Kebenaran itu mahal dan teramat mahal namun imbalan memperjuangkan kebenaran itupun mahal sekali. Dalam dunia modern sekarang , dengan kehebatan akal merangkai semua masalah dalam bentuk teori maka kebenaran menjadi subjective. Yang sudah jelas urusannya , masih bisa diperdebatkan. Bahkan dalam sidang pengadilan yang terbukti bersalah masih bisa diperdebatkan untuk mendapatkan pembenaran. Karenanya, sedikit demi sedikit , kita mulai masuk dalam budaya bahwa kebenaran itu tergantung siapa yang diuntungkan. Bila kebenaran itu menguntungkan orang lemah maka kebenaran itu menjadi mahal. Bila kebenaran itu milik orang kuat dan kaya maka kebenaran itu murah, walau dibungkus dengan kesalahan yang bernuasa munafik. Kita tak lelah untuk bertanya mengapa kebenaran menjadi tidak benar sementara pembenaran selalu benar. Masalahnya adalah ketika agama dibelakangi dan akal dikedepankan. Maka hati nurani sebagai penyeimbang , sebagai bisikan ilahi tak lagi didengar.
Sumber kebenaran ada pada Allah. Allah menyampaikan kebenaran itu kepada manusia. "Sesungguhnya al-Qu'ran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal salih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar." (al-Isra,:9).
"... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikut keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (al-Ma'idah: 15-16). "... Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri." (an-Nahl: 89).
Jadi kita dapat mengetahui kebenaran itu dari Al Quran. Alquran adalah sebuah kitab kebenaran. Rasulullah SAW melalui risalah kenabiannya, diutus men-dakwahkan kebenaran itu kepada manusia seluruhnya. Sepeninggal Rasul, para ulama mewarisi risalah itu. Namun, dalam realitas dakwah selalu saja terdapat orangorang yang sulit diajak menerima kebenaran. Bahkan, tidak jarang yang kemudian melakukan perlawanan. Dalam sunnatullah, dialektika antara kebenaran dan kebatilan akan selalu terjadi di panggung sejarah kehidupan manusia. Pasang surut perseteruan keduanya adalah hal lumrah. Terhadap kenyataan ini, manusia diberi dua pilihan tunduk atau membangkang, iman atau kafir, syukur atau kufur. Setiap jalan memiliki konsekuensinya sendiri.
"Sesungguhnya Kami telah menunjuknya jalan yang lurus ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.1 (QS Al-lnsan [76] 3). Firman Allah lainnya, "Dan katakanlah, Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orangorang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka." (QS Alkahfi [18] 29).
Jadi, setiap Mukmin harus punya ketegasan sikap, tidak boleh ragu, dan bermuka dua. Keraguan berpotensi memunculkan kemunafikan, suatu sikap menduakan kebenaran yang amat ditentang agama. "Amat besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya." (QS As-Shaff [61] 3).
Secara psikologis pun kemunafikan membuat orang tidak tenteram, karena sikapnya itu akan selalu bertentangan dengan kata hati nuraninya sendiri (QS Albaqarah [2] 8-20). Ada pepatah mengatakan kamu bisa membohongi orang lain selamanya, tetapi tidak pada diri sendiri. Jadi, orang munafik itu sebetulnya hatinya selalu tertekan.
Namun demikian, tidak bisa dimungkiri pula bahwa perubahan zaman seringkali mengaburkan nilai-nilai kebenaran. Pada saat yang sama etos furqan, yaitu etos membedakan antara kebenaran dan kebatilan, menjadi melemah. Oleh karenanya, Allah menegaskan dalam firman-Nya, "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu. Sebab itu, jangan sekali-kali kamu termasuk orangorang yang ragu." (QS Albaqarah [2] 147).Seorang Mukmin harus teguh dan konsisten mengimani kebenaran Islam. Dengan kata lain, ia harus senantiasa memegang kebenaran itu, melakukannya, dan mendakwahkannya kepada seluruh manusia, betapa pun risikonya. Rasul berpesan, "Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istikamahlah dengan (perkataan-mu) itu." (HR Ahmad)
No comments:
Post a Comment