Saturday, April 12, 2025

Berbisnis di Indonesia itu tidak mudah.

 




Berbisnis di Indonesia itu engga mudah. Anda bangun pabrik. Tentu anda butuh supply chain dari luar negeri guna mendukung proses produksi. Harus ada izin impor. Tanpa izin engga bisa. Izin pun engga bisa cepat prosesnya. Apalagi kalau produk yang terkait dengan pangan. Harus ada sertifikat higienis dari pemerintah. Engga peduli pabrik anda itu afiliasi dari luar negeri dan anda bagian dari rantai produksi global. Urus izin juga enggga cepat dan lama. Cepek engga? Padahal anda berhadapan dengan delivery time yang berkompetisi dengan buyer dari negara lain. 


Kalau bisnis anda bersinggungan industry pengolahan makanan. Anda harus tahan sabar. Karena dari kedelai, jagung, bawang putih, daging, gula, garam, susu dan lain lain  itu di quota. Terus bagiamana dengan industrin lain? Ok lah. Anda punya pabrik downstream baja dan perlu bahan baku impor. Itupun di quota. Pabrik alat  pembersih, dan lain lain yang masuk katagori kimia industry. Bahan baku tidak ada di Indonesia. Harus impor. Siap siap aja pusing dengan adanya quota impor. Bahkan sparepart elektronik juga di quota. Mate engga!


Disamping itu, anda harus dipusingkan dengan aturan sertifikasi, registrasi produk, dan inspeksi. Padahal sertifikasi dan registrasi produk itu tidak ada kaitannya dengan pasar luar negeri.  Logika kalau pabrik anda sudah bisa tembus pasar ekspor, itu artinya produk anda sudah qualified. Ngapain lagi sertifkasi dalam negeri. Emangnya pemerintah bantu carikan pasar ekspor? Kan engga. Bahkan trade fair  misi dagang pemerintah ke luar negeri, pengusaha dimintai uang.


Anda produki barang branded dari luar negeri. Tentu pasar ekspor sudah tersedia. Walau anda melibatkan ribuan buruh. Pemerintah engga peduli itu. Anda harus pastikan memenuhi local konten (TKPDN). Nah gimana kalau supply chain dalam negeri tidak tersedia? Anda harus mikir sendiri. Bila perlu bangun pabrik supply Chain, dan biasanya pejabat sodorkan mitra local yang akan bermitra dengan anda. Tapi duit dari anda sendiri. Belum lagi sumbangan kepada ormas. Mules engga !


Umumnya pabrik ekspor oriented yang teraflliasi dengan luar negeri dibangun dengan skema counter trade off set. Duit dari principal semua. Pabrik hanya produksi aja. Tentu devisa masuk ke pihak principal di luar negeri.  Namun pemerintah buat aturan DHE. Devisa hasil ekspor harus ditempatkan dalam negeri. Padahal Negara ini menganut rezim devisa bebas. Uang bebas masuk dan keluar.  Dan lagi pabrik sudah kena PPN dan PPH. Menampung ribuan buruh. Masih aja diwajibkan memenuhi aturan DHE. Merubah UU Devisa Bebas No. 24/1999 juga engga. Aneh UU  kalah sama Perpres.


Bagi pengusaha local yang tidak ada afiliasi dengan buyer di luar ngeri, tambah runyam lagi. Kredit modal kerja untuk impor bahan baku dibatasi. Alasan pemerintah menghemat devisa. Kampungan caranya. Noh, Vietnam tidak ada batasan kredit impor. Apalagi China. Malaysia juga tidak ada batasan. Ya gimana mau bersaing dengan pihak luar negeri. Sementara kredit bangun mall dipermudah. Padahal sebagian bahan bangun impor, bahkan kotrator boleh impor baja. Mall itu kan non-tradable.


Belum lagi diskriminasi alat transfortasi. Anda sebagai kontraktor mineral tambag. Perlu truk untuk mobilitas dan angkutan. Kalau anda impor dari negara tertentu, walau harganya murah, tetap engga boleh. Kalaupun boleh, anda engga dapat nomor plat kendaraan. Jadi kendaraan engga bisa lewat jalan raya. Capek engga. “ Kita seperti pecundang di hadapan pemerintah. Beda dengan di China dan Vietnam. Kita sangat dihormati dan dibina” kata teman. 


Apa yang saya uraikan diatas hanya sebagian. Belum termasuk dowling time di pelabuhan yang lelet dan costly.  Memang ada industry dibangun dan tumbuh significant. Tetapi itu sebagian besar industry ekstraksi yang penuh rente seperti smelter timah, nikel dan bauksit. Ada juga industry yang berharap captive market dari pasar domestik seperti EV. Dari awal memang dirty business dan bisa tebar dirty money kepada pejabat dan aparat. 


Jadi paham ya. Mengapa buat pabrik terutama pada karya di Indonesia itu sejak 10 tahun lalu benar benar konyol. Bagi yang sudah terlanjur bangun, berusaha relokasi. Bagi yang baru akan bangun, wait and see aja.  Mengapa ? walau ada tekad pemerintah akan terbitkan paket deregulasi tata niaga impor dan ekspor dalam rangka mematuhi kebijakan tarif resiprokal AS. Saya engga yakin. Karena non tarif barrier ini membuat birokrat dan elite kaya raya. Apa mungkin pundi uang mereka ditutup. I don’t think so kecuali ada kesadaran cinta dan kasih sayang kepada negeri ini.

No comments:

Berbisnis di Indonesia itu tidak mudah.

  Berbisnis di Indonesia itu engga mudah. Anda bangun pabrik. Tentu anda butuh supply chain dari luar negeri guna mendukung proses produksi....