Kalau kamu mau tahu bagaimana buruknya pengaruh dari Korupsi maka datanglah ke Jakarta. By process kota ini runtuh,
pelan-pelan, dan air bah yang mengepungnya selama berhari-hari dengan mudah merusak yang sudah dibangun dengan susah payah. Kota ini jadi sebuah cerita
tentang negeri yang dihabisi oleh kekuatan jahat yang tak tampak tapi ganas. Jika hujan, tak punya lagi bukit dan
hutan, jika curah air tak punya tempat yang menyerap dan menyimpannya, pasti
ada kekuatan keji yang bekerja. Bidang bumi yang vital itu telah direbut oleh
para developer real estate,
dan segala aturan yang dibuat untuk mencegah perebutan itu dilanggar dengan
jelas setiap hari, dengan terang, seperti ayam putih terbang siang. Maka jika
kota ini runtuh, ia adalah sebuah kisah tentang para pejabat penjaga peraturan
yang telah tidur selama bertahun-tahun, gubernur-gubernur yang tak bergerak
karena kekenyangan suap, pejabat yang bodoh atau abai, tak melakukan apa-apa. Jika kota ini runtuh, saya tak tahu
bagaimana orang akan bertindak setelah ini. Mungkin mereka akan kembali
mengais-ngais nafkah dari apa saja yang tersisa dari kerusakan ini, dan
bekerja, makan, beribadah, nonton TV, mendengarkan radio, bersetubuh, jalan
kaki, tanpa menyalahkan siapa pun. Lalu lupa. Mungkin akan ada orang yang
marah, tahu bahwa banjir ini adalah anak haram birokrasi yang busuk dan bisnis
yang tamak, tapi mereka marah bersendiri. Mereka akan memaki-maki di gagang
telepon atau di pinggir gang yang becek dengan sejumlah kenalan dan, setelah
itu, merasa tak berdaya dan terdiam.
Jika kota ini runtuh, mungkin
karena orang-orang tak mengharap bahwa polisi, jaksa, dan hakim atau KPK akan menghukum
sejumlah penjahat yang mendapat uang berlebihan seraya menghancurkan Jakarta.
Tak ada yang melihat ada jalan yang bisa ditempuh yang menyelamatkan. Semua
tahu bahwa untuk menghentikan persekutuan jahat itu akhirnya harus ada sebuah
alat: kekuasaan. Tapi sudah bertahun-tahun kita hidup dengan asumsi bahwa
kekuasaan adalah sesuatu yang jauh dan ajaib, bukan sesuatu yang bisa
diproduksi oleh proses politik. Maka
di bawah mistifikasi kekuasaan, orang pun mencari jalan lain dengan mistifikasi
ke-tidak-kuasaan. Terkadang dalam bentuk doa, terkadang dalam petuah budi
pekerti. Seakan-akan jalanan macet yang terjadi setiap hari adalah sesuatu yang tak bisa
diterangkan—yakni ia bukan sebuah problem, melainkan sebuah misteri.
Seakan-akan penyelewengan dan korupsi tak bisa ditelaah sebab dan strukturnya,
tapi diduga bersembunyi, sebagai akhlak yang bernoda, di lubuk hati.
Seakan-akan untuk lepas dari rawa-rawa sekarang kita hanya bisa dibisiki dan
diangkat oleh Yang Gaib. Jika kota
ini runtuh, pelan-pelan, kehancuran itu mungkin ditandai dengan hadirnya
kembali rasa tak berdaya di depan Yang Gaib: kita ketakutan mendengar petir dan
memandang mendung, seolah-olah itu adalah isyarat buruk dari kahyangan. Sebab
setiap kali hujan turun baru, kita tahu apa yang akan terjadi: jalan jadi
sungai kembali, mungkin lebih luas dan deras. Rumah, toko, bengkel, tempat
kerja, akan musnah. Listrik mungkin akan mati. Telepon akan rusak. Bandara akan
tak terjangkau. Bus dan truk antarkota tak akan datang. Tak akan ada konsumen,
tak ada buruh, tak ada pedagang. Yang ada para pengungsi dan, di sana-sini,
pencoleng kecil di jalan di mana ribuan mobil merayap, dikepung air.
Bayangkan: sebuah ibu kota republik, sebuah kota metropolitan, sebuah ruang
hidup dengan gedung-gedung pemerintah yang megah, dengan bank-bank yang rajin,
dengan Pasar Modal dan World Trade Center, dengan perguruan tinggi yang bangga,
dengan rumah sakit yang beperkakas piawai, dengan ratusan ribu lulusan
universitas, dengan para teknokrat yang pintar, dengan markas semua Ormas Islam dan tempat bermukimnya Ustad terkenal, dengan jaringan WIFI tersebar disetiap Mall: sebuah kota pada abad ke-21—ternyata sebuah kota yang
rentan dan ketakutan di bawah hujan. Dusun-dusun yang kumuh memang layak
gentar kepada alam yang masih agung dan misterius. Tapi Jakarta: ia lumpuh
bukan di hadapan gempa tektonik yang besar, bukan puting beliung yang bengis,
bukan tsunami. Dengan kata lain,
ini adalah sebuah kota yang telah dibuat tak berdaya. Jakarta adalah sebuah
kota di mana korupsi bukan sekadar mencolong. Di kota ini, korupsi bukanlah
sekadar perbuatan jahat para gubernur atau para birokrat yang “membangun”
wilayah dengan menyulap biaya sampai melambung. Bukan sekadar pembuatan proyek
fiktif atau tanpa guna untuk mendapatkan anggaran. Bukan sekadar perilaku rutin
para petugas izin bangunan yang minta sogok dan dengan itu membiarkan
lingkungan hancur. Bukan sekadar polisi dan jaksa dan hakim yang buncit oleh
bayaran mereka yang seharusnya dihukum karena penghancuran itu.Tapi memang kekuasaan by sistem membiarkan penjarahan terjadi begitu saja.
Dan itu semua disadari oleh Jokowi dan Ahok ketika kali pertama menginjakkan kakinya di Balaikota. Jokowi- Ahok bertekad untuk merubah semuanya, setidaknya meyakinkan kepada dirinya untuk tidak tercemar budaya korup yang sudah berakar di DKI. Dia ingin merubah Jakarta dengan cara merubah budaya korupsi menjadi budaya passion, eternity,sincerity untuk kebaikan,kebenaran dan keadilan. Membangun Jakarta adalah membangun akhlak pribadi ihsan, bukan hanya penuh basa basi bermanis muka namun munafik. Setelah Jokowi jadi Presiden, Ahok ingin menghentikan
proses Jakarta tenggelam, menghentikan proses Jakarta runtuh karena para
pencoleng di gedung DPRD dan Balaikota. Jokowi mendukung Ahok dan TNI siap melindunginya. Kekuasaan memang harus bersikap keras merubah jakarta. Kadang bahasa kebenaran terkesan menyakitkan bagi mereka yang munafik. Tapi Ahok tidak peduli.Dia akan terus melangkah dengan cara dan niat baiknya. Ahok sadar bahwa korupsi adalah biang kerusakan Jakarta dan tentu mempermalukan siapa
saja yang merasa punya hati nurani dan percaya kepada Tuhan. Ahok memang tidak disukai oleh sebagian umat islam, dan
bahkan ada yang dengan tegas tidak mengakui pemimpin non muslim. Tapi Ahok ditakdirkan untuk memimpin Jakarta. Kini dia
mempertaruhkan jabatannya demi kebenaran..demi APBD tidak dikorup oleh DPRD.
Mungkin dia akan jatuh, bukan karena dia berbeda agama dengan kita tapi karena
dia membela kebenaran, yang dia yakini itulah pesan universal bagi semua agama.
Semoga kamu paham.