Bulan lalu, seusai makan malam dengan teman teman di Jalan Pangeran Jayakarta saya pulang naik taksi. Ketika itu jam 7 malam. CC saya kena bill Rp. 6,4 juta. Di dalam taksi saya asyik baca komen teman teman Dumay saya. Terdengar nada telp. Supir taksi minta izin terima telp. Saya mengangguk. Terdengar supir berbicara dengan nada setengah berbisik “ Ya sabar bu.. sejak corona penumpang sepi terus bu. Mau bantu gimana. Sabar bu. “ Diam cukup lama sepertinya supir taksi itu menyimak. “ Sabar bu” jawabnya. Telp kemudian terhenti.
“Emang sejak corona penumpang sepi ya pak ? Tanya saya.
“ Ya pastilah pak. Kegiatan orang berkurang. Bukan hanya taksi. Semua angkutan umum semua sepi. Kapan ya pak ini berakhir”
“ Berapa persen turun pendapatan.Kira kira.” Kata saya.
“ Duh susah bilang persen. Yang jelas tekor. “
“ Oh gitu.”
“ Awal awal corona, kadang ada saja rezeki. Orang stop kendaraan di tengah jalan. Mereka kasih sembako. Ada yang kasih amplop berisi uang Rp. 50.000. Tetapi lama lama udah jarang. Bahkan sekarang udah engga ada lagi. “
“ Bantuan pemerintah dapat ?
“ Baru sekali. Itupun dari Mabes Polri. Dah itu aja. Sampai sekarang belum dapat. Katanya minggu depan bakalan dapat lagi. Engga tahu saya”
“ Sabar ya pak “ kata saya.
“ Ya pak. Tadi istri saya telp. Adiknya mau mau pinjam uang Rp. 1 juta untuk bayar kotrak rumah. Kami engga ada uang. Ya istri saya sarankan numpang di rumah kami. Mau gimana lagi. Suaminya kena PHK. Mereka punya anak 2. Saya mau bantu rumah kontrakan engga ada uang. Ya mau engga mau. Gabung ajalah. Padahal kontrakan kami rumah petak.” Katanya.
Saya membayangkan, rumah kontrakan umumnya satu kamar. Ukuran rumah 32 meter. Itu tidak layak apalagi di isi oleh dua keluarga. Kehidupan karena PSBB akibat Corona telah menempatkan mereka yang miskin ke jurang nestapa. Keluhan dan tangis mereka tidak akan di dengar di Senayan. Padahal kalau anggaran petugas pengawas itu diberikan kepada mereka. Itu sangat menolong mereka bisa bertahan. Apalagi pengawasan ala kadarnya. Andaikan APBD lebih besar tersalurkan untuk mereka. Andaikan gaji PNS bisa dikurangi sedikit, itu sudah sangat membantu.
Tapi entah mengapa seketika saya merasa diadili. Saya merasa bersalah atas sikap saya. Barusan saya bayar bill hampir Rp. 7 juta untuk sekali makan. Waktu makan malam kami semua bicara tentang keluhan akibat Corona. Sementara ada orang untuk bayar kontrakan Rp. 1 juta saja engga ada uang.
Ketika turun dari taksi. “ Pak ini ongkos taksinya. Dan ini ada titipan untuk keluaga adik ipar bapak. Bayarlah uang kontrakan selama 3 bulan. Saya berdoa moga akhir tahun ini kehidupan udah normal lagi.” Kata saya menyerahkan lembaran dollar. Air mata saya berlinang. Saya memang lagi sulit karena hampir semua bisnis lesu. Bahkan business process yang sudah berlangsung terpaksa dihentikan. Itu kerugian pasti. Tetapi saya tidak harus sewa rumah. Tidak harus cicil rumah. Tidak pusing soal makan. Saya tak pantas mengeluh “ Ampunin aku ya Tuhan. “
***
Kematian Yuli.
Saya nonton video yang ditayangkan lewat sosial media. Seorang wanita bernama Yuli. Warga banten. Dia berkata dengan raut wajah memancarkan putus asa dan air mata berlinang seraya memeluk buah hatinya yang masih balita. Sudah dua hari tidak makan. Suaminya Kholid sebagai pekerja lepas yang menerima upah Rp. 25.000 perhari. Kalau tidak bekerja tentu tidak dapat upah. Sudah dua hari tidak bekerja sejak ada ketentuan social distancing. Cerita terakhir Yuli dipanggil Tuhan meninggalkan anak anak dan suaminya dalam kemiskinan. Seperti Yuli itu bukan hanya satu itu. Tetapi ada banyak Yuli lain yang harus terpaksa sabar menerima kenyataan suaminya di rumah tanpa penghasilan.
Yuli tidak bunuh diri dalam keputusan asaan. Tetapi dia mati karena kesengsaraan oleh system. Yuli tidak hidup di Afrika. Jaraknya hanya 2 jam perjalan ke Istana dan satu jam ke Kantor Gubernur Banten yang megah itu. Tak jauh dari Ibu Kota yang membangun trotoar Rp. 1 triliun lebih dan kemudian dibongkar lagi. Tak jauh dari mereka yang punya rekening private banking ratusan miliar yang hidup nyaman dari bunga bank.Tak jauh dari gedung DPR yang menghabiskan anggaran Rp, 40 triliun selama 5 tahun. Tak jauh dari kita yang bebas berselancar di sosial media memakan quota internet. Tak jauh dari kita yang mampu beli sepeda seharga hampir 100 juta rupiah.
Anda akan berkata, tentu, “Ah, apa hubungan dengan saya!” Anda akan bertanya kenapa anda disangkutkan ke dalam “salah”. Maaf, beribu-ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita tidak tahu, jika kita tidak merasa bersalah karena kematian Yuli itu, jika kita merasa tak berurusan dengan Yuli melepas raga karena lapar, itu berarti kita dungu atau tak punya hati. Anda tahu bahwa setiap negara atau kota selalu ada kemiskinan. Di Indoesia terlalu bebal kalau anda tidak tahu arti ketimpangan. Kekayaan yang begitu timpang, kesempatan yang begitu selisih. Dari sini anda tahu apa yang menyebabkan Yuli mati dalam kelaparan.
Yuli adalah korban dari ulah kita semua. Kematiannya tidak akan disebut sebagai pahlawan seperti para dokter. Padahal Yuli mati dikorbankan oleh program peduli kesehatan dalam mengatasi wabah COVID. Karena sosial distancing atau PSBB memungkinkan negara menerbitkan surat utang untuk membantu BUMN yang sekarat, dan perusahaan besar yang sulit bayar utang. Membantu menutupi defisit APBN agar para PNS dan elite politik tetap makan dan hidup senang. Membantu pemerintah tetap eksis.
Andaikan ada survey, jumlah kematian karena PSBB seperti Yuli tentu jumlahnya tak sedikit. Jauh lebih besar dari kematian karena COVID-19. Namun kematian seperti Yuli itu tabu dicatat statistik. Karena politik memang mengharuskan ada korban. Dan itu selalu orang miskin dan lemah yang dikorbankan. Kita lebih bersalah lagi ketika Ahok membuka borok BUMN yang menguasai 50% aset negara tak ada ulama dan tokoh agama yang mendukung. Tak ada demo mahasiswa yang mendukung. Yang ada adalah hujatan kepada Ahok. Padahal Ahok sedang bicara tentang nasip Yuli Yuli lain di negeri ini yang terkapar karena mental korup kita semua.