ekonomi khususnya yang berkaitan dengan perbedayaan usaha kecil dan informal. Berdasarkan undang undang jelas sekali bahwa Mall tidak dibenarkan berdiri berjarak dibawah 2,5 km dari pusat perdangan tradisional tapi mengapa ini dilanggar. Alasannya karena DepDag hanya memberikan izin usaha tapi tidak mengatur mengenai izin lokasi. Karena izin lokasi hak penuh dari PEMDA. Anehnya antara satu peraturan dengan peraturan lain berseberangan dalam pilosopi peraturan itus sendiri. Masalah ini hampir terjadi disemua sector. Secara makro kebijakan sector riel sangat semrawut dan akhirnya melahirkan masalah moneter tambal sulam. Dan rakyat sebagai target pembangunan menjadi bulan bulanan kebijakan yang tak pernah jelas berpihak untuk rakyat.
Kita langsung disadarkan dengan pendapat dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah sesuatu yang (seharusnya) "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).
Asumsi Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas, dan disinilah rumitnya.
Akibat keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.
Yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).
Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, adakah upaya untuk membuka kanal-kanal terhadap pemanfaatan sumber daya yang ada? Jika pembangunan mall , perizinan out ritel raksasa , yang merambah keseluruh wilayah sampai ke kabupaten sebagai indicator maka tentu jawabannya adalah TIDAK.
No comments:
Post a Comment