Abdur Rahman bin Samuroh
-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda kepadaku, “Wahai Abdur Rahman bin Samuroh, janganlah engkau meminta
kekuasaan. Karena jika kau diberi kekuasaan dari hasil meminta, maka engkau
akan diserahkan kepada kekuasaan itu (yakni, dibiarkan oleh Allah & tak
akan ditolong, pent.). Jika engkau diberi kekuasaan, bukan dari hasil meminta,
maka engkau akan ditolong”. [HR. Al-Bukhoriy (6622, 6722, 7146, & 7147),
dan Muslim (4257, & 4692)]. Abu Musa Al-Asy’ariy-radhiyallahu ‘anhu-
berkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersama
dua orang sepupuku. Seorang diantara mereka berkata, “Wahai Rasulullah,
jadikanlah kami pemimpin dalam perkara yang Allah -Azza wa Jalla- berikan
kepadamu. Orang kedua juga berkata demikian. Maka beliau bersabda, “Demi Allah,
sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang
memintanya, dan tidak pula orang yang rakus kepadanya”. [HR. Al-Bukhoriy
(7149), dan Muslim (1733)]. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Kami
tak akan mempekerjakan dalam urusan kami orang yang menginginkannya”. [HR.
Al-Bukhoriy (2261, 6923, & 7156), dan Muslim (1733)]. Seorang yang meminta
kekuasaan dan rakus terhadapnya akan mengalami penyesalan, sebab ia bukan
ahlinya. Kekuasaan menjadi sebuah kenikmatan sementara, sedang kesusahan dan
tanggung jawab akan menanti di Padang Mahsyar.
Di Indonesia kekuasaan itu ada
karena partai. Begitulah karena system demokrasi. Itu sebabanya Soekarno berang ketika partai
dibentuk dan orang bebas mimilih maka kekuasaanya terancam. Tahun 1959 Soekarno
mengeluarkan dekrit yang fenomenal itu dengan membubarkan konstituante dan
kembali kepada UUD 45. Soekarno membentuk NASAKOM, Nasionalis Agama , Komunis
sebagai front nasional mendukungnya menjadi President seumur hidup. Begitupula
ketika Soeharto berkuasa, dia menjadikan Golkar dan ABRI sebagai front nasional
menjadikanya president tak tergantikan selama 32 tahun dan akhirnya dijatuhkan
oleh people power yang menginginkan reformasi. Ketika reformasi, Partai
bermunculan sebagai wakil dari masyarakat untuk terlibat dalam politik praktis.
PDIP tampil karena ingin menjadikan Megawati sebagai Presiden. Partai Demokrat tampil karena ingin
menjadikan SBY sebagai presiden. Samahalnya dengan Garindra yang menjadi
kendaraan Prabowo untuk menjadi presiden. Ketiga partai ini ada karena bertujuan
untuk menempatkan Megawati, SBY ,
Prabowo sebagai president. Sehingga sulit dibedakan mana partai dan mana
individu. Brand partai itu sudah melekat dengan individu sang pendiri partai. Antara mereka dengan Partai adalah satu kesatuan , semua kader adalah pekerja
dari tokoh partai ini. Ambisi partai adalah ambisi pendiri partai untuk menjadi
penguasa. Hal seperti ini dalam islam dilarang sebagaimana hadith tersebut diatas. Golkar berupaya untuk menjadi kendaraan Ical menuju kekuasaan namun
tidak begitu antusias diterima oleh rakyat banyak. Golkar sama dengan partai
PKS, PKB, PAN, PPP, yang berdiri karena kepentingan kolektif , bukan individu.
Yang harus diingat bahwa berdasarkan UU , orang bisa mecalonkan diri sebagai pemimpin baik tingkat daerah /kota sampai ke Presiden haruslah atas persetujuan dari Partai. Menjadi menarik adalah ketika
Megawati menyadari bahwa dia bukan lagi sebagai pemilik Partai, yang berhak menjadi Capres. Dia sadar bahwa
dua kali bertarung di PILPRES , dia kalah. Dia harus realistis. Makanya PDIP
mengembalikan kader kepemimpinan kepada system partai ,dimana yang terpilih
mewakili partai untuk menjadi pemimpin adalah mereka yang terbaik diantara yang
baik. Mereka yang dicalonkan itu karena mekanisme partai
yang menempatkan dia sebagai pengemban tugas dari Partai. Nah, jadi
berbeda dengan Megawati ketika jadi capres dan SBY ketika jadi Capres, juga
berbeda dengan Prabowo ketika jadi capres. Karena Jokowi bukan pendiri partai,
tentu dia tidak ada hak untuk menentukan dirinya sebagai Capres. Itulah sebabnya Jokowi tidak pernah mikir mau
jadi Capres karena dia sadar bahwa penugasannya sebagai walikota Solo ,
gubernur DKI adalah penugasan Partai, termasuk Capres. Sebelum Jokowi ditetapkan oleh PDIP sebagai
capres, teman saya pernah bertanya
langsung kepada Jokowi soal issue dia
akan ditetapkan sebagai capres.Dengan santai Jokowi mengatakan bahwa dia bukan
siapa siapa. Masih banyak kader terbaik PDIP yang pantas dicalonkan oleh DPP
PDIP. Dan ingat bahwa di PDIP setiap kader tidak boleh berambisi jadi pemimpin. Ini tabu!
Namun harus siap kapanpun bila diperintah oleh Partai untuk menjadi pemimpin. Dan lagi Jokowi tidak menginginkan kekuasaan bila karena itu dia tersandera karena kepentingan partai. Dia hanya ingin terpilih karena dia diberi tugas untuk rakyat, bukan hanya untuk partai.
Kalau partai meminta jokowi
sebagai Capres dan meninggalkan pos Gubernur DKI, ini bukanlah pengkhiatan
JOKOWI kepada rakyat DKI. Juka bukan ingkar janji untuk melaksanakan tugas
sampai selesai. Betulkah? PDIP adalah wakil dari masyarakat
untuk kegiatan politik praktis, dan rakyat ( PDIP ) meminta Jokowi untuk tampil
sebagai Capres, dan ini tidak melanggar UU atau tidak melanggar etika moral
perpolitikan di Indonesia. Mengapa PDIP punya kebijakan menjadikan Jokowi
sebagai Capres ? disamping karena hasil survey ( keinginan rakyat luas) tapi juga karena rekam jejaknya
yang mandiri , jujur, bersih dari segala
skandal , dekat dengan rakyat miskin, keluarganya harmonis, pertimbangan inilah
yang membuat dia qualified. Megawati dan PDIP tidak meliat pendidikan atau senioritas sebagai
pra syarat utama tapi lebih kepada pribadi calon. Karena di Indonesia ,
pemimpin itu bukanlah penentu satu satunya kebijakan. Pemimpin adalah bagian dari system kekuasaan.
Jadi keberadaan pemimpin itu tidak bisa menjadikan dia seperti lampu aladin
yang bisa membuat semua impian menjadi kenyataan,tidak seperti Tuhan yang bisa
berkata kun fayakun. Pemimpin adalah skrup dalam sebuah mesin besar yang
menggerakan bangsa dan negara ini. Jadi bila secara pribadi pemimpin itu baik
maka mesin kekuasaan akan bekerja efektif karena hanya teladan akhlak pemimpin
yang baik yang bisa mempengaruhi. Semua itu
tercermin dari caranya berpikir (
way of thinking ) , merasakan ( feeling ) dan kemampuannya memfungsikan semua potensi positip (
functioning ) , sebuah cara hidup ( the way of life ) dan cara menjadi ( way of
being ) yang transformative. Hal tersebut melebur dalam hati dan jiwa seiring keteladannya untuk cinta dan kasih
sayang.
Jadi Jokowi dan Prabowo sangat berbeda. Jokowi tidak mengingingkan kekuasaan karena dia bukan pendiri partai, dia hanyalah kader partai yang harus siap ditugaskan kapanpun dan dimanapun. Amanah partai juga adalah amanah rakyat. Prabowo sangat menginginkan kekuasaan dan karena itu dia mendirikan Partai Garindra, kalau bukan saya siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi, demikian slogannya...
Jadi Jokowi dan Prabowo sangat berbeda. Jokowi tidak mengingingkan kekuasaan karena dia bukan pendiri partai, dia hanyalah kader partai yang harus siap ditugaskan kapanpun dan dimanapun. Amanah partai juga adalah amanah rakyat. Prabowo sangat menginginkan kekuasaan dan karena itu dia mendirikan Partai Garindra, kalau bukan saya siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi, demikian slogannya...