Ketika fajar menjemput, membuat saya terjaga. Dari jendela kamar saya tatap langit yang masih kelabu, menanti penuh matahari bersinar sebentar lagi. Entah mengapa saya ingin berdoa tentang banyak hal, namun doa itu hanya sampai di kerongkongan. Saya terdiam malu menatap diri saya sendiri ketika saya meminta kepada Tuhan, akhirnya saya berguman “ Ya Allah, bebaskan aku dari kebencian kepada makhlukmu. Kebencian karena apapun sebabnya. Karena selagi aku masih punya rasa benci, tak akan pantas aku menyebut namamu, apalagi menyembahmu.”
***
Sehabis sholat subuh dari masjid ,saya jalan kaki bersama istri ke luar dari komplek perumahan. Berjalan 30 menit. Istri mengajak saya mampir kewarung yang dikerumuni orang banyak dan antirian panjang. Warung itu menjual nasi ulam.Menunya hanya sambel ,lalapan, telur atau tempe. Pelanggannya umumnya adalah buruh pabrik dan orang pinggiran. Lantas apa yang menarik dari warung ini ? harga sebungkus nasi hanya Rp 5000. Warung buka hanya 2 jam setelah sholat subuh.Pemilik warung adalah pak haji. Dia berdagang masih menggunakan pakaian sholatnya.Peci haji dan sarung,baju koko. Wajah pak haji nampak tak lepas dari senyum ramah melayani semua pembeli.
“ Apakah untung ? Tanya saya.
" kagak untung lah. Rugi dapatnya. Tapi ada aja hamba Allah yang mau urunan. Kata pak haji tersenyum sambil melirik kearah istri saya. Seusai pesan dua bungkus istri saya memberi uang satu lembar warna merah dan berlalu " Terimakasih Bu haji. Semoga berkah" Kata pak haji pedagang warung itu. Saya takjub melihat cara istri saya. Karena mungkin ada beberapa hamba Allah yang juga sama dengan istri saya membayar lebih tanpa bertanya dan minta uang kembalian.
Ketika menuju pulang " Coba dech pah kalau tadi kita makan di restoran, uang segitu memang bisa bikin kita kenyang tapi ...hanya kita yang kenyang.". kata istri saya dengan tersenyum indah. Saya mengangguk.
Saya memulai kehidupan dalam komunitas saya. Keluar rumah , saya berjalan kaki ke pangkalan Ojek. Baru melihat saya nongol ditikungan jalan, tukang Oject yang lagi mangkal langsung semua berdiri dan selalu diiringi dengan senyuman. Biasanya mereka adu cepat menawarkan diri dalam suasana berkompetisi. Namun kali ini , mereka serentak menawarkan ojek salah satu temannya. ” Pak Haji, naik ojek dia aja ” kata mereka serentak. Saya tidak tahu mengapa begitu.
Dengan bismillah, saya ikut saja. Dalam perjalanan, tukang ojek itu cerita tentang uang sekolah anaknya belum bayar. Dalam hati saya tersenyum. Tahulah saya mengapa teman temannya minta agar saya naik ojek dia. Setelah turun dari ojek, saya membayar ongkos oject dan tip untuk uang sekolah anaknya. Tahap awal perjalanan, saya menyaksikan kebersamaan dari komunitas terkecil dilingkungan terdekat saya. Mereka tahu temannya punya masalah dan mereka peduli dengan temannya.
Dari pinggir jalan raya, saya naik angkot. Seperti biasanya, supir angkot tidak akan pergi sebelum penumpang penuh. Siang itu udara cukup panas. Tapi tidak ada satupun penumpang angkot yang mengeluh dengan ulah supir angkot yang tak beranjak pergi sebelum penuh. Setelah cukup lama menanti, akhirnya supir angkot menyerah untuk terus berangkat walau penumpang belum penuh.
Dalam perjalanan menuju terminal, matanya dengan awas melirik disetiap mulut gang. Berharap ada penumpang yang melambaikan tangan minta ditunggu. Feeling nya cukup kuat, bila dia yakin ada calon penumpang akan keluar dari gang, dia akan menunggu dengan sabar. Kembali kami para penumpangpun harus ikhlas menunggu dalam kepanasan. Tidak ada gerutu atau kesal. Apa yang saya rasakan bahwa komunitas ”bawah” terlatih sabar dengan sarana ala kadarnya. Pemberi jasa maupun penerima jasa , sadar sesadarnya untuk saling memaklumi. Memang aturan tertip dijalan dilanggar, namun Polisi hanya melihat tanpa berbuat sesuatu untuk menegur. Hukum boleh berkata tapi realita menghapus hukum itu sendiri.
Setelah turun dari Bus Way di terminal Pasar Baru, saya berjalan kaki ke Mesjid Istiqlal untuk sholat Lohor. Dekat lapangan banteng, langkah saya terhenti melihat disamping halte dua orang anak manusia sedang makan siang. Satu bungkus nasi dimakan berdua. Mereka tidak memperdulikan hilir mudik orang berjalan. Siang ini mereka menikmati makan siang dari rezeki yang mereka terima.
Saya melihat dari kejauhan ada temannya menghampiri mereka yang langsung ditawari makan. Nasi bungkus itu yang hanya berisi tempe dan tahu, dibagi untuk tiga orang. Maka pesta makan siang berlangsung dengan keringat mengalir dikening mereka. Mereka makan dengan lahapnya. Saya tahu bahwa mereka adalah kelompok urban yang hidup melata di Jakarta dengan tanpa penghasilan tanpa hope. Tapi mereka tetap bertahan, karena...kebersamaan. Saling berbagi dengan iklas. Sedikit didapat ,sedikit itulah dibagi.
Seusai sholat lohor, saya makan siang di warteg dekat Mesjid Istiqlal. Selama saya makan saya melihat orang sehabis makan hanya dicatat oleh tukang warteg tanpa membayar sama sekali. Ketika saya tanya, petugas warteg itu mengatakan itu catatan bon ( hutang makan ) yang akan dibayar kelak. Tentu setelah yang berhutang punya uang ( entah dari mana karena tidak punya sumber panghasilan tetap ).
Saya tertegun. Sebuah jalinan kebersamaan yang luar bisa dan hampir tidak ditemui dalam dunia kapitalis. Komunitas yang akrab lahir batin. Pedagang warteg itu telah bertindak sebagai undertaker dan juga provider sosial tanpa ada insetif permerintah, tanpa UU dan Peraturan. Walau setiap hari ada petugas kota memungut retribusi namun dia sadar hanya masalah waktu tempatnya akan digusur oleh PEMDA demi ketertiban kota dan tentu hutang pelanggan akan sulit ditagih. Dia mengambil resiko demi komunitasnya terdekatnya.
Saya membaca koran di tangga Mesjid Istiqlal. Ada artikel menarik tentang seseorang yang mantan pedagang kaki lima, mengorganisir pedagang kaki lima untuk membangun Mall Modern. Tidak ada bantuan pemerintah, tidak ada bantuan perbankan, tidak ada bantuan developer komersial. Mall terbangun berkat kebersamaan pedagang kaki lima. Maka jadilan Mall modern pertama di Indonesia yang dibangun oleh komunitas pedagang kaki lima. Mal terbangun untuk menampung komunitas PKL dan otomatis mereka terangkat dari status informal menjadi formal.
Saya termenung, dan akhirnya saya bertanya kepada Tuhan” Begitu banyak penderitaan dan kekurangan dalam hidup kebanyakan orang tapi mereka tetap melangkah di bumiMu tanpa ada takut, dan selalu punya harapan. Mengapa ?“
“ Karena Aku menanamkan cinta didalam hati mereka untuk membebaskan mereka dari kebencian, agar mereka saling tolong menolong. Ingatlah bahwa semua bukan karena apa yang dirasakan, dilihat tapi begitulah cara Aku berkuasa dan mencintai mereka, menguji siapa yang paling ikhlas diatara mereka.”