Tayangan Tafsir Al-Misbah yang dibawakan Quraish Shihab di Metro TV pada Sabtu (12/7) menuai kontroversi. Terkait masalah kontroversi tersebut, Quraish Shihab memberikan klarifikasi langsung melaui situs resminya pada Selasa (15/7) dalam judul 'Tentang Tayangan Tafsir al-Mishbah 12 Juli 2014’. ''Uraian tersebut dalam konteks penjelasan bahwa amal bukanlah sebab masuk surga, walau saya sampaikan juga bahwa kita yakin bahwa Rasulullah akan begini (masuk surga),’”. Apa yang dikatakan oleh Quraish Shihab adalah teori dasar untuk memahami mana wilayah manusia dan mana wilayah Allah. Manusia tugasnya beramal baik, dan soal sorga itu urusan Allah. Tidak ada istilah berlaku SWAP amal dengan Sorga. Kalau ada yang protes dengan teori ini maka ketahuan kalau dia beramal soleh karena mental kapitalis. Bukan Allah yang dituju tapi sorga.
Tapi bagi sebagian orang yang menjadikan agama sebagai fiture Politik maka secara cepat tanpa mendengar dan membaca secara utuh dalil yang disampaikan Quraish Shihab, langsung menuduh ia Syiah. Hujatan dan cemoohan pun datang bertubi tubi kepada dia. Sama halnya dengan Buya Safie Maarif yang dihujat karena membela Ahok. Tapi Quraish Shihab, sang Ulama hebat yang menjadikan Al Quran dan Hadith dalam konteks ilmu pengetahuan untuk memperkuat keimanan itu, tetap tenang tanpa terprovokasi ikut menghujat atau perang dalil dengan pihak yang tak sepaham dengan dia.
Melihat fenomena seperti itu, saya lama termenung. Teringat dengan sahabat saya di China yang sedari kecil dididik oleh orang tuanya bahwa agama itu adalah sebuah karunia. Orang tuanya tidak mendidik dia menjadi atheis. Walau ia tahu orang tuanya tidak pernah menyampaikan dokrin agama seperti apa seharusnya dia pahami. Ketika akhirnya dia mengenal agama Budha, kemudian Islam, orang tuanya kelihatan meragukan agama yang dia pahami. Ada tersirat kekawatiran dari orang tuanya, apabila karena alasan agama itu dia berhak menyalahkan orang lain. Dalam pergaulannya dia sering menemukan kekawatiran itu. Bagi Pemerintah China, semua agama baik sepanjang ia memperbaiki fi’il manusia dan merawat harapan. Tentu tidak elok untuk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang berbeda dari agama kita sebagai hal yang “terkutuk”. Seandainya hanya ada satu agama saja di muka bumi, dan semua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadi…mengapa Tuhan tidak jadikan semua manusia sama agamanya ?
Namun orang tuanya bijak. Tidak pernah keraguan itu disampaikan. Orang tuanya hanya ingin dia terus berbuat yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Orang tuanya menolak doa yang meminta-minta. Baginya kehidupan adalah karunia yang maha hebat dari Tuhan, apalagi yang harus diminta. Orang tuanya hanya ingin dia hidup sederhana, dan beragamapun juga dengan cara sederhana. Meminta meminta adalah ujud kerakusan. Apa yang terjadi kemudian ? Dia menemukan jalan Tuhan, yang tidak menjadikan dia hidup dalam tuntunan orang lain tapi tutunan Tuhan langsung. Dengan akal dan hatinya dia menjadi muslim. Dia menjadi dirinya sendiri bersama Tuhan. Begitulah di China , dimana agama bukan fiture politik yang melahirkan kekuasaan tapi fiture menjadi pribadi agung, yang mendamaikan bagi semua.
Di Indonesia kini makin tampak bagaimana tak tak mudahnya manusia berdamai dari perbedaan iman dan tafsir. Kalau melihat pertikaian dengan amarah dan kebencian karena adanya perbedaan yang diyakini maka bukan hanya menodai mereka yang berbeda tapi juga menodai agama itu sendiri.